Sukses

Lifestyle

Sebagai Perempuan Sulung, Kuingin Membahagiakan Ayah dengan Tetap Menjadi Diri Sendiri

Fimela.com, Jakarta Membahas kisah dan cerita tentang ayah memang tak ada habisnya. Begitu banyak momen tak terlupakan yang kita miliki bersama ayah tercinta. Mulai dari momen paling bahagia hingga momen paling sedih. Setiap hal yang berkaitan dengan ayah selalu berkesan seperti tulisan kiriman Sahabat Fimela yang disertakan dalam Lomba Share Your Stories November 2021 Surat untuk Ayah berikut ini.

***

Oleh: E

Dear bapak. Bapak, andai engkau tahu betapa bangganya aku menjadi putrimu, putri seorang kepala desa. Dahulu aku sering sekali mendapat pujian dari wargamu, yang merasakan kemakmuran, ketika desa ini engkau pimpin.

Aku sangat bangga kepadamu dan aku tidak ingin mengecewakanmu. Aku mulai memahami, bahwa aku dan adik-adikku bisa menikmati hidup layak, lebih dari teman-teman sebayaku, karena hasil kerja kerasmu. Engkau sosok family man dan pemimpin yang disegani warga desamu.

Kesuksesan yang engkau raih, tentu tidak didapat dengan mudah. Sikap kedisiplinan yang terbiasa bapak lakukan di masa muda juga engkau ajarkan kepada kami. Aku sangat memahami itu, ketika aku berkaca kepada paman dan bibiku (adik bapak) yang juga sukses menjadi PNS dan karyawan swasta. Bagaimana bapak sebagai kakak tertua dengan lima bersaudara yang dibesarkan oleh ibu single parent yaitu nenekku. Kakek sudah tiada ketika engkau masih berusia remaja. Membuatku tergugah untuk menjadi orang berhasil, sebab aku juga anak pertama sama seperti bapak.

Meskipun kami adalah anak kepala desa saat itu, tetapi ibu tidak pernah memanjakan kami. Ibu selalu berkata, “Kelak jikalau bapak kalian sudah tidak lagi menjabat sebagai kepala desa, kalian tidak merasa kaget, Nak." Perkataan singkat itu menempa aku menjadi wanita mandiri dan tidak terbiasa bergantung kepada orang lain. Terima kasih, bu.

Bapak sebagai Role Model Masa Kecilku

Bapak percaya keberhasilan bisa diraih dari pendidikan yang baik. Saat aku dan adik mendapat peringkat di kelas, beliau tidak segan mengajak kami ke pusat perbelanjaan terbesar di kota kami. Beliau pun membebaskan kami memilih semua peralatan sekolah yang kami inginkan. Tentu saja hal itu membuat kami semakin semangat belajar. Di kelas ketika tahun ajaran baru aku selalu memakai peralatan sekolah yang terbaik dibanding teman-temanku.

Aku selalu mendapat peringkat satu selama enam tahun di SD. Tetapi aku lemah dalam matematika. Aku selalu belajar sekeras mungkin, terkadang aku menutup diri dari teman-teman sebayaku ketika mereka asyik bermain. Ibuku mengatakan ketika SD beliau pernah menjuarai lomba matematika tingkat  kecamatan. Ibu ingin aku juga mampu menguasai eksakta seperti beliau. Aku tidak ingin mengecewakan beliau. Aku takut dunia tidak bersikap ramah kepadaku, jika aku tidak menguasai matematika.

Saat melihat teman-temanku bebas bermain, meskipun mereka sering mendapat nilai merah di rapor, tiba-tiba perasaan iri menyeruak dalam hati kecilku. Rasanya bahagia sekali menjadi mereka, tak ada tuntutan harus mendapat peringkat, tidak mendapat banyak sorotan dari masyarakat karena mereka bukan anak kepala desa sepertiku. Tetapi perasaan itu aku tepis. Kuingat raut bahagia bapak jika aku mendapatkan peringkat. Kebahagiaanku adalah ketika melihat orang tuaku bangga kepadaku.

 

Mengidap Depresi ketika Memasuki Bangku Perkuliahan

Aku telah berhasil menyelesaikan pendidikan formalku, ada satu fase pendidikan yang merupakan impianku sejak kecil, yaitu meraih strata satu seperti bapakku. Suatu saat aku pun bisa memakai toga seperti yang sering kulihat pada foto keluarga.

Aku mengambil jurusan eksakta, meskipun dari kecil aku tidak menyukainya. Prinsipku jika kita bersedia tekun dalam mempelajari apapun kita pasti dapat menguasainya. Berlama bergumul mempelajari hal yang tidak aku sukai membuatku merasa runtuh. Saat itu aku tidak mengerti apa yang sedang kualami. Yang pasti aku merasakan lelah tidak berujung, tidak mampu menikmati yang aku pelajari, dan aku merasakan burnout.

Pada satu malam, aku benar-benar tidak mampu memejamkan kedua mataku. Aku merasa lelah, tetapi aku tidak mampu untuk tidur. Aku didiagnosis depresi berat oleh psikiater. Jika ada yang bertanya kenapa aku bisa sampai mengalami depresi, aku tidak mengetahui jawabannya. Salah jurusan kuliah, hanya hal itu yang bisa kukatakan. Apakah genetika juga mempengaruhi?  Sakit mental, bukanlah hal awam bagi keluarga besarku, karena bibiku juga mempunyai mental illness.

Bapak, engkau pasti sangat kecewa dengan putrimu ini. Aku gagal membawa toga seperti teman-temanku yang lain. Padahal bapak sudah berusaha sangat keras supaya aku nyaman kuliah di jurusan ini. Bapak bahkan rela menemaniku bermalam di kos supaya aku kerasan dan tidak merasakan homesick. Jalur medan yang terjal pun pernah bapak tempuh demi membersamai anak perempuanmu ini, maafkan aku pak.

Depresi tidak selamanya buruk. Depresi mengantarkanku menegenal passion. Passion akan membuatmu tetap bertahan pada tujuan meskipun akan banyak cobaan menghadang. Senyum merekah bapak, adalah hal yang selalu aku ingat ketika beliau melihatku keluar dari tempat tes penjaringan masuk universitas. Aku memutuskan mengejar passionku, yaitu menjadi guru seperti cita-citaku sewaktu kecil. Aku berjanji tidak akan mengecewakanmu lagi pak, aku akan bawa toga itu di tengah keluarga.

Jatuh bangun kulalui, akhirnya aku berhasil menyelesaikan tanggung jawabku menyelesaikan strata satu. Aku sangat bersyukur dikaruniai keluarga yang selalu membersamaiku di kala jatuh bangunku. Saat aku mampu bekerja sebagai seorang guru dan pulih, aku sangat mensyukuri makna kesehatan. Nikmat kesehatan yang mungkin dianggap biasa saja oleh orang lain dengan berbagai kesempurnaan mereka. Aku bahkan tidak berambisi menikah meskipun umurku dirasa cukup untuk berumah tangga. Aku merasa tidak mungkin ada seorang lelaki yang bisa menerima keunikanku. Dengan kelebihan dan kekuranganku sebagai seorang penyintas depresi. 

Mengenal Cinta untuk Pertama Kali

Aku mengenal seorang pemuda, yang kukenal melalui aplikasi dating online. Pemuda itu bernama Ferdy. Dia pemuda yang baik hati. Meskipun kami tidak pernah bertemu, dia setia mendengarkan curhatanku setiap harinya meski sekedar chatting.

Ferdy ingin menemuiku di kota kecilku, meskipun dia akan menempuh jarak yang jauh, aku di Pati sedangkan dia di Yogyakarta. Aku menolak keinginannya tetapi dia tetap bersikeras ingin menemuiku. Saat itu aku masih berambisi terhadap prestasi diri. Aku gagal pada penerimaan Aparatur Sipil Negara (ASN). Membuat moodku tidak baik, meskipun ada sahabat baik yang akan menemuiku, tetap saja tidak mampu mengobati keresahan hatiku.

Ferdy datang menepati janjinya kepadaku. Kusambut dengan ala kadarnya, karena aku tidak bisa menutupi kekecewaan karena tidak lolos ASN. Meskipun moodku sedang tidak baik, Ferdy tetap nyaman berada di dekatku. Akupun mengatakan yang sejujurnya jikalau aku mengalami depresi, supaya Ferdy tidak mengharapkanku. Di luar dugaan, Ferdy malah antusias mendengar ceritaku, bahkan dia menceritakan temannya yang mempunyai mental illness hingga sempat ingin melakukan percobaan bunuh diri.

Ferdy pamit pulang dan berterima kasih karena telah diterima dengan baik oleh keluargaku. Seperti dugaanku tidak terjadi apa-apa antara aku dan Ferdy. Beberapa hari kemudian dia menghubungiku lagi, dan dia menginginkanku menjadi kekasihnya. Aku menolak karena aku tidak ingin berpacaran. Ferdy menyatakan keseriusannya kepadaku dan secepatnya akan membawa ibunya menemui keluargaku.

Meskipun mendapat kabar membahagiakan, aku masih tidak bisa menghilangkan rasa kecewaku karena gagal menjadi ASN. Bibiku menasehatiku, dia mengatakan lelaki seperti Ferdy itu langka, sebegitu nyamannya dia kepadaku padahal jika mau dia bisa memilih perempuan di Yogyakarta yang lebih dari aku, tetapi dia tetap memilihku. Aku merenungi nasihat bibi, dan mulai berdamai dengan inner childku. Hidup ternyata tidak melulu tentang prestasi diri. Ferdy menyadarkanku tentang unconditional love dan aku berhak mendapatkannya meskipun aku seorang penyintas depresi.

Kali kedua Ferdy datang mempertemukan ibunya kepadaku. Ferdy terlahir dari latar belakang keluarga sederhana, tetapi dengan kerja keras membuatnya mampu menyelesaikan strata satu dan menjadi arsitek.

Kisah hidupnya mengingatkanku pada perjuangan bapak. Aku yang mempunyai inner child karena masa kecil yang mendapat banyak sorotan, memunculkan suatu harapan bahwa di keluarga yang sederhana akan kutemui ketulusan hati, seperti harapanku ketika kecil.

Saat harapan itu membumbung tinggi, Ferdi mengatakan bahwa ibunya kurang sreg denganku. Ibunya tidak menyukai sikapku yang kekanakan. Saat itu aku kembali merasakan tidak dipercaya orang lain meskipun aku mencintai Ferdy dan keluarganya dengan tulus.

Aku memutuskan mengakhiri hubunganku dengan Ferdy, meskipun Ferdy tidak ingin memutuskan hubungan denganku. Dia ingin mengubahku seperti keinginan ibunya. Aku tidak ingin menjadi orang lain, aku ingin diterima dengan menjadi diriku sendiri.

 

Menapaki Fase Pernikahan setelah Putus Cinta

Aku mulai menyibukkan diriku dengan mengajar. Putus cinta sama sekali tidak mengganggu aktifitasku karena kebiasaanku yang tidak bergantung dan mengemis cinta kepada orang lain. Hal yang berbeda dirasakan oleh kedua orang tuaku, melihat anak gadisnya di usia siap menikah tidak mempunyai angan untuk berumah tangga. Membuat bapakku berinisiatif menjodohkanku kepada seorang pemuda pilihannya.

Sulit bagiku untuk percaya kepada cinta, karena sulitnya mendapat kepercayaan meskipun aku telah melakukan yang terbaik. Saat itu hanya restu orang tua yang kukedepankan. Jikalau kedua belah pihak keluarga menyetujui, aku menerima saja. Aku sudah terlalu lelah dengan orang-orang yang tidak bisa menerimaku secara utuh.

Hubunganku kali ini dilancarkan Tuhan. Keluarga pihak lelaki sangat mendambakan aku menjadi menantunya. Pemuda itupun menyetujui keinginanku yang ingin segera menikah, tanpa harus melalui proses pacaran. Aku sudah sah menjadi istri bagi suamiku. Ayahku menjadi orang terbahagia, melihat anak perempuannya kini sudah berumah tangga.

Aku mendapatkan keluarga baru yang menerima dan menyayangiku. Aku memutuskan jujur kepada suami bahwa aku penyintas depresi dan harus tetap rutin kontrol ke psikiater. Suamiku kurang sependapat jika aku menemui psikiater, dia memintaku rajin  melakukan yoga dan meditasi supaya tidak perlu mendatangi psikiater. Aku menolak keinginannya untuk tidak menemui psikiater. Aku memahami stigma tentang orang yang mendatangi psikiater. Aku mencoba memahami suamiku yang belum bisa menerimaku secara utuh tentang sakitku.

 

Tidak Mendapat Kepercayaan Bapak

Ibu mengabari melalui telepon bahwa bapak sakit. Sepulang mengajar aku menjenguk beliau di rumah. Beliau mengeluhkan sulit tidur pada malam hari. Ibuku mengatakan bapak memikirkan diriku, beliau mengkhawatirkan aku tidak bisa menempatkan diri di keluarga suami. Aku hanya bisa menangis, kenyataannya bapak lebih mempercayai statement ibunya Ferdy daripada anak kandungnya sendiri.  Aku merasa hatiku kembali hancur untuk kesekian kalinya.

Kejadian ini perlahan menyadarkanku, bahwa selama ini aku tidak pernah mendapat kepercayaan dari orang tuaku. Aku mulai merasa limbung. Di waktu kecil ketika semua anak bermain, aku rela bergelut dengan buku. Karena aku sangat mencintai orang tuaku, terutama bapak cinta pertamaku. Jika selama ini aku tumbuh menjadi gadis keras yang tidak pernah mengemis cinta pada lelaki. Saat ini aku merasakan rasa sakit melebihi putus cinta. Karena cinta pertamaku tidak pernah mempercayaiku. Apakah inner child membuatku menjadi orang dewasa yang kekanakan meskipun aku telah berusaha memberikan yang terbaik demi keluargaku?.

Aku tidak mau terlarut dalam kesedihan, fokusku adalah bapakku pulih seperti sedia kala. Dengan sabar aku memberi pengertian kepada beliau, supaya berkenan menemui psikiater. Saat itu bapak menolak, tetapi karena bapak tetap tidak bisa tidur pada malam hari, akhirnya bapak memilih opsi terakhir, menemui psikiater.

Dahulu ketika bapak sehat, beliau yang mengantarkan aku dan bibiku menemui psikiater. Sekarang aku yang bergantian menjaga bapak. Apalagi bapak sakit karena terlalu memikirkanku, ibu menghiburku mungkin bapak merasakan perasaan takut ditinggalkan karena anak perempuannya sekarang sudah tidak tinggal satu rumah dengannya dan sudah ada “lelaki lain” yang menjaganya. Rumit. Aku pun belum bisa memahami perasaan orang tua, karena aku sendiripun belum pernah menjadi orang tua.

Setelah berkonsultasi dengan psikiater, bapak didiagnosa mengalami depresi berat sama sepertiku. Bapak dibantu dengan obat supaya bisa beristirahat dengan baik ketika malam hari. Selama beberapa hari, bapak sudah menunjukkan perkembangan yang berarti dan bisa tidur nyenyak di malam hari.

Tuhan Menghadiahi Putri Cantik atas Kesabaran Menghadapi Cobaan

Satu bulan setelahnya, aku dinyatakan positif hamil. Aku merasa Tuhan mengganti perasaan kecewaku dengan hadiah yang tidak ternilai dengan apapun. Allah mempercayai kami mampu menjadi orang tua, meskipun aku mempunyai mental illnes.

Perasaan bahagia, juga menular kepada keluarga suami dan keluargaku. Terutama di keluargaku, karena ini cucu pertama di keluargaku. Aku melahirkan putri yang sehat dan cantik. Bapakku mendapat gelar eyang kakung (kakek) di keluargaku. Bapak merasakan energi kebahagiaan yang berlebih, mungkin beliau merasa menjadi seseorang terbahagia karena mendapat anugrah cucu meskipun aku mempunyai kekurangan. Kata orang kebahagiaan seseorang yang mempunyai cucu melebihi seseorang yang dikaruniai seorang anak dalam hidupnya.

Aku memutuskan tinggal dengan ibuku, karena aku membutuhkan bantuan untuk mengasuh bayi. Di rumah, bapak mejadi lebih periang. Beliau sering menimang-nimang cucunya. Ada satu hal yang janggal, bapak kembali aktif mengkritisi pemerintahan di desanya. Bapak seperti mendapatkan energi menggebu, seperti masa bapak masih menjabat dahulu.

Bapak lebih sering keluar rumah mengumpulkan bukti-bukti korupsi kades yang saat itu menjabat, lebih banyak bicara, dan tidur hanya beberapa jam dalam semalam. Sampai suatu hari, aku mendengar ada tamu yang berbincang dengan bapak, bahwa dia akan bekerjasama dengan media untuk meliput kasus ini. Aku dan ibuku bergidik mendengar percakapan itu. Bapak seperti tidak mempunyai rasa takut menghadapi orang nomor satu di desa. Sedangkan posisi bapak saat ini, hanyalah warga biasa.

Aku yang merasakan ada ketidakberesan pada sikap bapak, meminta ibuku menasihati bapak atas sikapnya. Ibu sependapat denganku, meskipun sudah menjadi rahasia umum mengenai kebejatan kades yang saat ini menjabat, tetapi melawan kades dengan kondisi bapak yang mempunyai mental illnes, tentulah bukan keputusan terbaik.

Aku mendengar ibu dengan suara lantang meminta bapak menghentikan rencana mengungkap korupsi yang dilakukan kades. Bapak terlihat tidak berkenan dan meminta ibu untuk tidak ikut campur. Bahkan ibu mengancam akan meninggalkan rumah jikalau bapak tetap bersikeras melanjutkan rencananya untuk menggulingkan kades. Bapak tidak menggubris dan memilih mendiamkan ibu. Ibu hanya bisa menangis dan aku mencoba menenangkan beliau. 

Bapak Mengidap Bipolar

Bulan ini, adalah jadwal bapak kontrol ke psikiater beserta aku dan bibiku. Ibu berpesan supaya  mengatakan semua hal janggal mengenai bapak kepada psikiater. Aku sependapat dengan ibuku. Saat menemui psikiater, bapak mengatakan bahwa kondisinya baik. Aku beranikan diri mengungkap yang sebenarnya kepada psikiater, meskipun aku takut apabila bapak tidak berkenan. Psikiater memahami apa yang kumaksud, dan meminta bapak kebih banyak istirahat dan menghentikan keinginannya terhadap kepala desa, karena itu bukan tugas bapak yang sudah menjadi warga biasa melainkan tugas aparatur pemerintah desa, meskipun hal yang diperjuangkan bapak adalah suatu kebenaran. Bapak terdiam mendengar nasihat psikiater.

Saat bapak keluar ruangan konsultasi, psikiater menjelaskan kepadaku bahwa bapak mengidap bipolar. Diagnose bapak berubah dari yang semula depresi menjadi bipolar. Ternyata apa yang dilakukan bapak karena ada yang salah dalam diri beliau. Psikiater merubah semua obat yang selama ini dikonsumsi bapak dan berpesan kepadaku supaya bapak banyak istirahat di rumah.

Aku memahami bipolar bukanlah penyakit mental yang ringan. Aku sudah sering membaca artikel tentang bipolar, ataupun melihat publik figur yang terbuka mengenai bipolarnya. Menghadapi Orang Dengan Bipolar (ODB) lebih rumit, karena selain menghadapi fase depresif, ada fase manik seperti yang terjadi pada bapakku. Fase semangat berlebih, juga sebuah ciri kekambuhan ODB. ODB berjuang untuk tetap berada di garis normal.

Tuhan Menghadirkan Mental Illness dalam Keluargaku dengan suatu Tujuan

Aku,bapak, dan bulik memang sama-sama mempunyai mental illnes. Bedanya aku interest dengan isu mental health. Aku tidak mau hanya rutin konsultasi ke psikiater tetapi aku juga harus mengerti apa diagnosisku, bagaimana aku menghadapi diriku, bahkan bergabung dengan grup kesehatan jiwa. Aku fokus pada kesehatan mentalku dan legowo menerima sakitku.

Setelah menjalani konsultasi ke psikiater, bapak menunjukkan perubahan positif. Fase maniknya sudah teratasi. Bapak menjadi lebih banyak waktu istirahat di rumah. Mental illness membawa banyak perubahan pada keluargaku terutama diriku. Aku pernah merasa sangat hancur karena tidak mendapat kepercayaan dari keluarga setelah apa yang aku alami di masa kecil (inner child).

Dahulu aku merasa hidupku hanya tentang hal membuktikan kepada dunia bahwa aku adalah yang terbaik. Kini aku menyadari hal itulah yang merusak mentalku. Sekarang aku membuat dunia menerimaku apa adanya. Aku memilih melepaskan topeng anak pertama yang tangguh dan multitalent. Aku memilih menjadi diriku sendiri.

Aku tidak bisa menjadi anak pertama seperti yang bapak harapkan, tetapi aku bahagia menjadi diriku yang sekarang. Semuanya seperti terlambat, karena aku mengetahui kenyataan ketika bapak mengidap bipolar, penyakit mental yang tidak bisa disepelekan.

Sebagai anak pertama aku menyadari tidak mampu membahagiakan bapak, bahkan terkadang masih merepotkan dengan depresiku dan pengasuhan bayiku yang masih membutuhkan bimbingan orang tua.

Semoga bapak bisa lebih legowo menghadapi bipolar di masa tuanya. Mengalami mental illness pada keluarga dan diri kita ternyata bukan akhir dari segalanya. Kita tetap bisa berkarya meskipun mempunyai mental illness. Bahkan mental illness merupakan jalan dari Tuhan untuk kita bisa berubah menjadi lebih baik layaknya sebongkah mutiara. Terima kasih untuk semuanya.

 

 

#ElevateWomen

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading