Sukses

Lifestyle

Menikah Cuma Modal Sayang? Duh, Nggak Bakal Harmonis Deh Kayaknya!

Punya pengalaman tak menyenangkan atau tak terlupakan soal pertanyaan 'kapan'? Kata 'kapan' memang bisa jadi kata yang cukup bikin hidup nggak tenang. Seperti kisah sahabat Vemale yang disertakan dalam kompetisi Stop Tanya Kapan! Ungkapkan Perasaanmu Lewat Lomba Menulis Juli 2018 ini. Pada dasarnya kamu nggak pernah sendirian menghadapi kegalauan dan kecemasan karena pertanyaan 'kapan'.

***

Perkenalkan namaku Dwi Ratna Cinthya Dewi umur 25 tahun. Tempat tinggalku di daerah yang bisa dibilang desa karena masih terdapat sawah dan juga masih menganut tradisi-tradisi adat. Tapi juga bisa dibilang kota karena sudah lumayan banyak bangunan pabrik-pabrik yang berdiri. Tepatnya di daerah Sidoarjo. Kalian pasti paham bagaimana hidup di lingkungan pedesaan, mereka menganggap bahwa wanita yang sudah lulus sekolah setidaknya harus menikah.

Jika wanita belum menikah di umur 20-an ke atas pasti jadi bahan gunjingan. Maklumlah hidup di pedesaan rata-rata pemikiran orang-orang di sekitar masih kolot dan kaku. Mereka menganggap bahwa wanita umur 20-an ke atas belum menikah disebut perawan tua sebab ia tidak laku-laku. Atau bahkan wanita tersebut sudah punya pasangan tapi belum menikah mereka juga menganggap bahwa wanita itu nggak baik.

Ilustrasi./Copyright pexels.com

Ya beginilah kehidupan yang aku jalani saat ini. Penuh tekanan dan tudingan. Lihat saja umurku sudah 25 tahun tapi aku belum menikah, bahkan aku masih fokus pada pendidikan dan karier ke depanku. Yupz benar, aku baru lulus pendidikan Strata 2/S2-ku jurusan hukum dan lulus gelar Magister Hukum dengan predikat cumlaude. Keluargaku bangga dengan hasil yang kuperoleh tapi tidak dengan tetangga-tetanggaku.

Setiap pertanyaan kapan nikah itu pasti ada di orang-orang sekitar, tidak hanya orang desa tetapi juga keluarga dari bapak ataupun ibuku. Mereka selalu mendesakku untuk segera menikah tetapi aku tetap bersikukuh untuk melanjutkan studiku ke jenjang yang lebih tinggi lagi yaitu S3 hukum. Tidak hanya itu juga aku ingin berkarier sebagai dosen di salah satu universitas di perguruan tinggi mana pun.

Ilustrasi./Copyright pexels.com

Desakan dan gunjingan dari beberapa pihak ini pun menjadi-jadi ketika adik kandungku lamaran dan berniat menikah tahun ini. Pertanyaan pun menghampiriku bertubi-tubi. Beberapa orang tanya, “Kapan nikah? Kok adiknya duluan, pamali loh." Ada juga yang bilang, “Sekolah terus, kapan nikah? Mau nikah umur berapa?” Temanku juga tak kalah hebohnya, dia menghujat aku dengan pertanyaannya.

Dia bilang, “Mbak kapan nikah? Nggak malu tah diduluin sama adiknya?”
“Tak apalah jika adikku yang dulu, pernikahan itu bukan perlombaan, melainkan ibadah terpanjang yang akan dijalani. Jadi untuk menghadapi ibadah tersebut harus ada kesiapan materi maupun non materi. Ada materi tapi non materi belum siap, rumah tangga bisa oleng. Begitu pun sebaliknya. Dan secara keduanya aku belum siap,” jawabku santai sambal tersenyum.

Ilustrasi./Copyright pexels.com

Temanku bertanya lagi, “Tapi mbak, wanita kan ada masa kedaluwarsanya, pean nggak takut a?”
“Ya nggak mungkinlah aku nikah di atas umur 30, setidaknya aku ada waktu tiga tahun buat berkarier baik dalam studiku maupun pekerjaanku,” jawabku lagi. Dia pun akhirnya berhenti bertanya padaku. Maklumlah dia kan bidan jadi lumayan paham masalah reproduksi.

Pertanyaan dari hal kapan nikah, kapan kerja, kapan kerja sudah lulus S2, mau jadi apa kok di rumah saja, mau sampai kapan sekolah, ini sudah tidak asing lagi bagiku. Setiap kumpul keluarga, kumpul sama teman-teman, atau bahkan di majelis pengajian itu-itu saja pertanyaan yang dilontarkan orang-orang kepadaku. Bahkan setiap hari aku jadi buly-an saudara-saudara sepupuku. Dan dengan mudahnya kujawab saja kalau umurku ini masih muda dan masih berjiwa petualang. Petualang ilmu maksudnya bukan petualang cinta, hehehe.

Aku memang sudah punya pasangan tetapi kami berdua berkomitmen untuk mencapai tujuan karier kita masing-masing. Kami juga berkomitmen untuk setia satu sama lainnya sampai kami benar-benar sukses. Kuceritakan juga semuanya sama dia, kalau aku jadi bahan olokan, tapi dengan tenang dan bijaknya dia bilang, ”Kalau kita dengerin omongan orang kita yang pusing sendiri, karena omongan orang itu tidak ada habisnya." Hm... bener juga kan kata dia. Orang tak akan berhenti ngomong karena mereka punya mulut. Sebenarnya ada rasa minder dan takut dalam diri ini karena pertanyaan kapan. Sampai heran sendiri kenapa harus ada kata "kapan". Satu kata yang bisa membuatku badmood.

Ilustrasi./Copyright pexels.com

Ada beberapa alasan kenapa aku masih memilih untuk terus berkarier dan melanjutkan studiku. Menurutku menikah itu tidak hanya didasari oleh suka sama suka terus menikah. Tapi ada hal lain yang diperlukan selain kasih sayang yaitu kebutuhan ekonomi kita sehari-hari.

Jika menikah hanya punya sayang saja, tak mungkin kehidupan rumah tangga itu bisa harmonis terus. Karena kebanyakan faktor adanya perceraian itu disebabkan oleh kurangnya kebutuhan ekonomi dalam keluarga. Semua butuh uang untuk biaya hidup, sekolah bahkan matipun butuh biaya. Terus bagaimana bisa aku menikah tanpa mempunyai materi yang cukup?

Ilustrasi./Copyright pexels.com

Meski memenuhi nafkah tanggung jawab suami, apa cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Dan juga aku menempuh pendidikan setinggi ini bukan hanya untuk mengejar karier di kehidupanku, melainkan juga untuk kebaikan keturunanku. Karena menurutku semakin baik riwayat pendidikan orangtua, maka semakin baik dan bijak ia dalam mendidik anak-anaknya. Oleh sebab itu meski dalam setiap langkahku untuk menuju sukses kudengarkan gunjingan, bully-an, atau bahkan hinaan aku tak memperdulikannya. Karena hidupku tak harus berfokus pada kalimat negatif.

(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading