Sukses

Lifestyle

Menyembuhkan Luka dari Perlakuan Buruk Mantan Bos

Fimela.com, Jakarta Apapun mimpi dan harapanmu tidak seharusnya ada yang menghalanginya karena setiap perempuan itu istimewa. Kita pun pasti punya impian atau target-target yang ingin dicapai di tahun yang baru ini. Seperti kisah Sahabat Fimela ini yang kisahnya ditulis untuk mengikuti Lomba My Goal Matters: Ceritakan Mimpi dan Harapanmu di Tahun yang Baru.

***

Oleh: Luciana Eka Prihatiningsih - Malang

Januari kuawali dengan rasa berat di dalam hati, pikiran, dan sekujur tubuh. Bangun pagi sebagai seorang pengangguran di usia produktif, ditambah dengan bayangan trauma masa lalu yang membuatku kehilangan rasa percaya diri kronis yang tak kunjung sembuh sejak dua tahun lalu. Ya, aku adalah seorang wanita pengangguran yang telah habis kontrak kerja sejak tahun lalu. Sebetulnya aku adalah orang yang beruntung karena perusahaanku menawarkan perpanjangan kontrak kerja, namun karena beberapa pertimbangan di mana salah satunya berkaitan dengan minat yang akhirnya membuat kinerjaku di sana tidak maksimal, aku memutuskan untuk tidak memperpanjang kontrak kerja di salah perusahaan swasta yang cukup bonafide tersebut.

Sebelum bekerja di sana, aku sudah sempat bekerja di bagian marketing di salah satu perusahaan swasta yang cukup diidamkan oleh rekan-rekanku yang lain. Namun, perlakuan yang buruk dari atasan hingga membuatku kehilangan rasa percaya diri dan kecemasan berlebihan, membuatku mengajukan surat resign, sedangkan aku sebetulnya menikmati pekerjaan dan lingkungan kerjaku di sana. Tekanan di bagian marketing yang seharusnya berada di target yang tinggi dan customer yang tidak bersahabat nyatanya tidak seberat efek dari kekerasan verbal yang sering dilakukan oleh si Bos. Kehilangan semangat dan menjadi rendah diri menjadi efek awal saat aku kerap mendapat perlakuan seperti itu, hingga aku sampai di titik di mana aku benar-benar tidak dapat menerima semua kata-kata kasarnya yang seolah tak pernah habis dalam kamus pikirannya, sesuatu yang sangat menyinggung dan akhirnya membuatku membulatkan tekad mengantarkan surat resign ke atas meja si Bos.

Surat resign yang kuajukan dua tahun lalu sempat membuat beberapa rekan sekantor kaget dan bertanya-tanya, bukan karena alasan yang kupaparkan, melainkan karena sikapku yang terlihat sudah berdamai dengan tekanan si Bos. Rekan sekantorku sudah menduga jika masalahku adalah dengan si Bos yang memang sudah terkenal sering bergonta-ganti anak buah karena sikapnya yang kadang menyinggung dan ikut campur urusan pribadi. Usiaku 23 tahun kala itu, seorang fresh graduate yang baru saja terjun ke dunia nyata. Namun setelahnya aku mengerti bahwa dunia memang tak selunak dan seramah saat kau berada di bangku kuliah. Mungkin beberapa orang yang benar-benar memahami situasi yang kau hadapi akan berusaha mengerti, tapi tidak dengan mereka yang kau anggap teman tetapi malah memberi komentar yang semakin membuatmu merasa bukan apa-apa.

“Gitu doang resign? Di mana-mana semua bos itu nggak enak, semua pekerjaan itu nggak enak!”

“Harusnya terusin aja dulu, kan enak dapat fasilitas mobil, bonus juga gede. Kurang bersyukur sama kurang usaha kamu itu!”

“Mau ngelamar di mana emang? Nanti bosnya galak lagi, keluar lagi. Gitu terus aja sampai tua!”

Sakit ya mendengar komentar dari orang-orang yang kau anggap teman, ternyata malah menjatuhkan? Saat itu aku hanya tersenyum dan membiarkan mereka dengan asumsinya. Tetapi dari situ aku belajar bahwa tak semua orang mau mengerti setiap keputusan yang kau ambil. Jangan terlalu mendengar kata orang jika itu hanya menyakiti dirimu sendiri, begitu prinsipku saat itu. Padahal sejatinya dalam batin dan ingatanku terngiang semua kata-kata kasar dari atasan yang membuatku tidak percaya pada diriku sendiri hingga saat ini.

Sebenarnya, saat ini aku ingin memulai sebuah usaha yang akan kujalankan kecil-kecilan. Konsep usaha dan modal sudah kupersiapkan sejak aku memutuskan tidak ingin memperpanjang kontrakku di perusahaan kedua, namun nyatanya aku belum bisa mengalahkan ketakutan dan kecemasan yang selalu muncul setiap aku ingin memulai. Terngiang kata-kata meremehkan dan menyakitkan yang dulu pernah dikatakan mantan bos, hingga membuatku selalu ketakutan sebelum memulai. Niat dan semangatku telah kukumpulkan setiap pagi aku bangun untuk memulai hari. Realitanya, aku kesulitan menghapus memori menyakitkan itu, hingga aku memutuskan untuk merutuki diri di dalam kamar dan tidak ingin bertemu siapapun.

Tahun baru ini, aku berharap aku bisa mengalahkan ketakutan itu. memulai semua dengan keyakinan dan pembuktian bahwa aku tidak seburuk yang mantan bosku dulu katakan. Aku juga berharap menjadi manusia produktif yang bisa memberi manfaat untuk keluarga dan orang-orang di sekitarku. Saat ini, aku sedang mengatur budget untuk berkonsultasi dengan psikolog yang mungkin bisa membantu. Karena sebagai pengangguran, aku tahu tidak ada sumber pemasukan berlimpah seperti saat aku bekerja dulu dan biaya menemui psikolog juga tidak murah. Tetapi dalam hati kecilku aku selalu percaya bahwa di mana ada kemauan, pasti ada jalan dan aku selalu percaya bahwa aku bisa melalui masa ini dan memperbaiki semua di tahun yang baru ini. Semangat!

 

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading