Sukses

Lifestyle

Seorang Perempuan Bisa Menjadi Tumpuan untuk Keluarganya

Fimela.com, Jakarta Memiliki sosok pahlawan yang sangat berjasa dalam hidupmu? Punya pengalaman titik balik dalam hidup yang dipengaruhi oleh seseorang? Masing-masing dari kita pasti punya pengalaman tak terlupakan tentang pengaruh seseorang dalam hidup kita. Seperti pengalaman Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba My Hero, My Inspiration ini.

***

Oleh: Safrida Liasna Tarigan - Pangkalan Brandan

Perkenalkan, aku seorang anak perempuan yang lahir di sebuah keluarga besar. Ayah dan ibuku sama-sama sembilan bersaudara. Banyak peristiwa yang terjadi dalam keluarga yang membentukku menjadi seperti sekarang ini. Anak perempuan yang sok tahu, sok ideal, ribet, sok menentang tradisi, dan lain sebagainya. Celoteh orang-orang sekitar yang makin sering kudengar belakangan ini. Entah dari mana asalnya, apakah memang tradisi yang diturunkan atau memang aturan dasar keluarga besar ibuku bahwasanya anak perempuan menjadi anggota keluarga nomor dua.

Kesetaraan gender yang banyak dibahas sekarang hanya menjadi omong kosong yang menguap di keluarga ini. Paman-pamanku yang beruntung sampai harus diuber-uber untuk sekolah tinggi-tinggi, sementara ibu harus cukup puas hanya tamat dari sekolah pendidikan guru yang bahkan tak dianggap layak oleh masyarakat sekitar. Bahkan pengalaman lebih parah harus dialami bibi, kakak ibuku. “Saudara laki-lakimu banyak, Nak. Biarlah mereka yang lanjut ya, kan mereka yang nanti akan membela kalian saudara-saudara perempuannya." Tinggallah bibi yang harus memendam pahit sendiri, mengubur cita-citanya untuk menjadi seorang perawat dan berhenti sekolah di jenjang SMP.

Aku paham kondisi ekonomi nenek dan kakek yang hanya pensiunan TNI memang tidak mencukupi untuk menyokong semua anaknya mendapat pendidikan yang tinggi tapi rasanya tidak adil jika kesempatan yang sama tidak diberikan juga kepada anak perempuan, bahkan entah kenapa juga nasib anak perempuannya seolah-olah harus digantungkan pada anak laki-laki.

Aku percaya hak yang diberikan kepada seseorang saling berkait dengan kewajibannya. Setidaknya demikianlah harapan dari kakek nenekku pada dua orang anak laki-laki tertua yang selalu disitimewakan mereka. Namun, harapan tinggal harapan. Sepeninggal kakekku, hidup keluarga ini makin morat marit. Dua anak lelaki kebanggaan ini menghilang, sibuk dengan hidupnya sendiri. Jangankan untuk melanjutkan sekolah adik-adiknya, menanyakan kabar nenek pun tak pernah. Tinggallah bibi yang memutar otak untuk menggantikan peran ayah mereka. Namun, pekerjaan apa yang bisa diperoleh dengan izajah SMP-nya di kota kecil ini?

 

Sosok Bibi yang Tangguh

Pertolongan Tuhan memang selalu datang tepat pada waktunya. Seorang pemilik toko ternak menawarkan bantuan. Bibi boleh mengambil bibit ayam potong berserta pakannya, nanti setelah ayam besar dan dijual, bibi boleh membayar modal tersebut di belakang. Demikianlah tiap harinya seorang perempuan muda memulai harinya dengan mengolah pakan, serta membuang kotoran ayam yang bergoni-goni banyaknya. Belum lagi banyak fitnah dari tetangga yang tidak senang dengan ternak ayam bibi. Semua ditahan bibi seorang diri demi menafkahi keluarga dan menyelesaikan sekolah adik-adiknya.

Perjuangan bibi tidak berhenti sampai disitu, selepas masing-masing adiknya bekerja dan menikah, kondisi kesehatan nenek terus menurun. Puncaknya adalah ketika nenek mengeluarkan gumpalan darah, disertai cacing-cacing kecil di kamar mandi, nenek tidak bisa lagi beraktivitas dan melakukan semua hal di atas tempat tidur. Sambil bekerja untuk mencari uang, mengurus nenek yang sakit menjadi prioritas bibi. Setiap dokter yang terbaik didatangi bibi untuk menyembuhkan nenek, namun sampai akhir hayatnya, dokter sendiri pun tidak bisa memberikan jawaban yang pasti mengenai penyakit yang diderita nenek.

“Kami anak laki-laki yang paling tua, rumah dan tanah adalah hak kami," ya mereka datang kembali ke kehidupan bibi, menuntut harta yang ditinggalkan nenek. Entah di mana mereka ketika nenek sakit, tak sepeser pun uang mereka keluarkan untuk pengobatan nenek yang sekarat. Bibi pun terancam terusir keluar dari rumah orangtuanya. Semua sudah dikorbankan bibi untuk keluarganya, kebahagiaan, bahkan masa depannya. Ya, bibi bahkan rela untuk tidak menikah hingga mendapat julukan perawan tua dari orang-orang. Namun, taka ada belas kasihan yang menetap pada hati orang yang cinta harta dunia.

Bibi paling dekat dengan ibuku. Dua wanita hebat yang Tuhan anugerahkan bagiku, ibu bonus, demikian istilahku. Kepada bibilah ibu seringkali berkeluh kesah tentang kehidupannya, terutama bagaimana naik turun kondisi yang dihadapinya sepeninggal ayahku. Seringkali aku lihat mereka berbagi tangis dan tawa. Mereka saling menghibur satu sama lain. Bahkan banyak rencana masa tua mereka yang mereka ukir untuk dijalani bersama nantinya.

Perempuan Tangguh

Namun, rencana tinggalah rencana. Di awal bulan Maret tahun ini, ibu merasakan hal yang aneh dengan tubuhnya. Ibu memang jarang sekali mengeluh sakit, tapi penyakit kali ini kurasa berbeda. Ibu merasa ada yang salah dengan perutnya, hampir tiap saat ia muntah-muntah dan demam tinggi. Aku, adik, dan bibi pun membawa ibu ke salah satu rumah sakit di kota ini.

Dua hari setelah ibu dirawat, aku mendapati kenyataan terpahit dalam hidupku. Ucapan yang tak pernah kulupa keluar dari seorang dokter yang membacakan hasil USG abdomen ibu. Ibu didiagnosa menderita kanker payudara dengan kondisi kanker yang sudah menjalar ke livernya. Kanker ganas yang juga menggerogoti kebahagian kami kian mengambil alih tubuh ibu tiap harinya. Hanya bibi yang ada di samping kami, yang setia memeluk dan meredam tangis kami. Hanya bibi yang menawarkan tangannya, menggenggam tangan-tangan pucat yang ketakutan akan kehilangan sosok seorang ibu.

Ibu menghembuskan napas terakhirnya di kamar rumah kami pada akhir bulan Agustus ini. Tak tertahankan rasanya, sakit dan sesak memenuhi relung hatiku. Dulu saat ayah berpulang, ada ibu yang setia mendampingi kami, tapi kini saat ibu dipanggil, sendiri, hanya kata sendirian yang memenuhi benakku.

Entah bagaimana bibi membaca pikiranku, “Masih ada Bibi, kalian sudah diserahkan Ibu kalian untuk Bibi jaga, kalian anak-anak Bibi sekarang." Satu kalimat sederhana yang besar maknanya bagi kami. Satu kalimat yang mengajarkanku bahwa bibi adalah sosok pahlawan nyata yang pernah kujumpai dalam hidupku.

Terima kasih bi, karena bibi aku belajar bagaimana seorang perempuan bisa menjadi tumpuan untuk keluarganya, perempuan bisa menjadi penerang untuk orang sekitarnya. Terima kasih karena sudah menjadi perempuan terkuat yang Tuhan sediakan bagi kami.

#GrowFearless with FIMELA

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading