Sukses

Lifestyle

Ibu Telah Tiada, tapi Ada Beribu Cinta yang Tak Pernah Pupus Untuknya

Fimela.com, Jakarta Kita semua pernah punya pengalaman atau kisah tentang cinta. Kita pun bisa memaknai arti cinta berdasarkan semua cerita yang pernah kita miliki sendiri. Ada tawa, air mata, kebahagiaan, kesedihan, dan berbagai suka duka yang mewarnai cinta. Kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Share Your Stories Februari 2021: Seribu Kali Cinta ini menghadirkan sesuatu yang baru tentang cinta. Semoga ada inspirasi atau pelajaran berharga yang bisa dipetik dari tulisan ini.

***

Oleh: Linda Mustika Hartiwi

Aku bahagia lahir dari rahim seorang ibu yang bersahaja namun bergelimang cinta dan kasih sayang. Sikap hidup yang mengajariku untuk melangkah dan menjalani kehidupanku.

Yang aku ingat sejak kecil, ibu mengajarkan pola hidup sederhana dengan membiasakan diri untuk mau makan apa saja yang dihidangkan di meja makan. Karena ayahku seorang pegawai di kantor perkebunan (karet dan kopi), kami bertempat tinggal di daerah perkebunan yang jarang ada penjual sayur keliling. Ibu memanfaatkan halaman rumah untuk berkebun dengan menanam sayuran yang hasilnya bisa dimasak sebagai menu pendamping nasi.

Dalam keseharian ibu selalu bangun di pagi hari untuk memulai rutinitas kehidupan dengan memasak dan serangkaian aktivitas lainnya seperti menyapu, mengepel, mencuci, menyetrika atau berkebun. Setiap bangun di pagi hari sering kulihat sudah tersaji makanan di meja makan untuk sarapan sehingga aku dan adik tidak pernah datang terlambat di sekolah hanya gara-gara menunggu ibu memasak makanan untuk sarapan. Ibu memang membiasakan aku, adik dan ayah untuk sarapan dulu sebelum berangkat ke sekolah atau ke kantor.

Ibu dengan Kehangatan Cintanya

Ibu juga mempunyai keterampilan menjahit baju sehingga jarang sekali membeli baju baru baik baju untukku dan adik, baju ayah juga baju ibu yang hampir semuanya dijahit sendiri oleh ibu. Ibu juga menerima jasa menjahit untuk baju orang lain dengan beragam ukuran dan model mulai dari anak-anak sampai orang dewasa. Hasil dari menjahit digunakan oleh ibu untuk menambah penghasilan keluarga selain penghasilan dari gaji ayah sebagai karyawan atau diberikan kepadaku dan adik untuk uang saku ke sekolah.

Di sela jadwal rutinitas aktivitas yang padat setiap harinya, ibu menyempatkan diri untuk mendampingi saat aku dan adik belajar di malam hari. Dengan telaten ibu membantu dengan menjawab ketika aku dan adik merasa kesulitan untuk memahami materi pelajaran yang ada. Walau ada rasa lelah yang mendera setelah seharian melakukan kegiatan yang menguras tenaga dan pikiran, ibu rela meluangkan sisa waktu istirahatnya demi menemani aku dan adik saat belajar.

Aku juga ingat, jarang sekali aku melihat ibu mengeluh tentang keadaan diri yang setiap hari penuh peluh untuk mengurus dan menyelesaikan pekerjaan di rumah. Ibu melakukannya dengan ikhlas bertabur kasih sayang yang tanpanya hanya akan membuat ibu merasa lelah atau mengomel.

Sikap ibu yang ikhlas serta memiliki rasa cinta dan kasih sayang dalam berpikir dan bertindak, secara tidak langsung telah mengajarkan aku untuk menumbuhkan rasa cinta kepada sesama atau kepada makhluk ciptaan Tuhan yang ada di sekitar kita. Pengajaran hidup oleh ibu juga kuterapkan dalam langkah hidupku saat aku beranjak dewasa hingga menjalani pernikahan bersama mas Yus, seorang pria yang merupakan pilihanku sendiri.

Hingga di suatu masa saat aku harus berjuang mempertahankan rasa ikhlas dan cinta saat ibu diberikan ujian sakit kanker payudara yang jenis kankernya mudah tumbuh. Setiap kali ibu menjalani operasi untuk menghilangkan benjolan di payudara, dalam rentang waktu hampir setahun sekali benjolan itu tumbuh lagi dan ibu kembali menjalani operasi. Benjolan yang tumbuh dan dilakukan tindakan operasi berulang dialami ibu sampai menjalani operasi yang keenam kalinya. Selama menjalani operasi sebanyak enam kali itu aku yang menjaga ibu di rumah sakit. Aku mengajukan izin dari pekerjaanku dan beruntung kantor tempat kerjaku menyetujuinya tanpa kendala.

Cinta yang Tak Pernah Pupus untuk Ibu

Beragam rasa kurasakan saat menjaga ibu di rumah sakit dan melihat keadaan ibu terbaring di tempat tidur pasien. Aku bermain-main sendiri dengan pikiranku yang kadang ada setumpuk sedih dan setitik harapan, datang dan pergi silih berganti mengaduk-aduk hati dan pikiranku. Beragam rasa yang selalu berkecamuk dalam hati dan pikiranku saat menjaga ibu menjalani operasi pengangkatan benjolan di payudara yang semua rasa itu bermuara pada sebuah rasa takut kehilangan ibu.

Hingga saat ibu harus dirawat di rumah sakit lagi setelah menjalani operasi yang keenam karena tumbuh lagi benjolan dan telah menyebar ke bagian tubuh yang lainnya, ibu kehilangan kesadaran dan dokter yang merawat memanggilku. Dokter menjelaskan kalau usia ibu tidak panjang karena kanker yang telah menyebar di tubuh ibu tidak bisa lagi diobati.

Obat yang diberikan oleh dokter hanya untuk mengurangi rasa nyeri dan bukan menghilangkan penyakit kanker yang ada. Yang dibutuhkan ibu hanya merasakan nyaman untuk tidur dan tidak merasakan sakit di sekujur tubuh. Dokter juga mengatakan bahwa aku harus siap kalau suatu saat ibu dipanggil Tuhan. Aku tidak sanggup berkata apa-apa lagi mendengar penjelasan dokter dan hanya air mata membasahi kedua pipiku yang tak mampu kubendung. Kurasakan tubuhku lunglai tak berdaya untuk bangkit dari kursi tempat aku duduk. Namun aku harus tegar dan kuat untuk mendampingi ibu sampai kapan pun dan berharap ada mujizat dari Tuhan untuk kesembuhan ibu.

Setelahnya kuhampiri ibu yang tetap nyenyak dalam tidur dan hanya bangun oleh rasa sakit karena jari-jari kaki dicubit oleh dokter atau perawat yang datang saat memeriksa ibu. Kupandangi wajah ibu yang sedikit membengkak akibat penyebaran kanker yang menurut dokter sudah tidak bisa diobati lagi. Dengan terisak aku bisikkan di telinga ibu kalau aku sayang ibu, aku cinta ibu. Aku ikhlas kalau ibu harus pergi dan tidak merasakan sakit lagi. Aku tahu ibu tidak akan mampu mengatakan apa pun. Tapi aku tahu ibu mendengar apa yang kukatakan.

Selang sehari setelah dokter memanggilku dan memberitahu keadaan sakit kanker ibu, ibu pergi dengan tenang menghadap ke haribaan-Nya. Kupeluk ibu dan sekali lagi aku bisikkan kata-kata dalam tangisku bahwa aku sangat menyayangi dan mencintai ibu. Namun aku sadar Tuhan lebih menyayangi ibuku. Aku ikhlas dengan kepergian ibu. Ibu telah mengajari aku untuk ikhlas serta memiliki rasa kasih sayang dan cinta kepada siapa pun dan apa pun yang kita miliki.

Kini sembilan tahun sudah ibu pergi meninggalkan dunia fana ini. Ada beribu cinta untuk ibu yang tak akan pernah pupus. Setiap waktu kupanjatkan doa agar ibu damai di sisi-Nya. Aamiin.

#ElevateWomen

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading