Sukses

Lifestyle

Jakob Oetama Jalani Makna Kompas dalam Hidup Hingga Akhir Hayat

Fimela.com, Jakarta Jacob Oetama, pendiri Kompas Gramedia Group meninggal dunia dalam usia 88 tahun di RS Mitra Keluarga Kelapa Gading, Jakarta, Rabu (9/9). Indonesia pun kehilangan salah satu tokoh pers terbaiknya yang mewarnai perjalanan jurnalisme di tanah air.

Pria kelahiran Magelang, 27 September 1931 ini mendirikan Harian Kompas bersama rekannya PK Ojong yang terbit pertama kali pada 1965. Sebelumnya, mereka lebih dulu menerbitkan majalah Intisari pada 1963.

Nama Kompas sendiri dicetuskan oleh Presiden Soekarno yang berarti penunjuk arah dan jalan dalam mengarungi lautan dan hutan rimba. Usulan nama Presiden Soekarno sekaligus mengubah nama harian Bentara Rakyat, yang menjadi asal usul Kompas pertama kalinya. 

Dalam perjalanannya, Kompas menjadi salah satu media nasional terbesar. Digitalisasi juga dilakukan untuk menyesuaikan arus zaman di era teknologi seperti sekarang ini. 

Saat informasi bisa didapat dari mana saja dengan cepat, tugas media bukan hanya harus memastikan kebenarannya. Jakob berpesan jika seorang wartawan tidak hanya memberitakan sebuah peristiwa, tetapi masuk lebih jauh menggali makna di dalamnya. 

"Seorang wartawan harus mampu mengambil jarak atas peristiwa yang ditulisnya dan menarik sebuah refleksi atas peristiwa tersebut. Dengan begitu, pembaca mendapatkan enlightment atau pencerahan," ujar Jakob seperti dimuat di kompas.com. 

Gagasan 'Jurnalisme Makna' yang disampaikan Jakob sangat relevan pada era bermedia sosial saat ini. Dan peran media sekali lagi dituntun untuk menjadi batu penjuru, dan tempat banyak orang mendapat kepastian.

2 Profesi yang jadi Kompas bagi Banyak Orang

Sebelum mengabdikan diri sebagai jurnalis, Jakob lebih dulu berprofesi sebagai pengajar selama empat tahun sejak tahun 1952-1956. Profesi sang ayah sebagai seorang guru Sekolah Rakyat menjadi pertimbangannya untuk mengikuti jejak mulia tersebut.

"Karena guru saya lihat sebagai profesi yang mengangkat martabat," kata Jakob Oetama, dikutip dari buku Syukur Tiada Akhir (2011).

Ia pun hijrah ke Jakarta pada tahun 1952 untuk menjadi guru, mulai dari mengajar di SMP Mardiyuwana, Cipanas selama setahun, pindah ke Sekolah Guru Bagian B di Lenteng Agung, pada 1953-1954, dan terakhir ke SMP Van Lith di Gunung Sahari pada 1954-1956.

Sambil mengajar di SMP, ia melanjutkan pendidikan tingkat tinggi. Dia kuliah B-1 Ilmu Sejarah, lalu melanjutkan ke Perguruan Tinggi Publisistik Jakarta dan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada hingga lulus pada 1961. 

Kala itu ia mengalami dilema saat masuk ke dunia jurnalistik menjadi sekretaris redaksi mingguan Penabur pada 1956. Apakah ia tetap menjadi guru secara profesional atau menekuni kegemaran menulisnya di sebagai jurnalis. 

Jakob meminta pendapat pada Pastor JW Oudejans OFM sebagai orang di balik Penabur. Saat pastor bertanya profesi apa yang ingin ditekuni, ia justru menjawab dosen.

"Jakob, guru sudah banyak, wartawan tidak," kata Oudejans yang memantapkan langkahnya menjadi seorang wartawan sekaligus Pemimpin Umum Harian Kompas hingga akhir hayatnya.

Untuk memberikan penghormatan terakhir pada mendiang Jakob Oetama, dapat mengikuti prosesi persemayaman dan pemakaman secara daring lewat kompas.tv/live . Almarhum akan disemayamkan di Kantor Kompas Gramedia Palmerah Selatan dan akan diantarkan menuju tempat peristirahatan terakhir di Taman Makan Pahlawan Kalibata pada Kamis, (10/9).

Simak video berikut

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading