Sukses

Lifestyle

Kisah Haru Sebuah Keluarga Imigran Iran Yang Berjuang Mencari Kehidupan Baru

Jakarta Sudah hampir 10 tahun lebih, Nazila Fathi menjadi koresponden bagi New York Times di Tehran, Iran. Selama itu, ia berusaha memberitahu pada dunia tentang pasang-surut revolusi yang terjadi di tanah kelahirannya. Bisa dibilang ia tidak hanya membahayakan diri sendiri namun juga nyawa keluarganya –Nazila memiliki seorang suami (bernama Babak) dan kedua anaknya (bernama Tina dan Chayan).

Pada tahun 2009, Iran sempat mengalami revolusi besar yang dinamakan Green Movement. Protes keras terjadi di penjuru negeri setelah pemilihan Presiden Iran tahun 2009. Warga menginginkan Mahmoud Ahmadinejad (Presiden Iran 2005-2013) untuk keluar dari pemerintahan. Pemerintah saat itu menentang protes warga dengan mengirimkan barikade polisi dan menentang wartawan yang bekerja pada pihak asing untuk meliput. Peristiwa itu membuat hidup Nazila dan keluarganya berubah.

Sekitar 10 hari setelah proses berlangsung, Nazila mendapatkan sebuah telpon dari seseorang bernama Basij, lelaki yang ia temui di tengah demonstrasi. Ia memberikan informasi bahwa pemerintah setempat telah memberikan foto Nazila pada snipper. “Mereka meminta snipper untuk membunuhmu,” tekannya pada Nazila.

Nazila tidak menghiraukan informasi yang ia dapatkan. Ia justru tersedot dengan kekuatan yang tengah merasuki negerinya dan menganggap hal itu hanya sebuah intimidasi belaka. Seiring waktu, koresponden dari Times sudah meninggalkan Tehran. Dengan keadaan genting ini, ia seorang diri bergerilya menulis pemberitaan. Tak lama, seorang teman yang bekerja untuk Newsweek ditahan. Lalu, segerombolan lelaki berjanggut yang mengenakan simbol rezim Ahmadinejad mulai mengintai apartemen tempat tinggalnya.

Dalam suatu sore bahkan beberapa lelaki sempat mengikuti suami dan kedua anaknya. Mereka bahkan berani menghentikan mobil suaminya dan mencari keberadaan Nazila. Sejak itu, Nazila sudah tak lagi berani keluar rumah. Ia hanya melihat keadaan dari jendela ruang tengahnya. Nazila tahu sekarang adalah gilirannya untuk disingkirkan.

Tinggalkan Iran dan miliki kehidupan baru di Kanada

Ancaman tadi menjadi turning point bagi Nazila. Ia dan keluarganya memutuskan untuk keluar dari Iran dan pergi ke Kanada (Nazila dan Babak memang seringkali berlibur ke Kanada dalam 10 tahun belakangan). Setelah melakukan observasi, ia terpaksa harus meninggalkan rumah setelah tengah malam di saat para pengintai telah berhenti berdiri di depan gedung apartemen Nazila.

Sampai di Bandara Imam Komeini Internasional, penjaga bandara mengambil passport Nazila dan keluarga. Itu adalah momen paling lama yang pernah terjadi dalam hidupnya. Sampai akhirnya petugas mengembalikan passport dan memperbolehkan ia dan keluarga menaiki pesawat menuju Kanada.

Sampai di Toronto, Kanada, Nazila mulai menata hidupnya dan menghadapi kenyataan lain yang terjadi. Ia tinggal di sebuah apartemen kecil dengan satu kamar. Dinding ruangan dihiasi oleh A4, agar anak-anak Nazila, Tina dan Chayan bisa menggambar bendera negara kelahirannya dan menulis nama kakek-nenek mereka. Agar mereka tak melupakan asal mula mereka dibesarkan. Selama bulan-bulan pertama, mereka sering sekali menangis.

Babak, suami Nazila, pun mengalami depresi. Babak merupakan seorang anak semata wayang dari keluarganya, ia pernah tinggal di Amerika selama 11 tahun dan kembali ke Iran di umur 20-an. Di Iran ia termasuk sukses menjalani bisnis rental mobil milik keluarganya. Di Kanada, mau tak mau ia harus memulainya dari nol. Hal yang sulit dihadapi lelaki yang telah berumur 41 tahun. Ia bahkan sempat mengaku ingin mengakhiri hidupnya karena peristiwa ini. Meski berjuang menapaki kehidupan baru di negeri lain, Nazila masih mengikuti perkembangan yang terjadi di negaranya.

Bagi Nazila meninggalkan Iran tidaklah sulit karena ia toh masih bisa menceritakan apa yang ia hadapi di negerinya sendiri. Selama berminggu-minggu ia mulai melupakan apartemen nyamannya di Tehran. Malah, ia dihantui peristiwa kelam di Iran selama 20 tahun belakangan. Saat Nazila mendengar cerita tentang pelaku protes yang disiksa, diperkosa bahkan dibunuh, ia merasakan kekosongan dalam hatinya. Baginya rezim Ahmadinejad tak hanya mengkhianati dirinya sendiri namun negerinya.Selama beberapa saat, Nazila berjuang mengembalikan kesadarannya dari peristiwa kelam yang ia alami.

Di saat ia mulai membangun hidupnya kembali, Nazila mendapatkan sebuah beasiswa di Harvard’s Nieman Foundation untuk jurusan Jurnalistik, yang mengharuskan ia dan keluarganya berpindah ke Cambridge, Massachusetts, Amerika.

Seiring waktu, kehidupan Nazila dan keluarganya mulai berangsur membaik. Mertuanya bahkan mengunjungi keluarga Nazila dan membawakan beberapa album foto yang sempat ia tinggalkan di Tehran. Meski intimidasi yang dirasakan sudah berlalu, Nazila tetap memiliki banyak tantangan yang harus ia dan keluarganya lalui.

Mencari rumah baru

Saat ini, Tina berumur 7 tahun dan Chayan berumur 8 tahun. Tina masih melalui proses atas apa yang terjadi dalam hidupnya sedangkan Chayan memiliki reaksi yang agak berbeda. Setelah mengetahui cerita soal Iran, Chayan memutuskan untuk berganti nama menjadi Jack. Ia sama sekali tak ingin mengaitkan dirinya dengan tanah kelahirannya. Babak dan Nazila juga berjuang membangun kehidupan baru. Seorang pakar pernah berkata ada tiga fase yang akan dialami oleh para imigran: Pertama, orang memutuskan dan melakukan persiapan untuk pergi; lalu secara mental mereka berpindah; tahapan terakhir imigran akan mulai menyatu dengan lingkungan. Di kasus keluarga Nazila, mereka tak mempersiapkan mental untuk memiliki kehidupan di negeri lain. Mereka pergi karena mengalami kebingungan dan shock.

Lima tahun setelah meninggalkan Iran, pencarian jati diri bagi Nazila dan keluarganya belum tentu akan berakhir. Babak masih tetap merasa sedih ketika membicarakan soal tahun pertama berada di Kanada. Namun, hari demi hari luka mereka sembuh.

Nazila dan keluarga pindah ke Maryland. Babak memiliki pekerjaan menjadi auditor di sebuah car dealership dan Nazila baru saja menulis sebuah buku. Keadaan Iran masih belum membaik meski presiden akhirnya berganti dengan Aytolla Ali Khamenei. Nazila masih belum pernah tahu akankah ia bisa kembali ke tanah kelahirannya.

Saat membaca sebuah koran, Nazila menyadari bahwa dunia hidup dalam era pengungsian. Daerah konflik seperti Middle East dan Afrika, membuat warganya pindah meninggalkan kesedihan yang terjadi di negeri mereka. Nazila, menyadari ia dan imigran lainnya memiliki kesamaan tujuan dan emosional yaitu pergi untuk mencari keamanan dan berjuang untuk mencari sebuah tempat yang akhirnya bisa disebut rumah.

Sumber : Vogue

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading