Sukses

Lifestyle

Cinta Pertama Nggak Usah Terlalu Diharapkan, Belum Tentu Dia Jodohmu

Hidup memang tentang pilihan. Setiap wanita pun berhak menentukan dan mengambil pilihannya sendiri dalam hidup. Seperti cerita sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Menulis April 2018 My Life My Choice ini. Meski kadang membuat sebuah pilihan itu tak mudah, hidup justru bisa terasa lebih bermakna karenanya.

***

Pertengahan tahun 2007, aku duduk di tingkat terakhir Sekolah Menengah Pertama. Aku menghabiskan masa SMP-ku tinggal di kota Blora. Kota tempat dari mana ibuku berasal, sedangkan aku sendiri lahir dan besar di kota Solo. Alasan aku berpindah di Kota Blora adalah di tahun yang sama, salah satu adikku hendak memasuki bangku sekolah dasar. Ayahku yang sehari-hari hanya bekerja sebagai penjual makanan di Solo, tidak sanggup jika harus membayar uang pangkal sekolah dua anaknya sekaligus. Alhasil, sebagai anak sulung aku mengalah tinggal bersama Bulekku di kota Blora.

Bagi sebagian orang, tinggal di lingkungan dan suasana baru bukanlah suatu hal yang mudah. Awal adaptasi, terasa cukup sulit bagiku. Membuatku lebih dikenal sebagai pribadi jarang bicara, pemalu dan jarang bergaul dengan teman-temanku. Di tahun ketigaku duduk di sekolah ini, aku mendapat kelas yang terkenal banyak diisi dengan anak-anak bandel yang suka melanggar peraturan. Alhasil, sebagai salah satu kiat wali kelasku untuk mengurangi keluhan beberapa guru, adalah memasangkan murid laki-laki dan perempuan untuk duduk bersisihan. Melalui cara undian, aku bernasib duduk di samping salah satu anak yang boleh dibilang cukup populer di kelasku. Sebut saja namanya Ian. Banyak teman sekelas perempuan yang menaksirnya, tapi Ian ini dikenal cuek, dingin dan sombong kalau dengan perempuan. Jarang mau diajak ngobrol kalau teman perempuan, ia lebih suka bergorombol dengan teman-teman cowok yang hobinya usil di kelas kami.

Awal-awal aku duduk satu bangku dengannya, Ian tak pernah mengajakku bicara. Dia dikenal bandel, lebih suka membolos atau pergi ke kantin diam-diam saat jam pelajaran. Aku dan dia sering berantem karena dia ini berisik, dia suka ngobrol sendiri dengan teman cowok yang duduk di belakang bangku kami. Setiap kali kutegur, kalau aku terganggu pada suaranya, dia balik mengataiku cerewet. Anehnya setiap kali aku minta dia untuk tukar tempat dengan anak cowok lain yang lebih tenang dan pendiam, dia menolak dan menurut diam. Bukan untuk menyimak dan mendengar penjelasan dari guru, tapi malah asyik sendiri menggambar abstrak di buku tulis. Kami berdua justru mulai akrab dan dekat karena satu kejadian yang membuatnya peduli padaku.

Ilustrasi pasangan./Copyright shutterstock.com

Saat itu ada seorang guru matematika terkenal galak. Tiba-tiba meminta kami semua mengumpulkan buku catatan kami di depan mejanya. Aku kaget, karena jujur saat itu aku jarang mencatat materi. Sampai pada apa yang kutakutkan terjadi, buku catatanku dilempar guruku di depan kelas setelah beliau periksa isinya, hingga bagian sampulnya terlepas. Beliau bahkan langsung memintaku ke ruang BP. Guru matematikaku bilang, aku satu-satunya murid perempuan yang tidak lengkap catatannya. Ia cukup terkejut padaku, yang selama ini dikenal pendiam, tenang dan tidak pernah membuat ulah ternyata malah mengecewakannya. Beliau merasa aku terlalu menyepelekannya, terlebih sekarang ini aku sudah duduk di bangku kelas 3, kelas terakhir sebelum menghadapi ujian. Saat ditanya guru BP, mengapa aku dapat berbuat demikian.  Aku pun mengakui  bahwa, mataku sebetulnya minus sejak aku kelas 5 SD.

Waktu itu Ian juga turut dipanggil di ruang BP. Guru BP meminta Ian untuk membantuku menyalin catatan dari papan tulis, terlebih dipelajaran yang tidak bisa kutangkap dengan indra pendengaran. Guru matematikaku yang saat itu malah meminta maaf, memarahiku tanpa menanyakan sebabnya terlebih dahulu. Beliau bahkan bersedia meluangkan waktu kalau-kalau aku kurang paham, aku boleh langsung menemui beliau di ruang guru.

Selepas kejadian itu Ian mengutarakan juga ketakutannya kalau tidak lulus SMP tahun itu, dan harus mengikuti ujian ulang. Ia lemah di pelajaran bahasa Inggris, menurutnya bahasa Inggris seperti bahasa alien yang sulit dipahami. Kebetulan aku memang lebih unggul di pelajaran bahasa yang mengandalkan indra pendengaran. Aku yang lemah di bidang perhitungan menjadi bergantung pada Ian, sedangkan aku semampuku membantu Ian untuk belajar bahasa Inggris. Kedekatan kami membuat heran anak-anak lain di kelas, karena sebelumnya kami tak terlihat akrab.

Ilustrasi pasangan./Copyright shutterstock.com

Ian mulai banyak bercerita tentang dirinya, hobinya yang suka bermain sepak bola, tentang Ibunya yang selalu mengomelinya kalau ia malas belajar di rumah, hingga ke sekolah mana  setelah lulus SMP nanti. Sampai pada singkat cerita, ia menanyakan akan melanjutkan kemana setelah aku lulus SMP nanti. Saat aku menjawab harus kembali ke Solo, karena Ayahku memintaku pulang, Ian tampak kaget. Ada perubahan raut wajahnya pada kala itu. Sejak aku mengutarakan jawaban pertanyaannya. Entah mengapa Ian berubah menjadi sosok yang seperti sebelum kami akrab. Kembali cuek, dingin dan jarang bicara, meskipun dia masih tetap meminjamkan buku catatannya padaku.

Lebih anehnya lagi, Ian bersedia tukar tempat duduk sehari pada Barry. Padahal biasanya Ian tidak akan mau, kalau ada yang memintanya tukar posisi duduk.  Baru kutau setelahnya, ternyata Barry punya tujuan untuk menembakku jadi pacarnya. Hal itu tentu saja kutolak, mengingat aku sebentar lagi bakal kembali ke Solo.

Zamanku SMP dulu, HP belum semenjamur sekarang. Kalaupun kita jadian, mau komunikasi pakai apa? Sejak saat itu Ian terasa sangat menjaga jarak denganku. Ian mungkin merasa tidak enak hati pada Barry yang terang-terangan menyatakan rasa sukanya padaku. Hal itu terjadi sampai kita ujian, dan sama-sama ditanyakan lulus SMP. Sikap Ian tak juga berubah. Padahal ia tahu, waktuku untuk tetap tinggal di kota ini tidak akan lama lagi. Sampai waktu-waktu terakhir setelah lulus.  Sebelum aku akhirnya pulang ke Solo pun, Ian tetap menjaga jarak denganku. Ia hanya menjawab seadanya, acuh dan cuek bila kutanyai sesuatu.

Ilustrasi pasangan./Copyright shutterstock.com

Awal aku kembali ke Solo hingga beberapa tahun yang kulalui kembali di kota ini. Aku sulit melupakan Ian. Begitu adanya jaringan media sosial pertemanan, aku langsung berupaya mencari kembali sosoknya. Beberapa teman yang ketemui akunnya, kutanyai  tentang Ian, di mana Ian sekarang, selalu menjawab sama. Ian terakhir hanya terdaftar sebagai seorang siswa sekolah kejuruan di Blora, selebihnya tidak ada yang tau. Aku selalu diliputi rasa penasaran bagaimana kabarnya sekarang. Apakah ia sudah punya pasangan sekarang? Gadis seperti apakah yang berhasil memenangkan hatinya?

Sebelum akhirnya aku fokus kuliah sambil bekerja, dan mencoba menjalin hubungan dengan seorang lelaki. Ini kali pertama aku berpacaran. Setelah sekian lama aku berupaya mencari kabar cinta pertamaku, selalu hasilnya nihil. Entah mengapa, ada satu keraguan yang selalu membuatku bertanya-tanya saat menjalin hubungan berpacaran kali ini. Berbeda saat ketika aku dekat dan akrab dengan Ian dulu. Aku dan pacarku termasuk jarang bertemu langsung, tapi ia selalu menuntutku memberi kabar.

Aku jengah sebetulnya harus menjalani hubungan seperti itu. Belum nanti kalau ia tahu aku yang mengambil kuliah jurusan komunikasi, kadang mengharuskan tugas berkelompok dengan teman laki-laki selalu ditanyai banyak pertanyaan. Aku kadang ingin mengakhiri hubungan dengannya, yang belum berjalan lama. Nyatanya, Tuhan memberiku jalan. Ya, tiba-tiba saja dia menikah dengan gadis lain, yang ia bilang sudah dijodohkan orang tuanya sejak dulu. Kenapa ia tidak mencoba menjelaskan dan mengenalkanku pada orang tua, juga keluarganya kalau dia sudah punya pilihan?

Awalnya hal itu memang membuatku sedih dan sakit hati. Sebab yang kudengar, gadis pilihan yang menikah dengan mantanku berasal dari keluarga yang cukup terpandang di satu daerah Jawa Timur. Sangat jauh dibandingkan aku yang hanya menjadi anak tukang penjual makanan. Sebetulnya, siapa sih yang dapat memilih, kita harus lahir dan besar dari keluarga siapa? Aku berupaya merelakan dengan melepaskan belenggu sakit hati, bahwa aku yang perempuan pun kalah dipilih karena ketidak beruntungan kasta.

Di suatu waktu, saat aku ingin membebaskan diriku dari rasa sakit hati. Aku mengagendakan diri jalan-jalan ke kota Jogjakarta. Menyusuri jalanan Malioboro, aku berupaya menikmati hidupku. Di tengah kerumunan, aku seperti mengenal sosok yang pernah lama kukenal. Orang yang keberdaannya selama ini kucari-cari. Awalnya aku ragu, tapi aku takut kehilangan kesempatanku kalau ternyata memang benar itu dia.

Aku berjalan menghampiri sosoknya. Aku bertanya padanya apakah namanya Ian. Dia mulanya bingung, karena selama tinggal di Jogja, tak ada orang yang pernah memanggil namanya Ian. Dia awalnya bilang tidak pernah merasa mengenaliku, hingga saat aku meminta maaf dan hendak berbalik arah. Ia baru memanggil namaku dari belakang.

Aku kaget dan menoleh, orang itu malah tersenyum. Senyum yang sama dengan beberapa tahun yang masih berupaya kuingat kini. Masih sama, menandakan bahwa pemiliknya orang yang dingin, songong dan jahil. Dia memang Ian. Orang yang sosoknya berupaya kucari selama ini. Ian rupanya dulu menempuh kuliah di Jogja. Saat itu dia sedang berkunjung di salah satu temannya yang belum berhasil lulus. Ian menanyakan kenapa aku bisa ada di sana. Rasanya tidak menyangka kami bisa bertemu kembali dengan cara yang sama sekali tidak terduga. Ia yang kucari-cari selama hampir 7 tahun lamanya.

Ilustrasi pasangan./Copyright shutterstock.com

Ian malah yang menuduhku anak hilang tanpa kabar. Ia seperti tak merasa diri kalau dirinyalah yang selama ini sulit dicari. Selama beberapa jam, kami larut pada cerita masing-masing. Mengingat hal lucu di masa SMP dulu, ataupun kehidupan kami setelah lulus dari SMP. Ia cukup kaget melihatku yang sekarang berkacamata. Kujumpai sosoknya kini dalam perawakan yang lebih berisi dan tinggi. Padahal dulu kita yang tingginya hampir sama, kini aku menjadi kalah jauh darinya. Ia sempat tertawa, tidak menyangka aku malah jadi sekecil ini. Tidak seperti waktu SMP yang dikenal cepat tumbuh tinggi dan lumayan bongsor dibanding teman perempuan di kelas kami.  Sebelum akhirnya berpisah, kami bertukar nomor dan janjian untuk bertemu di Solo.

Saat kami bertemu lagi di kota Solo. Ia mengaku sekarang sudah punya pacar, tetangganya saat masih tinggal di Blora. Ia juga meminta maaf dulu sempat tiba-tiba menjauh padaku sebelum kita lulus. Adanya Barry yang waktu itu menembakku, Ian jadi merasa sungkan kalau harus tetap dekat denganku, sedangkan ada teman lain yang juga suka padaku.

Selain itu ada alasan lain yang ternyata melatar belakangi tindakan perubahannya padaku dulu. Ia bercerita  pernah trauma, takut seandainya kembali ditinggal oleh orang yang dia sayangi. Dua tahun sebelum dekat denganku, rupanya Ian sudah menemukan cinta pertamanya. Gadis itu ternyata yang menjadi pacarnya sekarang. Ia menyukai gadis itu, tapi dulu tidak berani mendekati dan mengungkapkan. Ian melihat terlalu banyak saingan, karena gadis yang dia sukai merupakan bunga desa di daerahnya tinggal. Gadis itu berbeda sekolah dengan kami, walaupun kami seumuran. Ian dan gadis itu bersahabat dan sudah dekat sejak kecil. Ian sangat menyayangi gadis itu dan selalu berusaha menjaganya. Di SMP-nya sendiri, gadis itu ternyata malah memilih berpacaran dengan temannya di satu sekolah. Itu alasan yang ternyata membuat Ian merasa sulit untuk kembali dekat dengan perempuan. Ia takut kembali merasa menyayangi tapi akhirnya hanya akan disakiti.

Ia mengaku padaku, entah mengapa saat berada dekat denganku dulu rasanya berbeda. Ia merasa seolah bergembira dan tenang. Baru akhirnya, Ian merasa ada yang mampu kembali membuatnya percaya, kalau tidak semua perempuan itu bakal menyakitinya. Ia mengakui memang merasa nyaman denganku, yang selama ini dari luar dikenal pendiam dan jarang bicara. Ternyata aslinya aku lucu dan ceria, bahkan kadang cerewet tapi bisa menjadi pribadi yang apa adanya. Terlebih ia merasa bantuanku saat membantunya belajar bahasa Inggris dulu tulus dan sabar. Ia mengaku juga, dulu merasa mulai sayang padaku.

Makanya hari di mana aku bilang tidak bisa lagi tinggal di kota Blora setelah lulus SMP. Ia merasa sangat kecewa, dan takut apa yang ia rasakan dua tahun sebelumya bakal kembali ia rasakan dalam hidupnya. Kehilangan orang yang sudah ia merasa sayangi. Aku hanya bisa terdiam mendengar pengakuannya kini. Jawaban atas pertanyaanku yang dulu terjawab sudah, tapi kembali lagi aku tidak bisa merubah keadaan. Ian yang sekarang, sudah ada yang memiliki.

Ilustrasi pasangan./Copyright shutterstock.com

Awalnya, sulit untuk membuang rasa sayang, yang kembali mejalari hatiku saat kembali bertemu Ian. Sosok yang selama bertahun-tahun kucari keberadaannya. Selama beberapa bulan setelah kami bertemu.  Kami masih berkomunikasi melalui chat dan telepon. Dia bilang, dia mulai merasa ragu pada pacarnya yang sekarang. Pacarnya terkadang terus menuntutnya untuk segera dinikahi, padahal Ian sendiri belum punya pekerjaan. Ian merasa, mengapa pacarnya tidak dapat berpikiran setenang aku dalam menghadapinya.

Awalnya, aku masih punya pemikiran untuk berupaya dapat kembali seperti dulu bersama Ian. Sebelum akhirnya aku sadar, bahwa apa yang aku pikirkan bukanlah pemikiran yang baik. Aku pernah merasakan sendiri rasanya sakit ditinggalkan, dilepas dan tidak diperjuangkan karena suatu alasan. Aku akhirnya memilih sikap dan tindakan, mulai menjaga jarak dan komunikasi dengan Ian. Beralasan apabila kuliahku sedang banyak tugaslah, di kerjaan lagi banyak garapanlah, dan lain hal sebagainya untuk mengurangi tingkat kedekatan kami.

Sampai pada akhirnya dengan jujur dan tegas. Aku meminta Ian untuk kembali setia, pada gadis yang selama ini memang sudah menjalin hubungan terlebih dahulu dengannya. Menjaga hati seorang perempuan yang telah dipercayakan padanya selama ini. Terakhir dengan yakin dan mantap aku memohon pada Ian, untuk tetap memilih dan ke depannya menikahi pacarnya selama ini. Sebab bagaimanapun hubungan mereka sudah telanjur berjalan lama. Kedua belah pihak keluarga Ian dan pacarnya sudah saling mengenal. Ian awalnya kaget dan kecewa mendengarkan permintaanku. Terlebih, saat Ian belum mendapatkan pekerjaan, bukan pacarnya, tapi aku lah yang selalu menyemangatinya untuk tidak lelah mencari pekerjaan.

Awal bulan ketiga tahun ini, Ian akhirnya melangsungkan pernikahannya dengan pacarnya selama ini. Patah hati? Pasti iya kurasai, tapi aku berbahagia memilih keputusan untuk tidak merusak hubungan orang lain. Barry yang dulu pernah menembakku saat SMP pun, telah melangsungkan pernikahan dengan satu tetangganya di akhir tahun 2017 lalu. Aku mungkin belum menemukan sendiri pasanganku. Di usiaku yang hampir seperempat abad kini. Satu keyakinan yang tetap aku percayai. Tuhan kelak akan menghadirkan pengganti Ian. Sosok lain yang kelak memang ditakdirkan menjadi milikku, seutuhnya dan selamanya.

Solo, 25 April 2017




(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading