Sukses

Lifestyle

Jangan Katakan Sudah Berkorban Jika Belum Tahu Arti Sulitnya Mengikhlaskan

Aku ingin bercerita.

Awalnya, sebuah aku dan dia adalah kisah cinta yang manis. Bahkan mungkin melebihi gula. Namun memang, sejak awal kami masih berjuang merengkuh restu orangtua. Ada alasan tersendiri bagi mereka tidak menyetujui kami. Salah satunya adalah aku bukan kriteria perempuan yang mereka inginkan menjadi pendamping anak mereka. Ya sudahlah, aku bukan tipe orang yang akan menyerah dengan keadaan.

Orangtua kekasihku menginginkan anaknya yang sekarang sekolah dokter memiliki pendamping yang juga kelak akan berprofesi sebagai dokter. Apalagi kekasihku ini adalah anak tunggal. Wajar saja, banyak keinginan yang harus ia wujudkan untuk kedua orangtuanya.

Ilustrasi./Copyright pixabay.com

Namun, untuk bisa sekolah dokter sepertinya, itu cukup sulit bagiku. Aku sekarang adalah seorang yatim piatu dan diasuh oleh paman dan bibi. Meskipun perusahaan kedua orangtuaku dahulu masih dikelola paman, tidak enak rasanya menuntut mereka untuk hal yang berlebih. Apalagi aku masih punya adik yang bersekolah dan membutuhkan biaya.

Aku dan dia kekasihku semakin dicekal. Jika dulu saat sekolah, mulai SMP dan SMA, kami selalu bersama, mengerjakan tugas bersama, hingga akhirnya benih cinta tumbuh, maka tidak dengan sekarang setelah kami tamat SMA. Dia mulai fokus untuk memenuhi keinginan orangtuanya. Ikut kelas bimbel demi lulus di sekolah kedokteran bagus. Bahkan di komunikasi kami terakhir, dia berkata bahwa ia akan sekolah ke luar negeri. Tak lupa ia meminta doa dan izin padaku. Hal inilah yang sebenarnya semakin menggoreskan luka padaku.

Setelah komunikasi itu, kami semakin terkekang dan jarang berkomunikasi. Ia mulai dibatasi untuk berkomunikasi padaku. Jika biasanya hari Minggu sore, kami berdua datang ke taman. Tepatnya dibawah pohon tua yang daunnya selalu gugur di atas kepala kami, maka kali ini dia tidak datang. Entah sampai kapan dia tidak datang menemuiku. Aku pun tidak tahu. Berjam-jam aku menunggunya, hasilnya nihil. Aku sekarang hanya bisa menuliskan kalimat harapan di daun kering yang telah gugur sendirian. Biasanya kami melakukannya berdua.

Ilustrasi./Copyright pixabay.com

Di sana kami pernah bertekad bahwa kami akan berjuang. Kalau dokter yang ayah dan ibunya inginkan, maka kami akan wujudkan itu. Begitulah tekad kami dalam jalinan kasih penuh perjuangan.

Beberapa bulan berlalu, akhirnya kami berhasil bertemu di taman itu. Dia datang dengan senyum merekah dan ternyata ingin mengatakan kabar bahagia bahwa ia lulus di sebuah sekolah kedokteran luar negeri. Jujur, sebagai orang yang menyayanginya, aku senang mendengarnya. Setidaknya ia bisa mewujudkan keinginan kedua orangtuanya. Dalam pertemuan itu, ia juga sekalian pamit bagiku. Teramat sulit bagiku sebenarnya. Apalagi ia sudah pasti akan semakin sulit kujangkau.

Setelah pertemuan itu, seminggu kemudian, aku menerima pesan singkat darinya bahwa ia sudah mau berangkat menuju bandara. Dibawah pesan itu ia menuliskan, "See you, I really love you." Pesan itu mampu membuat air mataku mengucur deras. Padahal sebenarnya aku bukanlah orang yang cengeng.

Ilustrasi./Copyright pixabay.com

Setelah dia pergi, maka giliranku untuk berjuang. Aku mulai melamar beasiswa supaya bisa tidak memberatkan bibi dan paman. Akhirnya, usahaku itu membuahkan hasil. Aku diterima di sebuah perguruan tinggi jurusan kedokteran dengan beasiswa. Dengan itu, aku tidak begitu memberatkan untuk paman dan bibi.

Ingin rasanya aku ke taman, mengajaknya bercerita dan bahagia bersama. Namun, ia sudah tidak lagi dekat denganku. Aku pun tidak boleh terlalu cengeng, sebab ini adalah komitmen kami. Aku pun menghapus mataku yang mulai mendung. Hanya sebuah pesan singkat yang berhasil. Kukirimkan padanya. Kutunggu balasan darinya dengan penuh harap, namun memang kali ini, sabarku harus ada di ujung penantian yang penuh ketidakpastian. Hanya komitmenlah yang aku pegang.

Hari terus berlalu, aku mulai tegar dengan keadaan. Biarlah waktu yang akan menjawabnya.

Ilustrasi./Copyright pixabay.com

Penantian panjang itu akhirnya usai, aku telah menyelesaikan studi kedokteranku dengan baik. Sekarang aku resmi dipanggil bu dokter. Banyak hal sebenarnya yang ingin kurencanakan. Termasuk memberi kabar padanya terkait hal bahagia ini. Bagaimana tidak, impian aku dan dia sudah terwujud.

Aku bahagia, terlebih saat dia memberi kabar akan segera pulang ke tanah air melalui pesan singkat. Tidak lupa ia mengajakku berjumpa di tempat yg sama. Namun aku sedikit bingung, dia tak lagi menyertakan ucapan I love you dan emoticon hati di akhir pesan.

Tapi aku tetap mengabaikan itu. Ah, yang terpenting sekarang aku telah menemui ujung perjuangannya.

Tibalah waktu yang sudah aku tunggu.
Benar saja, ia datang bahkan bersama kedua orangtuanya. Saat itu aku datang menggunakan seragam dokter yang telah kudapat. Tujuannya tidak lain adalah untuk memberikan kabar bahagia padanya. Kebetulan ada orangtuanya. Kupikir, inilah akhir kisah cintaku dengannya.

Kami awali perbincangan
"Mia..., "panggilnya
"Randi," jawabku sambil melanjutkan. "Sayang...(menitikkan air mata) a..a...ku sudah raih pakaian putih ini, aku udah jadi dokter, aku sudah penuhi keinginan ayah ibu kamu dahulu. Tak sempat aku melanjutkan perkataan lagi, Randi langsung memelukku. Aku tak tahu kenapa dia menitikkan air mata begitu deras bahkan melebihiku.

Randi sembari berkata, "Maa..a..f" (terbata-terbata)
"Kenapa sayang? Maaf untuk apa?"

Seketika ibunya Randi menyela perbincangan itu, "Mia, terima kasih telah menjadi cinta anak saya selama ini, terima kasih juga atas ketulusan kamu, namun, jika kamu pikir saya dan ayahnya Randi akan menyetujui kalian, maka itu salah. Sampai sekarang saya masih tidak setuju atas kamu dan anak saya menjalin hubungan. Di sini saya juga ingin bawa kabar bahwa Randi akan segera menikah dengan Nisa (terlihat seorang wanita datang tersenyum). Perkenalkan, ini Nisa, lebih tepatnya dokter Nisa. Ia sudah bertunangan dengan Randi, dan sebentar lagi akan menikah. Jadi saya harap pada kamu, tinggalkan anak saya, buang mimpi kamu."

Aku terjatuh di tanah, menangis. Rasanya sangat tidak karuan. Marah, sedih, khianat, benci, ketidakadilan, dan masih banyak lagi rasa yang lainnya.

Tampak Randi ingin membawaku kembali bangkit ke atas. Namun tunangannya Nisa menghalangi. Kulihat mata Randi juga berkaca-kaca. Setelah itu aku diberi undangan pernikahan oleh ibunya. Sakitku sangat sakit sekali. Inilah pengorbanan yang berujung sakit. Tidak semua indah seperti yang banyak diceritakan.

Randi, tunangannya dan orangtuanya beranjak meninggalkanku. Mendung hatiku disambut mendungnya awan saat itu. Dibawah pohon yang digoncang angin aku rebah. Hujan mulai merintik. Percikan lumpur pun menghampiri seluruh badanku. Pakaian dokterku habis ditelan lumpur. Sama seperti putih ketulusan cintaku yang beribah dengan warna kehitaman karena ditelan ketidaksanggupan menerima keadaan.

Ilustrasi./Copyright pixabay.com

Bibi yang sedari tadi mencariku ternyata menyaksikan apa yang sudah menimpaku sore itu. Ia berlalu kearahku, memelukku, dan berkata, "Mia sayang, yakinlah sayang pengorbanan akan selalu dilihat oleh Tuhan, jangan putus asa dengan ini, yakinlah Tuhan bakal kasi kamu yang lebih baik dari Randi, yakin ya," ujar bibi.

Aku hanya sesenggukan, dan tidak bisa membalas apa yang dikatakan bibi. Kami pun akhirnya pulang. Aku segera membersihkan badanku yang terlanjur kotor karena lumpur hujan.

Dari jendela kamarku yang sunyi, aku melihat rintikan hujan yang sedari tadi belum berhenti. Tiada yang kupikirkan selain cara mengikhlaskan Randi dan mengubur semua kenangan. Hanya waktulah yang paling tau jawabannya.

Itulah kisah cintaku yang penuh pengorbanan. Jangan katakan sudah berkorban jika belum tahu arti sulitnya menanti, sulitnya bersabar dan sulitnya mengikhlaskan.

(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading