Sukses

Lifestyle

Tak Apa Fokus Dulu pada Karier, Soal Pernikahan Sudah Ada Waktunya Sendiri

Fimela.com, Jakarta Persiapan pernikahan seringkali dipenuhi drama. Ada bahagia, tapi tak jarang juga ada air mata. Perjalanan menuju hari H pun kerap diwarnai perasaan campur aduk. Setiap persiapan menuju pernikahan pun selalu punya warna-warninya sendiri, seperti kisah Sahabat Fimela dalam Lomba Share Your Stories Bridezilla: Perjalanan untuk Mendapat Status Sah ini.

***

Oleh: Rahayu Putri

Halo Sahabat Fimela, kita semua sebagai perempuan pastilah memiliki impian masing–masing untuk pernikahan kita nanti. Namun, terkadang kita lupa jika Tuhan memiliki jalan-Nya sendiri untuk membahagiakan kita dengan rencana-Nya yang luar biasa.

Bencana Tuhan adalah Karunia-Nya, pada lahirnya dia api dan pembalasan tetapi pada hakikatnya dia cahaya dan rahmat. Meskipun pada awalnya sulit menerimanya tapi kita harus berusaha bersyukur dan melihat apa sebenarnya berkat dan rahmat di balik segala hal yang terjadi. Semoga kita semua juga menjadi lebih banyak bersyukur dan melihat segala hal yang terjadi saat ini sebagai berkah dari Tuhan.

Aku ingin sedikit bercerita tentang impianku dan apa bayanganku tentang pernikahan, serta bagaimana Tuhan dengan caranya yang luar biasa menyadarkanku. Ketika aku sedang menunggu jadwal sidang untuk S1 aku mendapat banyak cerita dari teman–temanku bahwa banyak kenalannya yang pergi studi lanjut ke luar negeri dan mereka berhasil diterima di sana.

 

Berkarier dan Berbisnis

Pada saat itu, aku juga ingin melanjutkan studiku ke luar negeri agar bisa bersaing di dunia kerja dan menjadi wanita karier serta memulai usaha. Namun, orang tuaku merasa jika luar negeri itu jauh. Aku akan berada di tempat asing dan sulit dijangkau, bagaimana jika nanti orang tuaku butuh sesuatu atau sekedar ingin bertemu, pastilah akan sulit apalagi kakakku perempuan sudah menetap di provinsi lain yang tentunya jaraknya lebih jauh dari rumah. Berdasarkan dengan pandangan yang dimiliki orang tuaku ini, aku mulai memutar otak dan mencari jalan lain untuk memulai mewujudkan mimpiku.

Beberapa bulan sebelum pengumpulan berkas untuk sidang pada waktu itu, aku mendapat informasi dari temanku jika ada bantuan untuk para pengusaha awal yang ingin memulai usahanya dengan mengirimkan proposal. Bantuan modal yang diberikan tidaklah besar tapi cukup untuk membeli beberapa perlengkapan untuk memulai usaha.

Ketika mengetahui hal ini aku merasa ragu dan bingung karena ide usaha yang kumiliki belum pasti dan ini hanya berdasarkan dengan apa yang aku sukai. Meski begitu aku sering mendengar cerita dari ibuku yang juga merupakan pengusaha, bahwa jika kita tidak mencoba maka kita tidak akan tahu mana yang sesuai dengan kita dan mana yang bisa kita kembangkan ke depannya.

Berbekal keinginan untuk belajar aku mengirimkan proposal bisnisku. Setelah beberapa bulan berlalu aku sangat bersyukur kepada Tuhan karena proposal bisnisku diterima dan mendapat bantuan modal awal serta akan dimonitoring beberapa bulan. Meski belum kudapatkan ijazah S1 tapi Tuhan telah memberiku penguatan dengan membantuku memulai usahaku lebih awal. Ketika itu aku belum tahu, jika segalanya akan dipercepat dan menjadi sangat indah sesuai dengan Rencana Tuhan.

Berbekal modal awal yang kuperoleh aku memulai bisnisku dan juga mendaftar di kampus dalam negeri yang letaknya di salah satu kota metropolitan yang masih satu provinsi dengan rumah kedua orang tuaku. Meskipun awalnya aku kebingungan mencari apa yang seharusnya kupelajari, namun akhirnya Tuhan menuntunku pada salah satu jurusan yang sesuai. Pada waktu itu, aku memiliki beberapa trauma terkait percintaan.

Aku berpikir bahwa pernikahan adalah hal yang tidak terlalu penting untuk dipikirkan. Pernikahan adalah suatu jalan untuk menambah masalah dalam hidup kita karena kita kedatangan orang baru yang juga membawa masalahnya sendiri.

Aku akhirnya memilih untuk fokus pada karier dan bisnisku karena pemikiran seperti ini. Meski demikian aku juga menyampaikan kepada kedua orang tuaku bahwa, aku tidak keberatan jika suatu saat Tuhan menyadarkanku dan akhirnya aku menikah.

Aku tidak menolak menikah, namun karena aku merasa itu bukan hal mendesak yang harus dipikirkan maka aku merasa tidak perlu memikirkannya. Selain itu, jika ditanya ingin menikah kapan aku selalu berkata bahwa umur 30an adalah umur terbaik karena banyak mimpi yang masih ingin aku wujudkan. Namun, akhirnya aku menyadari bahwa tidak segala hal berjalan sesuai dengan mauku. 

Pada kondisi itu aku juga tidak menutup diriku untuk berhubungan dengan siapa saja. Namun, jika aku diminta memilih berhubungan dengan orang yang jauh dariku dan hanya menjalin hubungan sebatas pacaran, maka lebih baik tidak usah.

Aku lebih senang bertemu dengan mereka yang memang ada di dekatku dan serius dengan hubungan yang dijalin serta memiliki waktu untuk mengenal satu sama lain. Mungkin ini sebabnya aku selama mulai awal S2 sampai hampir selesai terus disibukkan dengan pekerjaan, kuliah, kerja, berbisnis, dan juga yang utama menyumbang pada lingkungan tempat tinggalku agar memiliki lingkungan yang layak bagi pertumbuhan rohani dan materi masyarakatnya.

Semuanya meskipun melelahkan, tapi sepadan dengan berbagai harapanku. Rumah yang ingin kubeli dengan hasil jerih payahku juga akhirnya dapat terbeli karena aku memang lebih suka tinggal di rumah dan tidak berpergian maka rumah menjadi prioritas utamaku. Selain itu, banyak juga teman–temanku yang perempuan dulunya sering menginap di kosku, jadi aku merasa rumah perlu dipenuhi lebih dulu.

Tentu saja, Sahabat Fimela jangan melihat semua itu sebagai hal yang luar biasa dan mudah untuk dilakukan. Karena banyak juga tantangan yang ada selama proses itu. Misalnya, jika teman kerjaku punya waktu untuk pergi dengan temannya berlibur secara rutin aku tidak memiliki.

Ruang yang kumiliki yang tentunya juga semakin luas yang kumiliki dengan teman–teman terdekatku adalah ruang di mana kita berdiskusi dan memikirkan apa yang bisa kita berikan di lingkungan kita, misalnya dengan kita memulai kelas untuk anak–anak, ruang diskusi dengan kelompok remaja, ruang bagi pada muda–mudi dan dewasa yang juga ingin menjadi guru atau animator para remaja, atau tutor yang menfasilitasi diskusi, serta ruang untuk kami bisa berdoa bersama.

 

Perkenalan dengan Seseorang

Aku juga memiliki sedikit waktu untuk berkencan, atau hampir tidak punya karena kesibukanku. Semua waktuku terpusat pada orang lain. Aku harus sehat agar bisa terus melanjutkan ruang–ruang yang ada selama ini, agar bisa bekerja, berbisnis, serta menyelesaikan studyku. Aku juga akhirnya harus belajar berbagai macam masakan agar bisa kubagikan saat banyak teman mengunjungiku, harus rutin berolahraga untuk menjaga berat badanku dan meningkatkan daya tahan tubuh dengan berbagai aktifitas yang padat.

Meski demikian, aku merasa bahwa Tuhan tidak melupakanku. Entah apa yang terjadi waktu itu, namun aku bertemu dengan seseorang yang baru saja pulang dari studi lanjutnya dari luar negeri.

Waktu itu aku ada pertemuan dengan beberapa muda–mudi di salah satu tempat yang memang disediakan untuk pertemuan. Ada seseorang yang tiba–tiba muncul di pertemuan itu, teman temanku yang lain juga kaget karena kami tahu siapa dia, namun tidak tahu kenapa dia ada disini.

Tempat kami berkumpul saat itu adalah rumah kakek dan nenek laki–laki ini. Dia mampir kesana karena ingin tahu seperti apa tempat yang dulu ditinggali ayahnya saat sedang berkuliah. Singkat cerita kami tidak banyak berbincang karena aku juga merasa canggung di sekitarnya.

Sebenarnya aku tahu orang ini sejak lama, tapi tidak pernah berbicara dengannya cukup lama karena aku merasa dia memiliki pembicaraan yang hanya cocok untuk dilakukan dengan orang tertentu.

Sebelum pulang dia mendekatiku dan berkata, “Jika tidak keberatan, boleh minta nomormu? Aku akan tinggal beberapa waktu di sini, aku mungkin akan bertanya beberapa jika aku ingin berpegian atau jalan–jalan di sekitar sini." Mungkin kurang lebih seperti itu isi pertanyaannya, aku tidak ingat dengan jelas. Aku pun waktu itu hanya mengiyakan karena aku merasa dia memang tidak pernah tinggal di kota ini.

Berselang beberapa bulan dia kembali ke rumah kedua orang tuanya dan kami masih terus berhubungan satu sama lain. Entah apa yang terjadi, dia tiba–tiba pindah di kota tempat tinggalku dan bekerja juga di sana.

Secara alami kami menjadi sering keluar bersama dan mulai membicarakan berbagai pemikiran kami, salah satunya tentang pernikahan. Dia akhirnya tahu jika aku memang tidak melihat pernikahan seperti kebanyakan orang. Hal yang luar biasa adalah dia tidak menganggapku sebagai orang yang aneh ataupun melihatku sebagai orang yang tidak bisa diajak berkomitmen.

Dia merasa bahwa ini hanya soal waktu dan pemikiran yang kumiliki itu sebenarnya akan membuatku mempelajari banyak hal. Kami mengenal satu sama lain sekitar dua tahun, dan dia memutuskan untuk menikahiku.

Dia berbicara dengan kedua orang tuaku dan meminta agar memberikan waktu kepadaku untuk memutuskan. Dia tidak memaksakan waktunya, namun saat aku siap aku bisa segera melangsungkan pernikahan. Dia lebih suka pernikahan yang hanya dihadiri orang terdekat serta perayaan setelahnya khusus dengan teman–teman terdekat kami.

Mungkin ini cara Tuhan memberikan jawaban dan pembelajaran kepadaku. Terima kasih Tuhan karena tidak pernah menyerah pada pemikiranku tentang pernikahan.

#ElevateWomen

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading