Sukses

Lifestyle

Di Balik Canda Seorang Ayah, Ada Beban Berat yang Disembunyikannya Sendiri

Ayah adalah tempat pertama untukku berlabuh dalam keadaan apapun. Ayah sangat berarti bagiku. Sosok bijaksana yang menaungi seluruh anggota keluarga. Sifatnya yang tegas dengan semangatnya yang menggebu untuk membahagiakan keluarga. Karena keluarga adalah sesuatu yang harus dipertahankan dan dilindungi olehnya.

Namaku Rizanatul Fitri, aku mahasiswi Universitas Negeri Semarang. Aku anak ke-2 dari 3 bersaudara. Ayahku hanyalah seorang tukang kayu di Jakarta dengan masa kerja sebulan, sebulan setelahnya ayahku menganggur dan begitupun seterusnya. Sebulan setelah ayah bekerja ayah pulang ke rumah tanpa mempunyai pekerjaan, hal ini dilakukan karena adik ayahku (paman) bekerja bersamanya.

Ilustrasi./Copyright pexels.com

Setelah ayah bekerja sebulan penuh, sebulan selanjutnya pamanku lah yang bekerja menggantikan ayahku. Ayah rela melakukan ini semua karena ayah sangat menyayangi adiknya. Sedari kecil, ayah memang sudah menjadi tulang punggung keluarga hingga ayah rela tidak melanjutkan sekolah dasarnya untuk bekerja di sawah membantu ibunya mencari nafkah untuk 6 adiknya. Dan Ibuku seorang buruh jahit dengan upah yang tak seberapa. Kakakku seorang pegawai swasta dengan gaji yang sedikit.

Adikku duduk di kelas 1 Madrasah Tsanawiyah sekaligus mondok di sebuah Pondok Pesantren Modern di daerah Bumiayu, Brebes. Dan sudah 3 bulan adikku belum membayar uang bulanan. Walaupun dari pihak pondok tidak pernah menagih, namun kedua orangtuaku selalu resah akan hal itu.

Kerap kali ayah bercerita tentang adikku dan utang ibuku yang membuatnya pusing. Ayah bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan kuliahku dan adikku serta berusaha membayar hutang ibuku. Hingga hal itu membuat ayah lupa makan dan jatuh sakit. Sering kali aku berkata, “Ayah kerjanya semampu ayah aja, kalau capek jangan dipaksain kerja terus! Nanti ayah sakit”. Namun ayahku berbalik bertanya sembari menggodaku, “Kalau ayah nggak kerja keras, nglembur, nyisihin uang makan, gimana ayah bisa biayain kuliahmu, adikmu dan kebutuhan serta utang ibumu hayo?” Seketika air mataku menetes, dan aku hanya terdiam.

Ayahku sangat peduli dengan keadaan keluargannya. Dan ayah rela melakukan apapun agar keluarganya bahagia walaupun ayah menderita. Dua minggu yang lalu, ayah berkunjung menemui adikku, uang saku adikku habis namun dia tak meminta uang saku ke ayah dan ibu, dia memilih berpuasa dan sudah hampir dua bulan dia berpuasa dengan sahur seadanya bahkan hanya meminum segelas air putih. Sontak hal ini membuat ayahku bangga sekaligus terharu. Namun di sisi lain, aku merasa menjadi anak yang tak tahu diri dengan selalu meminta uang kepada ayahku karena harus membeli buku, iuran ini itu tanpa ada usaha untuk memutar otak untuk berhemat. Dan lagi, aku belum pernah membuat bangga kedua orangtuaku.

Ilustrasi./Copyright pexels.com

Kejadian itu membuatku berpikir, ayahku selama ini bekerja dengan keras. Ayah seringkali bercerita tentang dirinya dengan nada yang santai dan lucu. Aku kira ayah hanya bergurau akan ceritanya selama ini. Namun ternyata di balik itu ayah mengerahkan seluruh tenaganya dan waktunya untuk kebahagiaanku.

Aku sangat menyesal dan merasa sangat bodoh karena aku tak sehebat adikku dan selalu menyakiti ayahku dengan menganggapnya hanya mementingkan bekerja sepanjang waktu tanpa berkomunikasi intens denganku. Ayah selalu bersikap ceria denganku tanpa menampakkan beban berat yang ia tanggung. Sebenarnya, di dalam guraunya, ayah memendam tanggung jawab yang berat.

Ayah, kali ini aku janji akan membahagiakanmu seperti kau membahagiakanku dengan segenap jiwa ragamu. Walaupun aku tahu, semua usahaku pun tak akan pernah bisa menyamai usaha yang kau berikan untuk membahagiakanku, adikku dan ibuku yang kini selalu bergantung padamu. Ayah, kau pahlawanku.


 (vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading