Sukses

Lifestyle

Kesalahan Seseorang Tak Bisa Dilupakan Jika Kita Masih Membencinya

Setiap orang punya kisah dan perjuangannya sendiri untuk menjadi lebih baik. Meski kadang harus terluka dan melewati ujian yang berat, tak pernah ada kata terlambat untuk selalu memperbaiki diri. Seperti tulisan sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Vemale Ramadan 2018, Ceritakan Usahamu Wujudkan Bersih Hati ini. Ada sesuatu yang begitu menggugah perasaan dari kisah ini.

***

Assalamualaiykum warahmatullah,

Semoga setiap yang membaca akan memperoleh ketenangan setelah titik terakhir kalimat saya.

Nama saya Amoy, panggil saja demikian. Saat menulis ini, saya hanya merasa tenang, karena menang atas apapun yang terjadi dalam hidup saya. Ketika saya duduk di bangku SMP, ibu saya seorang pengusaha makanan, ayah saya pegawai pemerintahan. Kami hanya bertemu lengkap ketika malam sebelum terlelap dalam mimpi masing-masing.

Saking sibuknya mereka, saya bertumbuh bersama seorang pengasuh. Hingga saya tidak sadar jika ayah saya sering tidak pulang ketika malam. Terkadang hanya melihat beliau mengganti seragam dinasnya kemudian tidak melihatnya lagi. Setiap hari ibu saya berkutat dengan dapurnya, sesekali bertanya tentang bagaimana sekolah saya, kemudian meninggalkan saya dalam kesibukannya.

Saya tidak pandai, tapi cukup untuk mengerti keadaan mereka yang banting tulang untuk memenuhi semua kebutuhan saya dan 3 adik saya, saya tidak pernah protes apapun yang mereka utarakan atau apapun yang mereka perintahkan. Hingga suatu hari, saya pulang sekolah dengan menangis, ibu saya di dapur bertanya, “Kenapa menangis?” Saya semakin terisak, beliau lupa tidak mengambil rapor saya. Setelah hari itu saya menjadi pribadi yang semakin pendiam, saya memendam kebencian terhadap apapun yang ayah dan ibu saya lakukan.

Ketika duduk di bangku SMA ayah saya semakin sering tidak pulang. Ibu saya mulai sakit, dua tiga kali dalam sebulan beliau masuk rumah sakit. Konyolnya, diagnosa dokter adalah depresi. Bukankah seharusnya saya yang depresi di sini? Saya semakin membenci apapun. Semakin hari semakin besar saja rasa benci yang saya miliki. Mungkin jika bisa diukur dalam skala 1-10, kebencian saya sudah 9,8.

Ilustrasi./Copyright pexels.com/vlad bagacian

Semakin sering ibu sakit, itu berarti harus ada yang menggantikan tugas ibu. Baik di dapur sebagai pemilik usaha, di rumah sebagai ibu, juga sebagai pengasuh yang mengurus tiga anak. Di usia 17 tahun, saya terpaksa masuk dapur ibu, sepulang sekolah saya harus melihat daftar kebutuhan di dapur, menganggarkan apa yang harus dibeli dengan uang yang saya terima, belum lagi mengurus beberapa komplain karena tidak semua orang memiliki selera yang sama. Saya hampir muak dengan selera yang terlalu asin, terlalu manis, dan terlalu terlalu yang lain. “Kami memasak untuk porsi standar (orang normal), jika Anda menyukai berlebih kami sudah menyiapkan bumbu tambahan di meja yang Anda pesan,” itu adalah kata-kata mutiara yang selalu saya ucapkan, terkesan munafik tapi kami tetap harus mengupayakan kesenangan pelanggan, bukan?

Setelah berkutat di dapur, saya harus beralih menjadi ibu di rumah, memasak, membersihkan rumah, mencuci semua hal yang harus dicuci, dan menjadi pengasuh untuk 3 anak kecil yang sedang aktifnya bertanya. Saya muak. Sangat muak. Hingga saya pernah ingin kabur dari rumah sepulang sekolah. Ayah saya? Ah, jangan ditanya, tidak pernah pulang.

Seminggu setelah ibu plang dari rumah sakit, ibu masih tetap harus istirahat. Dengan semua perasaan kesal, benci, marah, saya tetap harus mengurusnya. Di usia saya yang 17, saya selalu mengutuk orangtua saya. Teman saya di usianya bermain hingga larut, ketika sore mereka hang out menghabiskan uang orang ua mereka, sesekali mereka berlibur entah di dalam kota, luar kota, bahkan luar negeri.

Mereka berpakaian rapi, berhias, menggandeng lengan kekasih. Tapi saya? Saya berdiri sebagai pembantu di istana yang ibu saya buat. Saya seorang putri yang turun takhta, ayah saya seorang raja yang zalim yang tidak tahu istananya mulai roboh. Ratunya terkapar depresi. Orang melihat saya sebagai perempuan muda yang sangat berbakti kepada ibunya, mendedikasikan diri untuk membantu ibunya, bahkan saking memujinya mereka mengatakan menantu idaman.

Saya hanya ingin muntah ketika mendengarnya. Mereka tidak tahu hari panjang yang saya lalui, mereka tidak tahu dendam, amarah, benci dan umpatan saya. Adik saya mulai bertumbuh, sifatnya menjadi tidak terkontrol, sering marah, merajuk untuk mencari perhatian, tapi apalah daya saya? Saya hanya gadis belia 17 tahun. Mana saya tahu mereka meminta perhatian? Mereka melakukan kenakalan yang di luar batas dengan membentuk geng dan melakukan keonaran di sekolah.

Ilustrasi./Copyright pexels.com/tan danh

Ayah saya pulang mendengar hal itu. Apa yang ayah saya lakukan? Iya, kekerasan fisik. Jangan berharap beliau pulang dengan tangan terbuka, memeluk kami, meminta maaf tidak mengurus kami. Tidak! Ayah pulang untuk menumpahkan amarah. Ibu yang baru kembali ke dapur setelah depresi panjang kembali memburuk setelah hari itu. Pertengkaran hebat, tetangga datang ke istana kami. Hancur, semakin besar kebencian saya.

Setelah pertengkaran itu, ayah tidak pulang. Ibu memang terguncang, tapi beliau tetap ke dapur. Saya tahu beliau kenapa-kenapa. Tapi apa yang harus saya lakukan? Saya juga kenapa-kenapa!

Sebulan setelah kejadian pertengkaran itu, sebuah telepon dari rumah sakit dating, ibu yang mengangkat bergegas ke rumah sakit. Ayah saya mengalami kecelakaan. Tulang keringnya hilang. Operasi dan pemulihan ayah kembali ke istana kami. Setiap hari semakin benci saya melihatnya, melihat ayah yang menggunakan kruk untuk berjalan, ibu saya yang juga sibuk dengan usahanya. Tidak ada ruang bagi kami. Tidak ada. Hanya ada kebencian dan senyum palsu.  

Ilustrasi./Copyright pexels.com/kristina paukhstite

Hari kelulusan tiba, saya peringkat 4 secara paralel waktu itu. Hanya ibu yang hadir untuk ikut dalam acara pemberian award karena prestasi itu. Saya melihat anak-anak lain yang bahkan tidak memiliki award apapun, ayah dan ibu mereka datang dengan gembira, bangga melihat putra-putrinya lulus. Ibu saya masih saja berkutat dengan ponselnya, bahkan ketika kami akan maju menerima award. Menyedihkan sekali saya saat itu.

Saya melanjutkan studi kesehatan di salah satu universitas di kota saya, ibu yang memilihkan. Lagi. Tidak ada protes untuk saya. Hari di mana saya mendaftar saya langsung lolos dan menghubungi ibu lewat telepon, tidak ada sambutan, tidak ada ucapan selamat, tidak ada.

Hal yang lebih menyakitkan, ketika saya pulang dengan kendaraan umum, saya melihat ayah saya memegang kruknya di bangku bus dengan perempuan lain. Saya hanya terdiam, kemudian turun. Saya mendengar kondektur yang mengumpat karena saya tidak jadi naik dan memilih turun. Kaki saya lemas. Saya pulang kemudian menggunakan bus lain.

Sampai di rumah saya melihat ibu saya tertidur di sofa, saya hanya mengamati beliau yang tertidur. Air mata saya jatuh, saya mulai terisak menyadari satu hal. Perjuangan ibu saya. Ibu saya yang setiap hari banting tulang, ibu saya yang mengupayakan apapun untuk saya, ibu saya yang keukeuh dalam pernikahan tanpa perceraian meskipun suaminya telah berulang kali berselingkuh. Ibu saya yang tetap merawat sang pengkhianat, ibu saya yang selalu saya caci dalam hati.

Air mata saya semakin deras, isakan saya membuat ibu terbangun. Melihat anaknya menangis, ibu hanya memeluk saya. Ini pertama kalinya beliau memeluk saya setelah saya mencaci, mengumpat beliau sejak SMP. Dalam pelukannya semua rasa itu pecah. Ibu. Ibu saya tidak mengatakan apapun, hanya memeluk saya semakin erat. Entah sihir apa yang ada dipeluknya, tapi saya merasa luluh.  Ibu hanya berkata, “Maaf,” dan kami menangis bersama.

Ibu mencoba menjelaskan, bagaimana beliau dulu ditempa dengan keras oleh nenek, ibu harus mandiri dalam situasi apapun. Nenek juga mengharamkan perceraian atas dasar apapun. Maka ibu pun menempa saya sebagaimana beliau ditempa.

Ilustrasi./Copyright pexels.com/ba phi

Ibu bukan tidak bangga melihat anaknya berprestasi, menjuarai berbagai perlombaan sains, mengurus rumah dan dapur selama ibu sakit, ibu hanya tidak ingin anaknya manja dan haus akan pujian. Pujian hanya mengendorkan niat karena kita telah mencapai sesuatu. Meskipun ditempa dengan keras, ibu tidak pernah menggunakan kekerasan fisik atau kata-kata kasar, sekali pun tidak pernah ibu melakukan itu meskipun anaknya melakukan kesalahan besar.

Untuk itu, ibu bertengkar hebat dengan ayah ketika si kecil berulah. Ibu menyadari kekerasan bukan alasan untuk mengajari meskipun ibu menempaku dengan keras. Ibu juga menentang perceraian, bahkan hingga hari ini ibu tidak pernah meminta cerai atas apapun yang ayah kerjakan. Prinsip ibu adalah bertahan. Jika dulu ibu bertahan untuk ayah, ibu kini bertahan untuk kami, anaknya. Ibu tidak ingin anaknya menjadi kehilangan sosok ayah, ibu juga tidak ingin melukai hati ayah dan ibu mertuanya. Ibu mengatakan hal ini kepadaku, “Bertumbuhlah dengan dewasa, supaya kamu besar tanpa menyakiti orang lain dengan pilihannya”.

Hari itu juga, saya menelepon ayah saya untuk pulang, saya tidak peduli di mana beliau saat itu. Ketika beliau sampai di rumah, di depan pintu, saya menghadang beliau dengan, “Saya membenci kebodohan ibu saya yang dulu bertahan untuk ayah, dan saya membenci ayah saya sampai hari ini. Tapi saya memberikan ibu saya pilihan untuk meninggalkan keluarganya atau bertahan dengan keluarganya, dan saya yakin ayah tahu jawabannya, ibu akan memilih bertahan. Untuk itu, saya bertanya kepada ayah atas kebodohan ibu, apakah ayah juga ingin bertahan atau meninggalkan keluarga ini? Kalau ayah ingin bertahan pintunya saya buka, kalau ayah memilih meninggalkan, saya tutup pintu rumah ibu saya ini.” Saat itu ayah saya menangis di depan pintu.

Hari sudah berlalu, kami menjadi keluarga yang mencoba lengkap. Mencoba memaafkan. Memulai mendewasakan, berusaha untuk tidak saling menyakiti. Tumbuh dewasa dalam pemahaman yang benar, agar tidak pernah menyakiti. Kami menenangkan hati kami untuk memenangkannya.

Semoga menginspirasi siapapun untuk memilih memaafkan.

Wassalamualaiykum warahmatullah
Solo, Mei 2018
Peluk hangat, Amoy.







(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading