Sukses

Lifestyle

Vivi Yip: Seniman yang Sosialita, Sosialita yang Seniman

Vivi Yip“Di kalangan sosialita aku dianggap seniman, di kalangan seniman dianggap sosialita. Tiap orang punya penilaian sendiri. Memang, ketika berkumpul dengan teman-teman seniman aku tidak berpenampilan seperti seorang seniman, sementara kalangan sosialita punya pakem sendiri yang juga tidak aku ikuti. Nah, dari sanalah mereka menganggap gayaku individualis. Dari yang semula kaget, lama-lama mereka membiasakan diri dan jadi memberi ‘label’ khusus untukku, ‘Ah, dia mah seniman, selalu aneh-aneh,’ begitu komentar orang,” cerita Vivi geli.

Mantan eksekutif balai lelang Sotheby's ini mengaku saat masih bekerja Sotheby’s banyak batasan dari corporate-nya, meskipun sekarang sudah lebih longgar. “Aku juga tidak punya banyak waktu untuk bersosialisasi. Aku pada dasarnya orang yang senang sendiri dan lebih senang di rumah, aku cuma keluar untuk bertemu teman-teman dekat, dan kebetulan teman-temanku banyak yang bekerja di bidang yang sering membuat event, jadi ya kita saling support.” Mungkin ini juga yang membuat Vivi makin dikenal sebagai sosialita yang kerap menghadiri acara berkelas. Di mana ada pesta, di situlah Vivi berada.

Nah, bicara tentang karya seni yang sudah mendarah-daging dengan dirinya, Vivi berbagi pandangannya tentang karya seni yang baik, “Karya seni yang baik itu harus memenuhi kriteria estetika, sosial, dan investasi. Secara estetika, teknik dan konsep harus bisa dipertanggungjawabkan, memberikan eskalasi sosial bagi kolektornya dan mempunyai nilai tambah yang naik bertahap. Seniman yang bekerja sama dengan vivi yip art room sadar betul ketiga hal itu, karenanya kita bisa langgeng maju bersama.

“Sekarang ini ada 10 seniman yang rata-rata sudah bekerja sama lebih dari 3 tahun, galeriku sendiri usianya baru 5 tahun. Ke-10 seniman ini kunamakan YICA (Young Indonesian Contemporary Artists). Mereka adalah Angki Purbandono, Agan Harahap, Arkiv Vilmansa, Badruzzaman, Erik Pauhrizi, Hendra HeHe Harsono, Syagini Ratna Wulan aka Cagi, Theresia Agustina Sitompul aka Tere, Wastuwidyawan, dan Sutra Djarot. Masing-masing punya style dan karakter yang kuharapkan bisa mewakili seni rupa Indonesia saat ini,” jelas Vivi antusias.

Apa yang dilakukannya untuk mendukung 10 seniman tersebut, Vivi menjelaskan, “Aku cuma bertugas mendampingi mereka. Ketika kemudian aku sudah tak bisa mendampingi mereka lagi, mereka akan aku kenalkan ke orang lain yang bisa membawa mereka lebih maju lagi. Begitu kira-kira. Mungkin satu sama lain tidak punya ambisi yang sama, jadi siapa mau sampai sejauh apa, seperti apa pencapaian mereka nantinya, ya mereka sendiri yang menentukan.”

Saat ini, lukisan sering dijadikan sebagai “properti” untuk meningkatkan gengsi seseorang, atau sengaja dijadikan sebagai lahan positif. Mengenai fenomena ini, Vivi tak ambil pusing, “Seperti yang aku bilang, karya seni yang baik itu harus memenuhi kriteria estetika, sosial, dan investasi. Jadi, tidak masalah kalau orang memanfaatkan fungsi sosial lukisan untuk menaikkan gengsi mereka. Toh mereka membelinya dengan uang mereka sendiri. They use it as they see fit. Mau jadi pebisnis lukisan atau murni kolektor juga tak masalah. Lagipula, tidak ada idealisme yang sempurna. Kita pun tidak bisa menghakimi orang atau mendikte bagaimana seharusnya orang bersikap, kan.”

Itulah Vivi Yip, dianggap sebagai orang yang akrab dengan seni sekaligus aktif di lingkungan sosialita, baginya sama tak masalahnya dengan cara pandang orang lain tentang seni, terutama lukisan. Tiap orang berhak punya penilaian sendiri, katanya. Tapi, kalau ditanya lebih suka disebut sebagai seniman atau sosialita, apa kira-kira jawaban Vivi Yip? “Hei, sebenarnya aku bukan seniman, aku gallery owner!" protesnya, seperti keberatan jika keakrabannya dengan seni menjadikannya disebut seniman, padahal ia tak melahirkan karya apa-apa. "But I really don’t care. Seenaknya ajalah,” ia mengakhiri pembicaraan.

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading