Sukses

Lifestyle

Tak Perlu Membenci Diri Sendiri atas Kekurangan yang Dimiliki

Fimela.com, Jakarta Mencintai diri sendiri bukanlah tindakan egois. Justru dengan mencintai diri sendiri, kita bisa menjalani hidup dengan lebih baik. Di antara kita ada yang harus melewati banyak hal berat dalam hidup sampai rasanya sudah tak punya harapan apa-apa lagi. Namun, dengan kembali mencintai diri sendiri dan membenahi diri, cahaya baru dalam hidup akan kembali bersinar. Melalui salah satu tulisan yang dikirimkan Sahabat Fimela dalam Lomba My Self-Love Story: Caramu untuk Mencintai Diri ini kita akan memetik sebuah inspirasi baru yang dapat mencerahkan kembali hidup kita.

***

Oleh: Ratri Wardani

Awalnya, sulit bagiku untuk menerima diriku sendiri sebagai pribadi yang utuh. Menerima keberadaan saja sulit, bagaimana mungkin aku bisa mencintai diriku sendiri? Ingin rasanya seperti mereka, bukan seperti ini.

Semenjak kecil, Allah telah menganugerahiku fisik yang lengkap dengan kesempurnaan yang melekat erat pada tubuhku. Semuanya telihat indah, baik-baik saja, dan tak ada masalah. Hingga pada akhirnya, aku mulai mampu mengingat dan menyadari, bahwa aku tidak cukup kuat untuk berjalan apalagi berlari. Kedua kakiku benar-benar lemah dan terkulai. Tidak bisa sedikit pun tegak untuk menopang tubuhku. Perdebatan atas penerimaan diriku itupun di mulai.

Seperti layaknya anak laki-laki pada umumnya, aku hobi bermain sepak bola di tengah keterbatasan yang aku miliki. Aku tidak bisa menjadi striker. Jangankan menjadi striker, merangkak saja itu sungguh sulit bagiku. Tetapi, jangan menganggap remeh. Teman-teman sejawatku mempercayaiku untuk ikut andil dalam tim ala-ala mereka. Aku adalah seorang kiper yang handal. Ke mana bola itu mengarah, aku selalu bisa menangkapnya dengan gesit. Bagaimana bisa? Aku cukup menjatuhkan badanku ke kanan dan ke kiri. Otomatis, bola itu bisa tertangkap olehku. Memang tidak masuk akal, tapi begitulah Tuhan yang baik selalu membantuku.

Setiap pekerjaan yang aku lakukan sangat bergantung pada ibuku. Dia lah yang selalu mengurusiku setiap saat. Makan, mandi, ganti baju, bahkan naik ke atas kasur pun aku sangat bergantung pada dirinya. Aku jago dalam bermain bola. Tapi aku sangat kurang dalam self-service. Lagi-lagi aku sungguh berterima kasih, karena ibuku selalu ada mendampingiku ketika aku membutuhkannya.

Aku menempuh pendidikan normal layaknya anak-anak pelajar pada umumnya. Sekolah di SD dan SMP negeri. Untuk jenjang SMA, aku menempuh pendidikan khusus bagi anak-anak disabilitas. Sebelum aku bersekolah di sana, ada momen terburuk sepanjang sejarah kehidupanku. Ibuku harus kembali menghadap Tuhan ketika aku benar-benar sedang membutuhkannya. Beliau mengidap penyakit komplikasi beberapa tahun terakhir.

Setiap kali menggendongku, batuknya selalu saja menjadi-jadi. Napasnya tersengal berat, dan debar jantungnya semakin cepat. Aku sadar, semakin lama ibuku semakin menua. Dan aku pun semakin berat. Tapi apalah daya, aku sendiri juga tak sanggup untuk mengurus diriku sendiri. Saat itulah, kebencianku atas kenyataan hidup begitu memuncak. Seolah aku tidak bisa menerima keberadaanku sendiri di dunia ini. Pikiranku merambah ke antah berantah. Jika tidak ada yang menolongku, maka aku juga tidak akan bisa berbuat apa-apa.

Mengasah Kemampuan

Tetapi Allah selalu baik. Alhamdulillah, aku punya kakak-kakak yang selalu berbaik hati dan memberiku semangat untuk menjalani kehidupan. Aku memaklumi, mereka semua sudah berkeluarga. Sehingga, perhatian mereka tak bisa sebanyak perhatian ibu kepadaku.

Di sekolah baru, aku belajar banyak hal tentang kehidupan. Lingkungan yang sangat mendukung menjadikanku lelaki yang lebih dewasa. Di sana, aku harus belajar mengurus diriku sendiri. Tidak ada yang bisa membantuku setiap saat. Pembimbing asrama akan memberikan bantuan ketika aku benar-benar tidak bisa melakukannya sendiri. Dis ana, aku juga belajar untuk memaksimalkan potensi diriku sendiri. Bagi siswa yang senang dengan seni, mereka akan mengambil ekstrakurikuler yang relevan. Begitu pula dengan siswa-siswa lain yang menyukai bidang yang lain.

Sejak dulu, aku mencintai olahraga yang berhubungan dengan bola. Dengan bimbingan para guru di asrama, aku mencoba menekuni hobiku itu. Setiap saat aku berlatih dengan penuh percaya diri dan semangat yang membara. Berharap, kelak aku bisa ikut dalam ajang sepak bola sekelas Bambang Pamungkas. Hah, ngimpi! Biarkan saja, aku bermimpi sejenak, melupakan kerinduanku pada ibuku.

Waktu terus berputar. Hingga pada akhirnya, melalui perjuangan yang begitu panjang, Allah menghadiahi ku sesuatu yang tidak pernah aku sangka. Pada ajang Asian Para Games 2018 kemarin, aku mewakili Indonesia untuk mengikuti cabang olahraga Boccia. Meskipun belum berhasil mendapatkan hasil yang terbaik, tapi aku sudah berusaha menunjukkan usaha yang terbaik. Aku bangga dengan keadaanku. Atas izin Allah, aku juga diperkenankan untuk mengikuti perlombaan Boccia di Korea Selatan dan Dubai beberapa bulan kemarin. Sungguh, nikmat mana lagi yang bisa aku dustakan.

Mimpi itu tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Bagaimana mungkin laki-laki yang dulu begitu bergantung pada ibunya untuk mandi, pada akhirnya bisa menjadi kepercayaan Indonesia untuk mengikuti ajang yang bergengsi? Semua yang terjadi adalah karena kebaikan Allah dan doa yang selalu dipanjatkan ibuku dari surga.

“Beristirahatlah yang tenang di sana, Bu. Aku akan merindukanmu!”

Mencintai diri sendiri di balik kekurangan yang dimiliki bukanlah hal yang mudah. Sering kali emosi dan hati saling beradu ingin menang sendiri. Tapi percayalah, bahwa merenung sebentar, mengingat kebaikan Allah adalah hal terindah yang kelak mengantarkan kita untuk bisa menerima. Allah tidak pernah membiarkan kita sendiri dan tersakiti atas takdir-Nya. Dia akan selalu campur tangan atas luka yang diberi dan memberi keberkahan pada diri yang mau menerima dengan rendah hati. Kini aku paham, arti mencintai diri sendiri.

-dari aku yang berjuang sendiri hingga detik ini-

#ChangeMaker

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading