Sukses

Lifestyle

Setiap Perempuan Berhak untuk Bangga Menjadi Dirinya Sendiri

Fimela.com, Jakarta Mencintai diri sendiri bukanlah tindakan egois. Justru dengan mencintai diri sendiri, kita bisa menjalani hidup dengan lebih baik. Di antara kita ada yang harus melewati banyak hal berat dalam hidup sampai rasanya sudah tak punya harapan apa-apa lagi. Namun, dengan kembali mencintai diri sendiri dan membenahi diri, cahaya baru dalam hidup akan kembali bersinar. Melalui salah satu tulisan yang dikirimkan Sahabat Fimela dalam Lomba My Self-Love Story: Caramu untuk Mencintai Diri ini kita akan memetik sebuah inspirasi baru yang dapat mencerahkan kembali hidup kita.

***

Oleh: Julita Hasanah

Mencintai diri dan berdamai dengan segala kekurangan dan kelebihan bukanlah sesuatu yang secara instan dapat diraih setiap orang. Beberapa membutuhkan waktu seminggu, namun juga tak sedikit yang perlu waktu lebih banyak hingga bertahun-tahun. Dan ini kisahku berdamai dengan diriku sendiri.

Aku yang Berbeda

Ketika kita jadi mayoritas, tidak dapat dipungkiri semua hal dapat dijalani dengan mudah. Lingkungan bisa jadi lebih menerima kita, berkarier bisa jadi lebih lancar, bahkan mungkin ke hal-hal sederhana lainnya, seperti lebih banyak peluang untuk meminta bantuan orang lain. Kacamata seorang mayoritas punya jangkauan pandang yang lebih jelas, lebih lebar dan lebih lainnya.

Bagaimana dengan seorang minoritas? Misalnya jika kita memiliki hobi yang tak banyak orang lain pilih, apakah kemudahan yang diteguk sang mayoritas masih juga dapat dirasa?

Inilah yang kualami beberapa tahun lalu, nilai-nilai dalam keluarga membawaku menjadi pribadi yang haus akan ilmu pengetahuan. Sains menjadi sesuatu yang sangat seksi. Setiap jam istirahat di sekolah banyak kuhabiskan bersama buku-buku bacaan, tak heran pustakawan selalu dapat kukenal dengan baik.

Sebelumnya tak pernah ada masalah dengan hobiku, setiap hari menyenangkan bisa membaca lebih banyak buku, dan mendapatkan lebih banyak pengetahuan baru. Keadaan sedikit berubah saat aku remaja. Bersekolah di kota, dengan mayoritas anak-anak “gaul” di dalamnya memberiku ruang gerak yang berbeda saat jenjang pendidikan sebelumnya.

Meskipun cukup pendiam, aku tak pernah punya masalah dari segi sosial. Tapi di lingkungan baru ini, aku kurang bisa diterima. Pandangan mereka terhadapku berbeda, aku sangat perasa sehingga secara cepat aku sadar bahwa aku “sedikit” dikucilkan.

Insecure tak Hanya Soal Fisik

Jika direnungkan mendalam, pengalaman di masa lalu menyadarkanku bahwa insecurity bisa datang dari mana saja. Berbeda dengan campaign yang selama ini digaungkan bahwa “kekurangan” dari segi fisik bisa membuat seorang minder dan depresi. Lebih jauh lagi, ternyata hal-hal psikis dan batin juga menyebabkan seseorang terkucilkan oleh lingkungan sekitarnya.

“Si Kutu Buku lewat nih.”

“Tumben jajan ke kantin, tempatmu kan di perpus.”

“Iya deh yang paling rajin sedunia.”

Beberapa kalimat di atas kerap kali mampir di telinga, aku yang saat itu masih remaja tidak bisa mencerna kenapa aku harus dianggap berbeda hanya karena punya hobi membaca. Aku rasa aku tidak berhak mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan di atas. Dengan hobiku aku tidak merugikan siapa pun, aku tidak melukai seseorang.

Di sisi lain, hobiku menjadi jalan untuk meraih rangkaian prestasi yang membanggakan bagi orang tua. Aku tidak terlalu peduli dengan ranking, dan nilai yang tinggi tapi aku peduli dengan kebahagiaan orangtuaku, sehingga dengan membuat bangga mereka, aku bersyukur.

Tapi dari lubuk hati yang paling dalam, aku tak pernah bangga menjadi diriku. Satu hari terkadang aku bisa jadi marah kepada diri sendiri, dan memaki dengan kata-kata yang tajam.

“Kenapa sih kamu harus suka baca buku?”

“Kenapa tidak bersikap normal seperti orang kebanyakan?”

“Ini semua salahmu sehingga lingkungan tidak bisa menerima.”

Hingga suatu saat aku lelah, aku juga ingin lingkungan menerimaku dengan mudah. Keinginan besar untuk dianggap sama seperti remaja kebanyakan mendorongku untuk berubah. Aku ingin menjadi aku yang lain, yang mungkin tak suka buku, mencari hobi lainnya yang banyak dilakukan anak lain, nongkrong sana-sini.

Menjadi Orang Lain

Dengan usaha mati-matian aku mengubah diri hampir 180 derajat. Berpenampilan lebih fashionable, untuk menyenangkan orang lain. Mengubah diri jadi sok asik dan super ekstrovert sekadar untuk diterima pergaulan yang sebenernya bisa jadi tidak tulus menerimaku. Jam istirahat sudah tidak lagi diisi dengan kunjungan ke perpustakaan, digantikan dengan obrolan kurang bermanfaat seperti bergosip sana-sini.

Kira-kira enam bulan aku menjadi orang lain, mengubah diri untuk sekadar menyenangkan lingkungan sekitar. Percayalah berpura-pura sangatlah menyiksa. Hingga satu peristiwa membuatku kembali menjadi diriku sendiri.

Saat itu aku sedang nongkrong dengan geng baruku, meskipun aku tidak nyaman dengan mereka, meskipun aku tahu aku hanya dimanfaatkan sebagai sumber jawaban ujian dan tugas bagi mereka tapi aku stay. Karena berjajar dengan mereka membuatku punya status sosial dan tentunya lingkungan lebih menerimaku.

Salah seorang teman satu kelas lewat dengan membawa beberapa camilan. Teman-teman satu gengku langsung berbisik-bisik dan melontarkan kata sangat tidak sopan.

“Udah gendut woy, masih makan aja!”

Pada detik tersebut waktu seolah berhenti, seolah peluru menembus jantungku. Gila, aku tidak seharusnya berada di sini. Aku tahu rasanya diperlakukan berbeda, dicemooh, dipandang dengan tatapan aneh. Dan ketika orang lain diperlakukan seperti itu, seharusnya aku bisa bertindak, tidak diam seperti patung.

Kembali Menjadi Diri Sendiri

Sudah enam bulan lamanya aku menjadi orang lain, menyakiti diri sendiri dan menyakiti orang lain. Di depan cermin sambil menangis aku berkomitmen mulai hari itu aku akan menjadi aku yang sesungguhnya, melakukan hal-hal yang memang nyaman bagiku tak peduli dengan penilaian orang lain. Selama hal itu baik dan positif tetaplah bertahan.

Jam istirahat kembali diisi dengan obrolan dengan pengunjung perpustakaan lainnya, membaca beberapa buku, dan aku juga mulai menekuni hal baru yang sangat seru, menulis. Perlahan tapi pasti aku mulai ditinggalkan oleh gengku, mereka kembali memberi jarak saat aku tidak mau lagi memberikan bocoran saat ujian. Sedikit kehilangan pasti, tapi aku yakin suatu saat hubungan kami juga akan kembali baik meskipun bukan teman dekat lagi. Aku fokus untuk mencintai diri, pengalaman yang lalu sangat berharga, dan aku tidak ingin mengulangi hal yang sama.

Bergabung dengan Komunitas, Berbagi Hal Positif

Aktif menulis di majalah sekolah dan beberapa media mengantarkanku pada beberapa sahabat baru yang punya hobi yang sama. Mereka mengundangku untuk turut serta pada komunitas kepenulisan. Dengan mengeksplorasi hidup lebih jauh, aku bisa menemukan orang lain dengan minat yang sama, dan ini membuktikan bahwa aku tidak berbeda. Akan selalu ada lingkungan yang menerima kita apa adanya, selagi kita tulus.

Rasanya setiap orang berhak untuk bangga menjadi dirinya sendiri. Entah dia seorang kutu buku sepertiku, seorang dengan fisik “istimewa”, atau siapa pun kita. Berbanggalah dengan yang dimiliki karena itu adalah anugerah, setiap kita adalah istimewa.

Hobi membaca dan menulis dulu aku anggap sebagai kekurangan, hanya karena penilaian orang lain, hanya karena sedikit berbeda dari orang kebanyakan. Kini aku sadar bahwa "kekurangan" itu sebenarnya adalah kelebihan yang punya arti. Aku harap orang lain tidak mengalami yang aku rasakan dulu.

Mari saling peduli dan lebih banyak melihat dunia luar, lebih menjelajah kehidupan, karena bisa jadi cara kita dalam menyikapi kekurangan diri menjadi lebih dewasa. Kekurangan kita hari ini, bisa jadi kelebihan yang membawa manfaat bagi sekitar, asal kita terus berbenah.

Terima kasih pengalaman pahit, terima kasih sudah pernah hadir. Berkatmu aku belajar menerima diriku seutuhnya, aku bangga jadi kutu buku dan aku harap semua kutu buku di dunia ini juga selalu bangga dengan dirinya!

#ChangeMaker

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading