Sukses

Lifestyle

Hamil Lebih Dulu, Antara Pilihan, Gaya Hidup, atau "Kecelakaan"

Next

“Saat SMA, beberapa teman dikeluarkan dari sekolah karena ketahuan hamil,” cerita Dika (23 tahun, SPA therapist). Tujuh tahun lalu masih nggak habis pikir ya, masih asing. Tapi zaman sudah beda. Aku sampai lupa berapa banyak temanku yang begitu. Beberapa jadi keluarga normal dan bahagia, tapi beberapa juga gagal mempertahankan pernikahan yang dasarnya insiden itu.” Ya, fenomena hamil lebih dulu dulu memang sangat tabu dan jadi aib terbesar yang dihindari siapa pun. Dan kalau aib terbongkar, sama saja dengan rela mendapat label baru yang akan melekat selamanya, dari nggak bermoral, berbuat zinah, kurang perhatian, dan label lain yang negatif.

Ratri (24 tahun, programmer), saat itu harus putus sekolah karena kehamilannya, padahal tinggal mengikuti UAN sebagai syarat kelulusan SMA. “Aku dulu malu banget dan sempat mengasingkan diri sampai anakku berumur 2 tahun. Dari sana aku belajar banyak hal. Kalau dulu yang ada cuma napsu, setelah itu aku harus berjuang, dari ikut ujian susulan, kuliah, sampai sekarang bisa bekerja.” Ratri memang masih punya semangat yang tinggi untuk maju setelah “musibah” hamil lebih dulu itu datang, apalagi suaminya sangat mendukungnya.

Berbeda dengan teman SMA saya, Mutia (25 tahun, sales marketing). Hamil lebih dulu memang jadi pilihan agar mendapat restu menjalin hubungan dengan sang pacar. Sayang, bukannya restu yang didapat, tapi keluarganya malah makin benci sang pacar. “Aku korbankan semua. Ketika hamil, aku pikir itu anugerah buatku, ternyata sebaliknya. Aku sempat kabur karena dilarang berhubungan lagi dengan pacarku. Setelah kembali ke rumah dan melahirkan, kadang aku masih curi-curi bertemu dengan pacar supaya anakku kenal dengan ayah kandungnya. Tiga tahun kemudian aku hamil lagi dengan orang yang sama karena pertemuan intens kami. Tapi, restu nggak juga kudapat. Sekarang buah cinta kami sudah dua, dan kami merasa seperti keluarga kecil normal lainnya. Terus sama-sama walaupun nggak tinggal satu rumah dan harus bertemu sembunyi-sembunyi,” Mutia berbagi kisah.

Kasus lainnya dialami Pipit (27 tahun, tour operation staff), yang sama sekali nggak berpikir akan menikah muda sampai janin ada di perutnya. “Ini kecelakaan. Aku mabuk saat melakukannya, dan aku terpaksa menikah cuma untuk menyelamatkan nama keluargaku. Mungkin memang karena nggak dilakukan dengan perencanaan yang matang dan mentalku belum siap, kami akhirnya berpisah setelah 6 tahun bersama. Jujur, ini seperti impianku sejak dulu, jadi single mother. Aku menikmatinya, sih, walau kadang nggak tega dengan keluargaku yang sering jadi cibiran orang,” papar Pipit.

Next

Pandangan orang-orang yang mengalaminya langsung dengan yang melihat dari luar sudah pasti berbeda. “Tiap orang punya pilihan masing-masing dan kita, menerima atau nggak, wajib menghargai pilihan itu. Memang, hidup normal dan sewajarnya lebih nyaman, tapi banyak orang yang membutuhkan proses belajar itu. Artinya, harus jatuh dulu supaya tahu bagaimana harus bersikap,” ujar Anti, mahasiswi pascasarjana psikologi di sebuah universitas swasta. Anti berharap pemikiran orang lebih terbuka terhadap mereka yang disebut-sebut melanggar norma agama dan sosial dengan nekat hamil lebih dulu. Sambung Anti, “Saat ini mungkin orang terlihat mulai terbiasa dengan fenomena itu, tapi tetap saja yang namanya hukum sosial itu akan terus ada, contohnya dalam bentuk cibiran, ejekan, sampai omongan di belakang. Padahal, keluarga yang mengalaminya pasti juga merasakan saat-saat terberat dan butuh dukungan.”

Terakhir, kami coba bertanya pada Kinas (26 tahun, ibu rumah tangga), yang juga hamil dulu sebelum resmi menikah dengan tunangannya, mengenai pelajaran apa yang diperolehnya dari kejadian itu, “Sumpah, berhubungan dengan pasangan lebih baik sewajarnya saja supaya nggak durhaka dan merasa sangat bersalah pada orangtua, terutama mama. Aku merasakannya saat proses melahirkan. Rasa sakit yang luar biasa bersatu dengan penyesalan karena mengecewakan mama yang melahirkan aku dengan susah payah. Kenikmatan saat berhubungan intim sama sekali nggak ada artinya setelah kamu benar-benar harus menanggung risiko dari napsu sesaatmu itu.”

Buat mereka semua yang pernah merasakan sensasi mengetahui kehamilan tanpa suami, hamil lebih dulu merupakan gaya hidup atau aib, sih? Beberapa tertawa ketika mendengar pertanyaan ini, tapi Pipit langsung menyambar dengan jawaban spontan, “Berhubungan intim dengan pacar sih, bagian dari gaya hidup, tapi begitu hamil beneran jadi aib!” Setuju dengan Pipit, atau punya pandangan lain, Fimelova?

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading