Sukses

Lifestyle

Meski Hatiku Tak Bisa Memaafkan, Kudoakan Kau Bahagia dengan Gadis Itu

Setiap orang punya kisah dan perjuangannya sendiri untuk menjadi lebih baik. Meski kadang harus terluka dan melewati ujian yang berat, tak pernah ada kata terlambat untuk selalu memperbaiki diri. Seperti tulisan sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Vemale Ramadan 2018, Ceritakan Usahamu Wujudkan Bersih Hati ini. Ada sesuatu yang begitu menggugah perasaan dari kisah ini.

***

Kurang lebih empat tahun aku mengenalnya dan selama itu pula aku mengaguminya. Dia seorang lelaki yang usianya setahun lebih tua dariku. Dia seseorang yang memiliki pemikiran yang kritis dan cukup terbuka. Bertubuh tinggi dan memiliki hobi menonton film dan menjelajah semua kuliner yang sanggup ia cicipi.

Semenjak duduk di kelas tiga bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) aku dan dia jadi sering bermain bersama, membahas segala hal yang berkaitan dengan musik dan makanan. Sifatku juga mulai berubah sejak dia hadir menjadi teman dekatku. Aku mulai terbiasa membaca artikel yang ringan sampai yang berat karena setiap kali kami membahas sesuatu pasti ada saja hal baru yang akan kami pelajari. Kemampuan berbahasa asingku juga meningkat semenjak dia sering berkomunikasi denganku menggunakan bahasa asing. Dari berbagai hal-hal kecil semacam itu lah yang membuatku merasa nyaman bersamanya.

Malam itu aku sangat merasa bersalah kepada diriku sendiri. Untaian kata-kata itu tiba-tiba muncul begitu saja dan berhasil terkirim lalu terbaca olehnya lewat Blackberry Messenger. Aku bilang bahwa aku menyukainya. Di malam yang dingin itu aku berdoa agar respon darinya biasa saja. Yang benar saja, justru dia berterima kasih karena aku telah menyukainya. Senyum kecil menghiasi bibirku. Kamu mungkin tidak tahu berapa takaran bahagiaku malam itu. Kamu juga tidak akan tahu bagaimana aku menahan diri untuk tidak mengatakan semua itu karena gengsi seorang perempuan yang tidak ingin terlebih dulu menyatakan perasaan. Jangan pernah tahu karena aku pasti sangat malu.

Ilustrasi./Copyright pexels.com/ba phi

Ada satu hal yang terlupa, kita tidak pernah tahu kejadian-kejadian apa yang menanti di masa mendatang. Aku menganggap semuanya berjalan baik-baik saja sampai ketika kami berdua diterima di perguruan tinggi yang berbeda. Kesenanganku terusik dengan pernyataan darinya bahwa ia tak yakin bisa melanjutkan hubungan kami selama kuliah.

Terpisah oleh jarak ternyata membuat komunikasi kami sedikit demi sedikit terputus. Aku menghapus aplikasi Blackberry Messenger dari ponselku karena mulai sadar aku memang sudah terputus dengannya. Di tahun ketiga kuliahku kami mulai berhubungan lagi.

Kebahagiaanku kembali setelah dua tahun terlepas dari genggaman. Aku mencari kesempatan agar bisa bertemu dengannya karena tidak mungkin aku pergi ke luar kota tanpa ada kepentingan yang jelas. Kerinduanku sudah tidak terbendung lagi. Kala itu salah satu motivator idolaku sedang mengisi acara di tempat dia berkuliah. Aku sempat ragu untuk berangkat ke sana. Beberapa hari sebelumnya aku melihat update status miliknya, dia sedang bersama seorang gadis. Gadis yang berada di status itu adalah seseorang yang sudah kuperhatikan sejak awal masuk kuliah. Gadis itu terlihat sangat dekat dengannya dan aku takut akan hal itu.

Pertemuan dengannya sore itu membuatku gugup. Senyumnya, tingkahnya, cara bicaranya masih sama. Hal pertama yang ia tanyakan adalah, “Mau makan apa?”
Tawa kecil mengiringi jawabanku. “Nasi.”
Kebiasaannya berwisata kuliner juga tidak berubah. “Habis makan nasi kita makan es krim ya!” ajaknya.

Dua tahun tak bertemu, perbincangan menjadi kaku. Bagaimana kuliahnya? Sering pulang malam tidak? Mau lulus berapa tahun? Tidak semenarik dulu. Mungkin masih tidak percaya dengan adanya pertemuan seperti ini di warung makan pojokan lampu merah. Perjalanan kami masih berlanjut. Motornya berhenti di depan sebuah kedai es krim.

Aku terperangah melihat kedai itu. Kedai es krim yang pernah kami kunjungi saat SMA dan di awal masa kuliah. Kedai dengan nama yang sama, menu yang sama, suasana yang sama, tata ruang yang hampir sama, hanya lokasinya saja yang berbeda. Aku memperhatikannya sibuk meletakkan ponsel di samping tempat tisu. Dia memang begitu, suka memasang timer di kamera ponselnya untuk berfoto dan tak mau meminta bantuan orang lain untuk memotret kami berdua. Suasana menjadi hangat walau di tengah hujan deras mengguyur kota ini sejak siang tadi.

“Kamu ada geng dengan cewek-cewek di sini?” Aku penasaran dengan beberapa gadis yang dekat dengannya saat ini.
Dia terdiam sejenak. Tanpa melihatku dia menjawab pertanyaanku dengan singkat. “Enggak.”

Salah besar aku mengajukan pertanyaan seperti itu kepadanya. Bahkan aku tidak tahu bagaimana posisiku di dalam hidupnya dan dengan beraninya aku bertindak bodoh semacam itu. Hari semakin gelap, aku dan dia bergegas meninggalkan kedai. Perpisahan itu terulang kembali. Aku berdiri di depan pagar kos dan mengucapkan selamat tinggal kepadanya. Dia tersenyum lalu melambaikan tangannya ke arahku.

Ilustrasi./Copyright pexels.com/ba phi

***
Happy Birthday. Ucapan yang kutunggu sudah tiba. Tersenyum sendiri memandangi ponsel di hari lahirku ini. Beberapa teman turut mengucapkan selamat ulang tahun, ada pula yang berbaik hati memberiku kue keesokan harinya. Tidak ada hal aneh yang terjadi tapi perlu diingat lagi, kita tidak akan pernah tahu apa yang akan yang terjadi di esok hari.

Sebuah notifikasi masuk di ponselku.
“Twitter?” Ada apa dengan Twitter hari ini?

Kakiku lemas setelah tahu apa yang terjadi di luar sana. Apa yang kutakutkan terjadi juga. Gadis yang ku ceritakan di awal tadi berhasil dekat dengannya. Memang tidak ada deklarasi resmi tentang hubungan mereka berdua. Tapi ah sudahlah, ini memang sudah pertanda bahwa aku sudah tak bisa lagi mengharapkan apapun darinya. Air mataku terjatuh tapi bibirku masih bisa tersenyum.

“Sabar. Jangan ngatain diri sendiri bodoh. Jangan membenci perasaan, jangan membenci dirimu sendiri karena sudah terlalu larut dengannya.” Kata salah seorang temanku. Aku menangis di tengah-tengah rapat event sedang berlangsung dan beberapa teman-temanku berusaha menenangkanku dengan berbagai macam cara. Ada yang memberi petuah, menawarkan tisu, memberiku lelucon, dan ada juga yang menghiburku dengan menunjukkan video orasi mahasiswa. Bermakna sekali kawan, terima kasih.

Sebulan lebih aku mencoba menenangkan diri. Beberapa kali dia mengirimiku pesan tapi hanya kubalas ala kadarnya. Aku masih belum bisa berdamai dengan keadaan. Mendengar namanya saja aku mulai muak. Seperti menyesali semua peristiwa yang terjadi dari dulu hingga saat ini. Mengapa harus bertemu? Mengapa harus suka? Mengapa juga harus terlalu berharap kepada manusia? Dan yang terakhir, mengapa harus datang ke kotanya?

Ilustrasi./Copyright pexels.com/ba phi

Waktu pun berlalu dengan cepat. Aku mulai terbuka dengan siapapun termasuk dengan dirinya. Tuhan telah memberiku ruang untukku agar aku berpikir bahwa tidak ada yang perlu disesali dalam hidup karena semua peristiwa yang terjadi adalah kehendak-Nya. Aku kembali bermain social media. Kubuka Twitter, beberapa notifikasi menyambut kedatanganku. Tapi ada yang menarik perhatianku di beranda. Dia mengirim sebuah foto di statusnya. Yang benar saja, masih foto bersama gadis yang sama. Kesabaranku diuji saat itu juga. Mereka berdua semakin dekat saja selepas aku bersedih selama dua bulan. Kali ini aku tidak menangis. Terus terang aku berdoa semoga dia bahagia dengan kehadiran gadis itu. Aku tak segan untuk menekan tombol hati yang sudah disediakan oleh Twitter pada tautannya.

Hal apapun yang telah terjadi kemarin kuanggap sebagai pelajaran penting dalam hidupku agar tidak terlalu berharap kepada siapapun karena manusia tidak punya jaminan apapun. Sejak tragedi foto itu aku memang sangat membencinya, juga membenci diriku sendiri yang telah dibuai oleh karismanya. Tidak terpikir olehku untuk memaafkan. Batinku telah ditutupi oleh kesedihan dan penyesalan. Namun waktu dan keadaan telah mengubah segalanya menjadi lebih baik. Setiap malam aku bercerita dalam setiap doa yang kupanjatkan. Betapa ringkihnya aku sebagai manusia yang hanya bisa membenci dan tak mampu berbenah diri. Tuhan membersihkan hati manusia dengan cara-Nya yang menurutku indah sekali.

Penyesalan selalu hadir di akhir cerita tapi bukan berarti ceritamu akan berakhir saat itu juga. Kamu mungkin tidak tahu berapa patahnya diriku malam itu. Kamu juga tidak akan tahu bagaimana aku menahan diri untuk tidak mengatakan aku membencimu karena gengsi seorang perempuan yang tidak tahu posisinya di dalam hidupmu. Jangan pernah tahu karena itu semua sudah berlalu. Yang perlu kamu tahu, aku tetap ingin menjadi teman baikmu.






(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading