Sukses

Lifestyle

Editor Says: Maaf Atas Luka yang Terlanjur Merekah

Fimela.com, Jakarta Saya punya begitu banyak luka lama yang masih menganga. Ditambah luka-luka muda yang baru saja merekah menimbulkan perih dan lara. Sudah tak ada lagi air mata yang tersisa. Tak juga ada bahagia meski beberapa luka lama akhirnya pulih tanpa obat merah. Dua puluh empat tahun hidup membawa luka memang tak mudah. Sebab, luka tak jauh berbeda dengan tato. Sakit, tapi ada cerita dan makna yang terkandung. 

Luka juga sempat saya sandingi dengan karya seni. Meskipun awam dan tak punya kepekaan sebagai seniman, saya sejak dulu menganggap luka dan karya seni sama-sama sulit dimengerti. Beribu tafsiran dan bahkan pembenaran banyak dilakukan orang. Mereka melihat, mendengar, tapi jarang memahami. Mereka tahu garis besarnya, tapi yang merasakan dan tahu betul kisah di baliknya cuma satu orang; yang punya luka. 

Tidak baik rasanya menceritakan luka orang lain. Karena toh saya masih punya banyak yang tak sembuh-sembuh. Jadi, mari. Mari kita nyanyikan sebuah lagu lirih soal luka di sekujur tubuh, dari rambut sampai ujung kaki. Tak perlu dimaknai pakai pelbagai pedoman karena saya yang akan menceritakan kisah pilu lewat nyanyian tanpa musik ini. 

Ilustrasi kekerasan terhadap perempuan. | via: shutterstock.com

Luka pertama muncul sekitar 2008 lalu. Perempuan-perempuan muda seusia saya masih memakai seragam putih-abu-abu. Lucunya, sebab luka itu muncul baru saya sadari bertahun-tahun kemudian. Bukan, ini bukan soal putus cinta seperti anak ABG yang lahir tahun 90-an. Ini tentang pemaksaan yang diatasnamakan cinta. 

Sebut saja dia Z, laki-laki yang lebih tua 4 tahun dari saya, saat itu berhasil 'memasung' kedua kaki dan tangan saya selama 1 tahun 8 bulan. Hebatnya, rantai yang menyita ruang gerak dan pikir saya tak terlihat siapa pun. Kecuali saya yang dipasung. Ujung-ujung kaki saya kebas, karena tak pernah bisa berjalan ke mana pun saya mau. Tangan tak kuat untuk menjulurkan tangan untuk meminta pertolongan. Jangan tanya soal napas yang tersengal-sengal. Jangan juga bayangkan betapa sulitnya untuk berpikir mencari akal, di mana jalan keluar yang paling aman. 

Ilsutrasi kekerasan terhadap perempuan | via: sisternet.com

Z, bukan laki-laki cerdas yang kuliah di UI dengan segala beasiswa. Dia cuma laki-laki yang entah dari mana, punya kekuatan untuk menghipnotis perempuan mana pun, supaya tunduk dan menurut. Tahun 2009, saya baru tahu mantra yang membuat semua perempuan lugu menurut padanya. Cinta dan kasih sayang palsu yang cuma bisa dia katakan di setiap masing-masing 'bonekanya.' 

Luka Masih Terus Menganga

Panggil saya bodoh, karena tak pernah berontak saat dipaksa berkenalan dengan seks tanpa penetrasi yang, seharusnya terlalu dini untuk saya ketahui di usia saat itu. Hujat saya dungu, karena selalu memberikan uang pas-pasan setiap kali dia ingin membeli sebatang-dua batang rokok di warung. Tapi jangan anggap saya menikmati setiap detik waktu-waktu itu. 

Tentu saja pemaksaan ini bukan satu-satu mimpi buruk yang dia tanam setiap harinya selama 1 tahun 8 bulan itu. Menjadikan saya sebagai bank pribadi pun bukan masalah besar. Kebohongan yang sangat murahan justru membuat saya muak dengan diri ini. "Sayang aku kanker otak stadium 3 dan mendekati 4," katanya malam itu saat kami bertengkar masalah pinjam uang dan paksaan untuk melakukan 'itu.' 

Saya sudah hampir kehilangan Mama saat dia mengandung adik saya sambil memelihara kanker di payudaranya. Saya nggak mau lagi kehilangan orang yang pernah ada dalam kehidupan saya. Tidak satu pun. Bingung tanpa bisa bertanya dan menceritakan segalanya kepada orang lain, apa lagi teman di sekolah, saya memutuskan untuk kembali lagi bersama dengannya.  

Ilustrasi kekerasan terhadap perempuan. | via: requisitoire-magazine.com

Satu bulan setelah itu, mimpi buruk itu ternyata masih juga menyambangi setiap hari. Bukan cuma pas tidur malam, tapi juga di siang bolong. Setiap kali saya bilang tidak bisa meminjamkan uang untuk ratusan kalinya, dia menangis dan merengek. Mengamuk seperti anak umur 3 tahun. Sambil mengancam dengan berbagai cara. 

"Kamu nggak cinta lagi sama aku. Aku cuma bisa bikin kamu kaya mesin ATM. Aku minta maaf, tapi aku toh bakal mati besok. Kanker ini menggerogoti tubuh aku setiap detik. Kali ini saja, penuhi keiinginan dan kebutuhan aku sebelum aku harus mati karena kanker ganas ini." 

Dasar anak SMA. Ancaman murahan ini justru bikin saya jadi takut. Takut berubah menjadi orang jahat. Takut menjadi orang yang justru membiarkan orang lain mati di pinggir jalan lantaran keiinginannya sebelum mengembuskan napas terakhir belum terwujud. Juga takut, karena Z akan selalu membenturkan kepalanya sendiri ke dinding. Ke tiang listrik. Menampar dirinya sendiri. 

Ilustrasi kekerasan terhadap perempuan. | via: pidas81.org

Cinta palsu kadang seperti permainan. Bukannya membuatmu selalu jatuh cinta, malah mengekang dan menyakiti dengan segala cara. Tahun 2013, setelah berani menceritakan semuanya kepada teman-teman, saya baru lega dan bisa berpikir. Tanpa 'pasung' saya pun sadar, violance bukan cuma orang lain yang menyakiti perasaan dan fisikmu. Tapi juga ketika mereka menyakiti diri mereka sendiri, demi mendapatkan maaf, kebahagiaan, tahta, kepuasan, keinginan mereka. 

Dia membuat saya merasa kasihan dengan membenturkan kepala. Dia membuat saya merasa bersalah. Dan saya nggak akan pernah sudi orang lain mengalami hal yang sama. Tapi maaf, luka sudah terlanjur merekah. Dan setelah 9 tahun pun masih tetap menganga. 

 

 

 

 

Karla Farhana,

 

 

Editor Says

 

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading