Sukses

Fashion

Diary Fimela: 1 Dekade Nona Rara Batik jadi Andalan Pekerja Kantoran-Outfit Favorit Harian 

Fimela.com, Jakarta Batik pada sepuluh tahun silam belum terlalu populer menjadi pakaian kasual seperti sekarang. Selain menjadi outfit kebangsaan acara formal seperti resepsi pernikahan, batik menjadi seragam jelang akhir pekan para pekerja kantoran.

Sayangnya, saat itu model baju batik kurang menarik perhatian, bisa dibilang cenderung kaku dan tidak banyak pilihan. Sementara bagi pecinta batik tulis dan cap dari jenama lokal besar, harganya tidak terjangkau untuk karyawan.

Hal itu dirasakan Founder dan co-Founder Nona Rara Batik, kakak-adik Pipiet Noor dan Atiek Octrina karena relate dengan kebutuhan mereka sebagai orang kantoran. Batik bukan lagi hal asing, karena sejak kecil sudah diperkenalkan oleh nenek mereka yang merupakan pengrajin di Solo.

 

Keduanya pun mencoba mendesain kain batik dari pengrajin dengan model yang terinspirasi dari tren fashion saat itu ditambah sentuhan selera pribadi yang modern dan chic. Saat dipakai sendiri, teman-teman kantor pun tertarik untuk membeli, mulai berjulalan di Facebook, dan pada November 2011, mereka resmi membuka toko pertama Nona Rara Batik di ITC Kuningan meski masih memproduksi dalam skala rumahan.

"Sebenarnya memang dari isengnya kami berdua yang susah cari batik buat dipakai ngantor. Ternyata banyak yang suka, jualan di media sosial juga banyak yang beli, sampai sekitar 3-4 tahun lalu suamiku Dimas join karena gemas, prospeknya bagus tapi enggak kegarap maksimal," ujar Pipiet Tri Noorastuti, Brand Founder Nona Rara Batik saat berbincang dengan Fimela untuk Diary Fimela

Keterikatan dengan Pengrajin Rumahan

Sejak pembuatan produk fashion pertamanya, Nona Rara Batik konsisten hanya memakai batik cap atau tulis hasil para pengrajin kecil. Karena produksi kain dengan metode tradisional, penggarapan pun tidak bisa masif. 

"Ada sisi positif dan negatifnya, kendalanya kalau 4 tahun lalu 1 artikel hanya bisa dibuat 2-3 baju bikin orang-orang berebutan. Positifnya yaitu eksklusivitas karena tidak ada duplikasi, tapi banyak di-complain customer, susah banget dapetin Nona Rara Batik karena seringnya kehabisan duluan," sambung Dimas yang mulai meng-handle operasional dan marketing digital. 

Hingga akhirnya Nona Rara Batik memutuskan untuk tumbuh lebih besar. Yang artinya merangkul para pengrajin dan penjahit skala kecil untuk sama-sama bergerak dengan tantangannya masing-masing.

"Di awal cukup sulit membuat batik volume besar karena harus menjaga konsistensi hasil artikel yang dipengaruhi berbagai faktor, salah satunya cuaca. Beda batch, bisa beda hasil warna, makanya kami juga selektif lagi pilih pengrajin yang menyanggupi," lanjut Pipiet lagi.

Meski menantang, pasanga suami istri tersebut tetap menjalaninya dengan senang hati. Sebab selain memiliki keterikatan dengan batik itu sendiri, mereka juga bisa saling memberdayakan para pengrajin kecil daerah untuk mencari rupiah dan melestarikan tradisi. 

"Kami juga punya kepuasan sendiri, misalnya saat road trip bareng keluarga, kami sukanya hunting pengrajin batik, dari Pekalongan, Solo, Cirebon, Jepara, Bali, sampai Palembang. Jadi kayak petualangan sendiri dan bisa saling membantu pengrajin kecil di daerah untuk sama-sama berkembang dan sukses," ujar Dimas melengkapi.

 

Bertahan di Masa Pandemi

Sama seperti banyak industri lainnya yang ikut terdampak pandemi Covid-19, Nona Rara Batik pun mengalaminya. Stok koleksi baru sudah dipersiapkan untuk Lebaran yang diprediksi laku keras pada Maret 2020 ternyata di luar prediksi.

Mengamati dan membaca situasi, Nona Rara Batik mulai bergerak untuk mengamankan cash flow selama enam bulan ke depan dengan memproduksi masker kain. Inisiasi tersebut dibuat sebelum pemerintah mengimbau penggunaan masker kain dan aturan penggunaan masker hanya bagi yang sakit. 

"Saat penjualan baju turun banget, kami memutuskan untuk produksi masker di April karena melihat beberapa negara termasuk di sini kekurangan masker. Kami membuatnya dengan kain perca dan Alhamdulillah bisa survive, menyelamatkan dan mempertahankan karyawan," kenang Pipiet.

Hingga akhirnya Nona Rara Batik bergabung dengan hypefast yang membantu mengembangkan brand-brand lokal tak hanya di pasar Indonesia namun juga internasional pada tahun 2020. Beberapa kolaborasi pun dilakukan seperti merilis jaket menyusui bersama Monomom.

"Dalam setiap dua minggu, kami juga rilis koleksi baru, karena memang konsepnya daily wear mau enggak mau harus memberi banyak opsi. Dan sekarang yang sedang on going dan biasanya penjualannya tinggi adalah koleksi Imlek," jelas Dimas.

 

Tips Sukses Mulai Bisnis

Pipiet dan Atiek awalnya sama sekali tak menyangka jika usaha yang dirintis memasuki tahun ke-10 ini masih tetap bisa eksis dan di-developed secara profesional. Meski diakui selama merintis tanpa strategi, keberuntungan alias hoki berpihak pada bisnisnya.

"Karena saat itu jatuhnya hobi jadi menikmati dan tanpa beban sama sekali. Mikirnya kalau enggak laku, pakai sendiri, dan prinsip itu bekerja untuk Nona Rara," ujar Pipiet lagi.

Ia juga berterima kasih pada kebijakan pemerintah yang mewajibkan pegawai bank dan BUMN memakai seragam batik sehari dalam sepekan. Begitu juga dengan beberapa kantor lainnya yang membuat Nona Rara Batik semakin dikenal dan besar namanya dengan ciri khas model kekinian dan motif serta warna yang colorful.

Meski memiliki banyak pelanggan loyal, Nona Rara Batik tetap mengikuti perkembangan tren untuk menyasar target anak muda yang peka terhadap influencer dan viralitas konten. Namun tetap tak mengubah kebijakan harga yang affordable tanpa mengurangi kualitasnya.

"Meski semua kain batiknya handmade pengrajin bukan berarti harus mahal karena saat harga tinggi pelanggan tidak membeli secara kontinuitas. Mengurangi margin dan pada saat yang sama menaikkan volume, benefitnya sama," tutup Dimas.

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading