Sukses

Lifestyle

Kebanggaan Orangtua Bukan Pada Uangmu, Nak!

Setiap orang punya kisah dan perjuangannya sendiri untuk menjadi lebih baik. Meski kadang harus terluka dan melewati ujian yang berat, tak pernah ada kata terlambat untuk selalu memperbaiki diri. Seperti tulisan sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Vemale Ramadan 2018, Ceritakan Usahamu Wujudkan Bersih Hati ini. Ada sesuatu yang begitu menggugah perasaan dari kisah ini.

***

Setiap orang perlu menyesal untuk menjawab keraguan dalam hidup. Kata maaf ialah obat paling mujarab penyembuh rasa sesal yang datangnya tak bisa diprediksi oleh siapapun. Dari setiap rasa itulah kita semua belajar menjadi pribadi yang lebih baik.

Kenyataan Kehidupan
Aku yang waktu itu masih duduk di bangku sekolah TK menjadi sosok anak yang aktif. Aktif bertanya karena ingin tahu ini itu, belajar ini itu, dan menjadi tukang tiru tindakan ayah dan ibu. Aku sudah bisa menulis kalau itu meski hanya sepatah dua patah kata. Aku menulis “Ayahku Gila". Entah apa yang kurasakan saat itu hingga aku menulisnya di sebuah buku kecil warna warni khas anak TK. Aku hanya tahu satu hal bahwa ayahku sering kejang-kejang dengan mata melotot dan darah yang keluar dari mulutnya. Aku berteriak-teriak untuk memanggil ibu. Saat melihat cara ibu menolong ayah, saat itu aku tahu bahwa ayahku sakit, bukan gila.

Ilustrasi./Copyright pixabay.com

Mulai Menulis Mimpi
Ayahku memang dalam keadaan sakit namun ia adalah seorang yang berhati besar dan mengajariku untuk memimpikan hal besar dan tidak takut untuk  mengambil langkah besar. Ia percaya bahwa aku bisa menjadi orang besar suatu hari nanti. Satu mimpi yang kutulis, “Aku ingin menjadi dokter ahli saraf otak,” untuk mengobati ayahku sendiri. Jenjang demi jenjang pendidikan kulalui dengan cukup mulus. Namaku tak pernah absen dari peringkat kelas begitu sampai kelulusan SMA dan selama itu pula aku tidak pernah membagikan cerita tentang kondisi ayahku kepada teman baikku sekalipun karena Ayah akan malu jika aku melakukannya.

Suatu ketika aku harus melanjutkan studi di bangku kuliah. Ayah mengeluarkan statement ketidaksanggupan untuk membiayaiku masuk kuliah. Ayah menanyaiku berulang-ulang apakah aku benar–benar ingin kuliah. Dengan tegas aku menjawab, “Ya,” dan aku bertekad untuk mencari beasiswa agar bebas dari pembayaran uang semester. Aku pun menjalaninya. Aku hanya mencoba untuk mengingat butiran pil besar yang setiap hari wajib diteguk oleh ayah dengan harga yang tidak murah.

Ilustrasi./Copyright pexels.com/startup stock photos

Selangkah Sesal
Aku mulai mengenal dunia kuliah yang sangat berbeda dengan kondisi rumah. Idealismeku mulai terbentuk. Aku menjadi pribadi yang aktif organisasi baik di intra maupun ekstra. Menghabiskan banyak waktu untuk kehidupan kuliah dan organisasi. Aku berpikir bahwa dengan memperbanyak jaringan semakin mudah pula aku mencapai kesuksesan. Aku pun mulai mencari langkahku dengan caraku sendiri.

Sampai di semester akhir alih-alih mengerjakan skripsi aku malah mengambil langkah untuk bekerja sambil kuliah yang amat ditentang oleh orangtua. Aku percaya bahwa dunia akan mengecamku lebih buruk jika aku tidak memiliki pengalaman bekerja dan lulus dengan predikat menganggur. Bagaimana jika status menganggurku nanti malah membebani orang tuaku? Apa yang bisa dibanggakan orangtuaku dariku?

Aku mulai menerka-nerka masa depan suram yang akan kualami jika aku hanya kuliah. Aku mengambil 13 jam waktuku untuk bekerja di dua tempat sekaligus ditambah dengan berjualan online. Hari demi hari hidupku semakin memusingkan sampai di suatu titik aku sangat tertekan. Aku mendiamkan diri seharian mencari kembali maksud dari kujalani semua ini. Apa tujuanku berkuliah? Apa tujuanku di tanah rantau?

Ilustrasi./Copyright pexels.com/studio 7042

Aku meraih ponselku yang seharian tidak kujamah. Ibu menelepon berkali-kali. Ia mengabarkan lewat pesan singkat bahwa kondisinya drop dan memintaku untuk segera pulang. Tak ambil pusing di tengah hujan yang amat deras aku pergi ke kampung halaman.

Sesampainya di rumah ibu menyampaikan padaku. “Nak cepet lulus ya, biar bisa cepet pulang, yang ibuk sama ayah mau kamu segera lulus. Setelah lulus baru kerja. Apakah dengan kamu bekerja kamu bisa memenuhi kebutuhan hidupmu? Kebanggaan orangtua bukan pada uangmu, Nak.”

Aku menangis sejadinya dan minta maaf untuk langkah yang kuambil dengan egoisnya. Dengan peluk hangat seorang ibu ia menyampaikan “Yang lalu biar berlalu, Nak. Sekarang kamu harus semangat seperti kamu yang dulu." Aku pun memutuskan untuk resign dari semua pekerjaanku sebelumnya dan kembali ke jalan yang diridhoi orangtuaku.

Aku meyakinkan diriku bahwa seorang Khadijah yang jadi panutan tak perlu mencederai hati orangtua untuk menjadi sesukses itu.
Adakah yang lebih indah dari hari ini?
Tak perlu khawatir dengan masa depan, tak perlu larut dalam sesal di masa lalu.





(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading