Sukses

Lifestyle

Eksklusif Ridho Slank, Sang Pejuang Lingkungan dan Musisi Jalanan

Fimela.com, Jakarta Entah kebetulan atau memang berjodoh, tim Bintang.com mendapat kesempatan untuk bertemu Mohammad Ridwan Hafiedz tepat di hari ulangtahunnya, 3 September 2018 kemarin. Kami pun terlibat perbincangan menarik dengan musisi yang dikenal dengan nama beken Ridho Slank ini.

Obrolan diselingi kopi dan suasana siang yang agak terik khas ibukota tercinta. Di hari yang spesial itu Ridho mulai berbagi cerita tentang sepak terjangnya di dunia musik.

***

Tak terasa Gitaris kelahiran Ambon 45 tahun silam tersebut telah dua dasawarsa bermusik bersama Slank. Kreativitas dan ide-idenya telah mengantarkan Slank menjadi salah satu band paling influensial di industri musik Indonesia.

Beberapa orang boleh saja menyebut Ridho sebagai orang tua, tapi api semangatnya untuk berkarya masih terang menyala. Tak cuma berjuang di musik bersama Slank, ia pun ingin menjadi orang yang bermanfaat bagi orang banyak.

Seiring bertambah umur dan kedewasaan, Ridho semakin tergerak untuk peduli. Mulai dari merangkul para musisi jalanan sampai menjaga kelestarian lingkungan jadi concern-nya saat ini.

"Kalo peduli terhadap kemanusiaan dan lingkungan udah dari dulu sebenrnya, cuma mungkin dulu agak susah untuk didengar. Ibaratnya kita mau bersuara tapi lo bukan siapa-siapa. Makanya dengan kondisi seperti sekarang ingin memberi manfaat buat orang lain," ujar Ridho Slank kepada Bintang.com.

Kepedulian itu diwujudkan Ridho Slank dalam berbagai kegiatan. Beberapa di antaranya adalah konser musik terkonsep di Gedung Kesenian Jakarta bertajuk Liztomania, Pandu Laut, gerakan untuk membersihkan sampah-sampah di laut, serta menggalakkan campaign untuk melindungi satwa seperti Orang Utan.

Dalam perbincangan ini Ridho Slank juga mengungkap bagaimana ia menghadapi kegagalan besar yang menempanya. Simak hasil obrolan Bintang.com dengan sang musisi, kreator, dan pejuang lingkungan serta musisi jalanan secara eksklusif berikut.

Bawa Musisi Jalanan Naik Kelas

Ridho Hafiedz bersama sang istri, Ony Seroja menggagas Liztomania telah berjalan empat kali sejauh ini. Lewat konser ini mereka berharap Gedung Kesenian Jakarta semakin sering lagi jadi pentas para seniman, terutama musisi.

Bukan konser biasa, itu yang jadi fokus Ridho dan timnya dalam menggarap Liztomania yang menggabungkan konsep visual dan musik dalam satu pertunjukan. Di sisi lain konser juga menjadi wadah bagi para musisi jalanan untuk naik kelas dan dapat banyak pengalaman berharga.

Ide awal Liztomania lahirnya dari mana?

Konser ini awalnya dari obrolan gue dan istri sebelum tidur. Kita mikir, mau bikin apa ya, dan sepakat bikin show tunggal dengan konsep yang matang, jadi bukan sekedar perform kayak off air biasa. Dari konsep visual, musik sampai riders pun bener-bener kita perhatiin. Gue pengen ngetreat mereka sebaik mungkin, karena gue sebagai musisi juga tau rasanya kalo dapet EO yang nggak bener.

Alhamdulillah kita udah jalan 4 volume, yang pertama Slank karena mereka sangat terbuka dengan ide-ide, jadi Slank buat eksperimen lah. Kedua ada Glenn Fredly, ketiga Payung Teduh dan keempat kemarin Barasuara. 

Venuenya selalu di GKJ ya, kenapa?

Kenapa GKJ karena waktu itu ada wacana musisi nggak ada tempat manggung. Dan Gedung Kesenian Jakarta ini adalah tempat yang penuh sejarah dan seharusnya memang jadi tempatnya para seniman. Dari beberapa kali acara kemarin sekitar 80% belum pernah dateng ke GKJ, jadi kita pengen orang familiar dengan gedung itu, salah satunya ya dengan memasukkan budaya pop.

Tantangan yang dihadapi?

Venuenya kan kecil, cuma 451 kursi. Jadi memang nggak bikin konser yang skala penontonnya besar. Tantangannya ya nyari sponsor, untuk menutupi production cost dan lain-lain. Dari awal konser ini memang nggak komersil, jadi bukan buat nyari untung. 

Dari volume 1 sampai 4 selalu ada musisi jalanan, ada misi khusus?

Waktu pertama ketemu Andi Malewa dan temen-temen musik jalanan gue tergerak mendengar perjuangan mereka. Gue sering dipanggil dosen sama anak-anak Institut Musik Jalanan, padahal gue nggak ngajarin kayak dosen tapi lebih memberi pengalaman dengan kolaborasi. Band yang main harus selalu kolaborasi dengan mereka (IMJ). Karena kita pada dasarnya sama-sama musisi, jadi gue pengen bikin mereka naik kelas.

Dampak yang paling dirasakan IMJ berkat konser tersebut?

Yang pasti pengalaman sih, kalo ilmu dan lain-lain bisa dipelajari di buku atau internet. Tapi kalo pengalaman lo harus mengalami sendiri. Kalo biasanya mereka nyanyi di jalan, kali ini gue kasih panggung di GKJ bareng musisi-musisi hebat.

Bagaimana perspektif mas Ridho tentang musisi jalanan?

Setelah sharing-sharing dengan IMJ ternyata kita punya banyak pemikiran yang sama. Gue nggak suka sama musisi jalanan yang nyamperin di tempat kita duduk, atau tempat makan, 5 sampe 10 detik dikasih uang terus cabut. Menurut gue musik tuh nggak bisa dinilai dari cuma 10 detik. Kalau IMJ beda, mereka cari tempat rame, duduk, mereka buka kotak apresiasi, terus nyanyi sampe selesai. Intinya ya sama, kita nyari duit dari musik. Jadi di musik nggak ada layer-layer siapa lebih hebat dari siapa, semua sama.

Buat gue jadi manusia itu yang penting bisa bermanfaat buat orang lain. Gue belajar gitar di Amerika contohnya, pas berangkat ga ada pikiran bakal ngeband, sukses dan sebagainya. Saat itu gue berpikir seenggaknya pulang dari sana bisa ngajar, seenggaknya itu. Serendah-rendahnya hal yang bisa dilakukan manusia adalah berbuat baik. Kalau nggak bisa berbuat baik jadi dia apa?

Berkaitan dengan mengajar, ada rencana ke depan?

Insyaallah kalo depan rumah udah jadi pengennya bikin sekolah musik gratis buat anak-anak yang kurang mampu. Tapi buat yang bener-bener pengen belajar gitar ya. Itu salah satu cita-cita gue sih, semoga secepatnya bisa terwujud.

Berjuang untuk Slank dan Lingkungan

21 tahun sudah waktu yang telah dilalui untuk berjuang bersama Slank. Seperti yang kita tahu Slank tak cuma menyuarakan perubahan lewat musik, tapi juga langsung turun tangan dalam sejumlah aktivitas positif.

Aktif juga di berbagai kegiatan lingkungan?

Iya, 19 Agustus kemarin ikut Pandu Laut bareng Bu Susi, bersih-bersih sampah yang ada di laut. Kemarin juga baru ngelepasin 6 orang utan di hutan Kalimantan yang perjalanannya sekitar 20 jam. Medannya cukup berat, naik mobil, trus rafting juga. Awalnya kepikiran bisa nggak ya, tapi alhamdulillah ternyata masih kuat. 

Di Kalimantan banyak orang utan yang tangan atau kakinya dipotong. Kalo lu ngeliat orang utan di sana masih kecil dan sendirian, besar kemungkinan orangtuanya udah dibunuh. Karena anak orang utan selalu nempel sama ibunya, dan cengkeramannya 4 kali lebih kuat dari manusia. Makanya banyak yang tangannya dipotong karena ga bisa ngelepas. Manusia emang bisa lebih jahat dari hewan.

Salah satu permasalahan lingkungan di Indonesia?

Gue orangnya suka piknik di pantai. Coba lu ke laut, atau ke pulau. Hal yang banyak lu liat apa? Exactly, sampah. Gue sama istri dan anak pas datang ke tempat piknik harus bersihin sampah-sampah di sekitar dulu baru bisa makan. Males kan masa mau piknik aja harus ngurusin sampah orang lain. Kadang orang abis makan dengan santainya dibuang ke laut. Laut bukan tempat sampah raksasa, man. Di sana ada kehidupan juga yang mesti kita jaga.

Apa kejadian monumental yang dialami dalam hidup?

Dulu pas lagi semangat-semangatnya bikin sesuatu, gue nyoba jadi promotor. Kalo masih inget dulu The Cardigans pernah konser di Indonesia, itu gue yang ngadain. Ternyata tanggalnya dapet pas bulan puasa dan udah mau akhir-akhir. Di situ gue sekolah mahal banget sih, sampe jual rumah untuk menutupi cost dan ini itu. Tapi ketolong karena harga jualnya tinggi saat itu, akhirnya gue beli tanah di sini, rumah gue yang ini baru 4 tahun dan pelan-pelan ngebangunnya.

Sejak saat itu gue nggak mau nyoba lagi ngundang band-band luar negeri. Kalau konser yang gue bikin jatohnya gue kayak EO, dan ngundang band-band dalam negeri aja. Pertama secara cost lebih masuk akal, dari segi kualitas band Indonesia bagus-bagus kok. Gue berusaha ngasih treatment mereka kayak band luar negeri, pokonya yang layak lah. Konsepnya juga nggak yang manggung biasa, harus ada konsep yang harus dipersiapkan.

Jadi salah satu personel band terbesar di Indonesia, punya tanggung jawab lebih untuk peduli?

Gue dari awal gabung Slank nggak nyangka bisa seperti ini, punya banyak fans. Udah lama ya kalo peduli terhadap lingkungan sekitar, cuman pas Slank udah gede jadi lebih didengar aja. Kalo dulu mungkin kita satu orang bersuara, orang nggak akan denger, siapa lu? Yang penting bisa bermanfaat buat orang lain, kayak yang gue tanamkan ke anak-anak, kotoran kucing aja bisa jadi manfaat, kenapa kita nggak, ya kan?

Para musisi dan seniman tugas utamanya ya berkarya, tapi sebagai manusia mereka juga punya nurani untuk peduli. Belajar dari Ridho Slank, musik tak hanya soal uang dan ketenaran. Lewat dunia yang dicintainya itu, ia bisa turut berperan aktif menjadi pejuang bagi sesama musisi maupun lingkungan.

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading