Sukses

Lifestyle

HUT ke-74 RI, Belajar Berani dari Cut Meutia yang Ditakuti Para Penjajah

Fimela.com, Jakarta Jelang perayaan HUT RI ke-74, menjadi momen yang tepat untuk mengenang kembali perjuanan dan sosok para pahlawan. Cut Meutia, salah satu pahlawan asal Tanah Rencong, Aceh yang sangat disegani dan ditakuti para penjajah pada saat itu. Jasa pahlawan perempuan ini tentunya sangat luar biasa hingga kita bisa merasakan kebebasan dan kemerdekaan seperti saat sekarang ini.

Cut Nyak Meutia atau yang dikenal Cut Meutia dilahirkan di Keureutoe, Pirak, Aceh Utara pada tahun 1870. Cut Meutia lahir dari latar belakang keluarga yang melawan penjajahan. Ayahnya bernama Teuku Ben Daud Pirak seorang ulubalang atau pemimpin pemerintahan daerah Pirak dan ibunya bernama Cut Jah.

Cut Meutia adalah putri satu-satunya dari empat saudara laki-laki yang lainnya yaitu Teuku Cut Beurahim, Teuku Muhammadsyah, Teuku Cut Hasan, dan Teuku Muhammad Ali. Ayahnya juga seorang ulama di daerah tersebut. Daerah Pirak sendiri merupakan daerah yang memiliki sistem pemerintahan tersendiri. Dari sini Cut Meutia belajar kepemimpinan yang membuatnya kuat dan berani.

Pada awal masa perjuangannya tahun 1901, Cut Meutia melawan penjajahan Belanda bersama sang suami Teuku Chik Muhammad atau yang lebih dikenal dengan nama Teuku Chik Tunong. Setelah menikah ia dan suaminya berhijrah ke gunung untuk melawan Belanda. Memiliki persamaan visi yaitu menentang penjajahan Belanja di bumi Aceh, membuat Cut Meutia dan Teuku Chik Tunong melakukan perlawanan bersama-sama dengan taktik gerilya.

Akhir perjuangan Teuku Chik Muhammad dan Cut Meutia adalah ketika sang suami ditangkap Belanda dan dihukum mati karena insiden di daerah Meunasah Meurandeh Paya tahun 1905. Teuku Chik Tunong terlibat dalam pembunuhan pasukan Belanda, sehingga ia gugur dengan cara ditembak mati di tepi pantai Lhokseumawe.

Sebelum dihukum mati, Teuku Tunong mewasiatkan agar Pang Nanggroe yang merupakan sahabat perjuangannya untuk menikahi Cut Nyak Meutia serta menjaga anaknya. Dari pernikahannya dengan Teuku Chik Tunong, Cut Meutia memiliki seorang anak bernama Teuku Raja Sabi.

 

 

Melanjutkan perjuangan bersama Pang Nangroe

Cut Meutia menikah dengan Pang Nangroe sesuai wasiat dari suaminya terdahulu sebelum meninggal. Setelah menikah, perjuangan melawan Belanda kembali dimulai dengan basis perlawanan di daerah Buket Bruek Ja.

Pasukan Pang Nangroe bersama Cut Meutia menyerang pos dari pasukan Belanda yang mengawal para pekerja kereta api. Penyerangan itu membuat beberapa serdadu Belanda tewas dan yang lainnya luka-luka. Taktik sabotase jalur logistik dan kereta api secara gerilya ini membuat Belanda kesulitan dalam mengatasinya.

Perjuangan Cut Meutia bersama suaminya terus berlanjut dengan melakukan penyerangan ke pos-pos Belanda. Namun pada bulan september 1910, Pang Nangroe gugur setelah terkena tembakan dari Belanda di wilayah Paya Cicem dan dimakamkan di samping masjid Lhoksukon.

Berjuang dan memimpin pasukan seorang diri

Keteladanan Cut Nyak Meutia dapat dilihat dari perannya yang mengambil alih kepemimpinan pasukan dan melanjutkan perlawanannya dengan Belanda sepeninggal suaminya. Untuk itu basis pertahanan kemudian pindah ke Gayo dan Alas serta bergabung dengan pasukan lain yang dipimpin oleh Teuku Seupot Mata.

Pada akhir tahun 1910 di daerah Alue Kurieng, terjadi pertempuran sengit antara pasukan yang dipimpin oleh Cut Meutia dan pasukan Belanda. Dalam pertempuran itu Cut Meutia akhirnya gugur. Sebelum wafat, Cut Meutia menitipkan anaknya kepada Teuku Syech Buwah untuk dijaga.

Atas jasa dan perjuangannya, Cut Meutia kemudian dianugerahi gelar Pahlawan Indonesia oleh pemerintah Indonesia melalui SK Presiden Nomor 107/1964 di tahun 1964. Pemerintah Indonesia juga mengabadikannya dalam pecahan mata uang rupiah pada tahun 2016.

#GrowFearless with Fimela

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading