Sukses

Lifestyle

Editor Says: Kenapa Orang-orang di Kereta Ganas?

Fimela.com, Jakarta Buat kamu yang tinggal di Jabodetabek mungkin sudah sering mendengar kabar 'keganasan' para pengguna Commuterline. Cerita tentang ibu-ibu yang galak dan sewot saat tersenggol sesama penumpang, hingga cakar-cakaran di dalam kereta. Cerita itu seakan sudah biasa. Hingga muncul julukan buat mereka, anker, anak kereta, yang 'ganas.' 

Kalau dulu masalah dan kasus di kereta Jabodetabek sekitar pemerkosaan, pelecehan seksual, copet, dan fasilitas yang tak memadai, kini masalah sudah berbeda. Isu pemerkosaan dan pelecehan seksual sudah meredup, seiring dengan diadakannya dua kereta khusus perempuan di gerbong paling depan dan paling belakang. 

Tapi anehnya, kini masalah seakan berpusat di kereta khusus perempuan. Saya sering sekali mendengar keributan yang terjadi di sana. Mulai dari masalah perebutan tempat duduk sampai ada ibu-ibu yang memaksa dirinya untuk duduk, meskipun dia sebenarnya tahu nggak ada lagi celah untuk dirinya. 

KRL Commuterline dipenuhi penumpang (Liputan6.com/Nila Chrisna)

Atau, juga jambak-jambakan. Juga merasa sebal dengan ibu-ibu hamil yang selalu diutamakan dan 'merebut' tempat duduk mereka. Masalah ini, sejak adanya gerbong khusus perempuan hingga sekarang ternyata nggak berkurang. 

Saya juga seorang pengguna CommuterLine. Hampir setiap hari saya berangkat dan pulang naik kereta. Alasannya, akses rumah saya yang dekat dengan stasiun membuat kereta menjadi pilihan yang paling mudah. Selain itu, saya juga menghindari kemacetan di Ibu Kota. Harga tiket yang relatif murah juga membuat saya jadi lebih berhemat. 

Hampir setiap kali naik kereta, saya selalu memilih gerbong perempuan. Selain agar saya merasa lebih aman, pegangan penumpang berdiri di gerbong ini juga lebih rendah. Maklumlah, tinggi badan saya di bawah tinggi rata-rata perempuan Asia. Bukan cuma itu saja yang jadi alasan saya. Gerbong perempuan lebih wangi dibandingkan gerbong campuran. Meskipun kadang (biasanya jam sibuk pulang kerja) ada saja beberapa mbak atau ibu yang bau 'matahari.'

Penumpang menunggu kereta rel listrik (KRL) di Stasiun Manggarai, Jakarta, Selasa (28/3). Rute KRL Bekasi-Jakarta Kota akan mengalami perubahan. KRL tidak lagi melewati jalur Stasiun Manggarai, melainkan Stasiun Pasar Senen. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Tapi permasalahannya bukan di situ, girls. Saya sering banget mengeluh sampai kantor, atau pada saat sampai rumah. Keluhan dan cerita yang menyebalkan buat saya, dan lucu buat orang yang mendengar, rata-rata tentang kelakukan orang-orang yang naik kereta. Ada yang pingsan karena tubuhnya nggak siap menghadapi 'ganasnya' dan sumpeknya kereta pagi. 

Ada juga yang marah-marah karena banyak orang pura-pura tidur supaya nggak disuruh berdiri untuk memberikan tempat duduknya buat ibu hamil dan lansia. Ada juga, lho, yang berantem hanya karena saling senggol dan nggak paham 'aturan' hadap kanan-kiri. 

Masalah ini mungkin terdengar biasa. Tapi, dari hal sepele ini, juga bisa timbul pertikaian, bahkan hampir jambak-jambakan. Seperti yang ada pada sebuah video viral beberapa waktu lalu. Menjadi pengguna CommuterLine rutin selama lebih dari 2 tahun, saya akhirnya nggak mau ikut-ikutan ngomel juga. Karena perkara ini, perkara yang setiap hari saya temui dan saksikan, nggak akan terselesaikan kalau nggak ditemukan jalan keluarnya. 

Jadi, Apa Masalahnya?

Saya bukan pakar transportasi publik seperti mereka yang kerap menuliskan berbagai opini di majalah dan koran nasional. Tapi sebagai pengguna KRL Jabodetabek, izinkan saya melepaskan semua unek-unek tanpa harus ngedumel setiap hari di kantor. 

Keganasan di KRL Jabodetabek sebenarnya nggak akan terjadi kalau ada kerja sama antara penumpang dengan pihak KRL. Ini termasuk juga soal keselarasan antara jumlah pemberangkatan kereta, gerbong kereta, dan jumlah pemumpang. Kalau menurut situs resmi KRL, jumlah 850.000 pengguna pada hari-hari kerja tahun 2016. Sementara, di tahun yang sama, ada 886 armada kereta. 

Nah, menurut situs Kabar Penumpang, jumlah penumpang tahun ini bertambah, lho. Mei kemarin, tercatat ada 1.014.631 penumpang pada Senin (8/5/2017). Sementara, jumlah keretanya nggak bertambah. Kalau saya perhatikan, jumlah gerbong pada setiap keberangkatan kereta juga berbepengaruh. 

Setiap pagi, sejak pukul 06.00 WIB, sudah banyak penumpang menunggu di Stasiun Depok. Meskipun semua penumpang terangkut, kereta ternyata sudah sangat padat. Penumpang akan terus bertambah hingga pukul 09.00 WIB. Bayangkan, apa yang terjadi kalau pemberangkatan kereta terlambat atau tertahan. 

Sejumlah penumpang Comuter Line menyebrang antar peron di Stasiun Manggarai, Jakarta, Selasa (28/3). Stasiun Manggarai dipadati penumpang yang hendak berlibur pada Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1939. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Penumpang yang membeludak di setiap stasiun akan membuat kereta semakin padat. Nggak heran kalau akhir-akhir ini saya melihat beberapa orang jatuh pingsan. 

Saya paham. Semua orang punya jam masuk kantor yang hampir sama. Semua orang nggak mau terlambat. Akhirnya, mereka berlomba-lomba untuk masuk ke dalam kereta demi mengejar waktu. Nggak peduli meskipun kereta sudah penuh. Selama masih bisa didorong dan didesak, selama satu kaki mereka masih bisa menapak, mereka (termasuk saya, sebenarnya) nggak akan patah semangat berjuang di lautan penumpang. 

Attitude penumpang pun juga memengaruhi. Attitude yang baik, menurut saya, akan mengurangi adanya gesekan antar sesama penumpang. Saya sering melihat banyak penumpang yang risih karena harus saling berdesakan. Itu wajar. Tapi risih karena teinjak, tersenggol, dan terdorong? 

Please, kereta sudah sangat padat. Penumpang yang tingginya di bawah 145 cm bakalan susah untuk bernapas. Beruntunglah mereka yang tinggi sehingga bisa pegangan dengan tiang-tiang dan menggapai apa pun demi menahan beban dan dorongan. Nah, yang nggak sampai gagang pegangan, apa kabar?  

Seorang penumpang membawa kereta bayi setelah turun dari Comuter Line di Stasiun Manggarai, Jakarta, Selasa (28/3). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Juga soal ketidaktahuan soal 'aturan' harus menghadap ke mana kamu berdiri. Entah karena mereka nggak bisa lagi memutar badan, posisi mereka nggak tepat dan akhirnya mendorong dan menindih penumpang lain. Akhirnya, muncullah omel-omelan ibu-ibu, "Mbak, madep sini bisa, nggak? Jadi yang di dekat pintu nggak terlalu terhimpit," sambil bermuka masam dan bernada ketus. 

Belum lagi soal rebutan tempat duduk dengan manula dan juga ibu-ibu hamil. Sebagian penumpang merasa percuma untuk duduk di bangku kosong, karena toh pada akhirnya, akan disuruh berdiri oleh petugas untuk diberikan kepada ibu hamil dan manula. Suatu Senin pagi, saya tak sengaja mendengar obrolan seorang ibu dengan temannya soal penumpang hamil yang menurut mereka jumlahnya semakin banyak satu bulan ini. 

Akibatnya, hampir setiap penumpang yang duduk adalah wanita hamil. Ibu ini merasa 'haknya' untuk duduk terampas oleh mereka yang diprioritaskan. Padahal, berdiri selama 30 menit sebenarnya nggak masalah kalau sudah biasa. 

Meskipun banyak banget konflik KRL Jabodetabek, nggak semua penggunanya sangar dan galak. Minggu lalu, saya hampir tertinggal kereta Jakarta Kota karena penumpangnya sudah terlalu penuh. Ingin memaksakan diri untuk naik, tapi saya takut jatuh. Sementara waktu sudah menunjukkan pukul 06.45 WIB. Menunggu kereta berikutnya jurusan Angke akan memakan waktu yang cukup lama dan akan menambah ongkos karena saya harus naik ojek untuk mengejar waktu. 

Akhirnya, saya beranikan dan kuatkan diri untuk tetap naik. Sayangnya, saya nggak bisa bertahan karena nggak ada lagi tempat untuk berpegangan. Saat saya hampir jatuh, seorang ibu-ibu menggenggam lengan kiri saya dan menarik tubuh saya masuk ke kereta. Saat saya mengucapkan terima kasih, ibu itu cuma tersenyum dan menjawab, "sama-sama, Mbak, kita sama-sama membutuhkan dan nggak mau telat." Semoga saja masih ada banyak penumpang KRL baik yang mau saling bekerja sama dan mengerti. 

 

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading