Sukses

Entertainment

Editor Says: Menilik Sensitivitas Agama terhadap Pekerjaan

Fimela.com, Jakarta Agama menjadi hak asasi manusia yang paling hakiki. Siapa pun dia, dari golongan mana pun, berapa pun usianya, bebas dalam menentukan pedoman hidup atas apa yang diyakininya. Namun mirisnya di kehidupan zaman sekarang, agama justru seakan menjadi 'bumerang'.

Bukan karena agama itu salah. Pun pada dasarnya, setiap agama mengajarkan manusia untuk saling mencintai dan menghargai sesama. Toh, setiap pribadi diwajibkan atasnya untuk terus berkembang dan bermanfaat, baik untuknya sendiri maupun orang lain.

Tapi apa jadinya jika agama itu menjadi masalah bagi mereka yang ingin menunjukkan eksistensi di mata manusia lain atau bahkan hanya untuk bertahan hidup? Sebut saja para aktor yang rela melakukan peran beda agama, perbedaan itu justru menguji kemampuan akting dan dianggap profesional oleh publik. Atau di lain kasus, saat seseorang yang bekerja dengan majikan beda agama, yang malah menimbulkan 'masalah' sendiri buat jagat maya.

Foto perempuan berjilbab di stan makanan nasi uduk babi buncit yang beredar di media sosial. (kenzo.alif/Facebook)

Masih ingat dengan kasus seorang penjaga stan 'Nasi Uduk Babi Buncit' yang beberapa waktu lalu menghebohkan netizen? Seorang wanita lengkap dengan atribut Islami tertangkap kamera tengah berjualan makanan yang haram di mata kaum muslim itu dan sukses menjadi viral. Tak sampai di situ, apa yang dilakukan wanita itu pun langsung menjadi bulan-bulanan di jagat maya.

Jujur, saya melihatnya sangat miris. Ketimbang pro, lebih banyak masyarakat yang kontra dengan apa yang dilakukan wanita itu. Parahnya, tanpa memberikan solusi. Dengan luwesnya para pengguna media sosial menghujat wanita itu. Tak sedikit yang beranggapan bahwa wanita berkerudung tersebut telah 'menjual' akidah. Hey, semudah itukah?

Gerah dengan segala pemberitaan miring tentangnya, wanita itu pun memberikan klarifikasi terkait foto yang beredar. Ia membenarkan jika ia bekerja di stan 'Nasi Uduk Babi Buncit'. Namun, wanita yang mengaku muslim itu menegaskan dirinya tak pernah mencuci apalagi mengonsumsi bahan makanan yang dijual. Keterlibatannya sebagai penjaga stan sendiri tidak lain karena faktor kedekatan dengan sang majikan yang sudah lama dikenal. Apalagi saat itu, ia tengah didesak oleh kebutuhan ekonomi.

Ilustrasi pentingnya toleransi beragama. Foto: via tolerance.org

See? Setiap orang punya alasan masing-masing untuk melakukan sesuatu hal. Setidaknya, hal itu lah yang saya amat yakini dalam hidup. Saya percaya, setiap manusia tak luput dari salah. Tapi, setiap manusia bebas untuk menentukan jalan atas setiap masalah yang dihadapinya bukan? Seperti kasus wanita muslim tersebut.

Sibuk memprotes sana-sini, banyak orang yang lupa untuk 'memberi'. Dengan anugerah nurani dan logika yang membuat kita beda dari ciptaan makhluk Tuhan yang lain, manusia seharusnya bisa memberikan bantuan kepada sesamanya yang tengah tertimpa masalah. Jika tidak dengan materi, setidaknya dengan dukungan moril.

Kasus wanita muslim penjual Nasi Uduk Babi Buncit tidak menjadi satu-satunya bukti betapa sangat sensitfnya agama terhadap pekerjaan. Ada banyak kasus lain yang serupa menyedot perhatian masyarakat khususnya pengguna jagat maya. Lantas, apakah fenomena ini akan terjadi terus menerus? Jawaban tentu ada di diri Anda sendiri.

Uang Akar Masalah?

Ada banyak tujuan seseorang bekerja, mulai dari hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup primer, sekunder atau malah tersier. Bahkan, tak sedikit orang -terutama anak muda- yang bekerja hanya untuk mencari kesibukan dan memperluas jaringan pertemanan saja. Tapi pada akhirnya, semua sama-sama mendapatkan uang sebagai imbalan bekerja.

"Uang akar masalah". Penyataan semacam ini sudah sangat sering saya dengar. Banyak orang yang beranggapan jika uang dapat menyebabkan banyak permasalahan, mulai dari pertikaian hingga perubahan pribadi seseorang. Banyak orang rela melakukan pekerjaan apa pun hanya demi mendapatkan uang.

"Tak ada uang tak hidup". Pernyataan kedua ini juga tak kalah seringnya saya dengar. Saya setuju, uang memang sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup orang di era globalisasi seperti sekarang. Tanpa uang, manusia tidak dapat memenuhi hasrat membeli. Hasrat! Disadari atau tidak, manusia lebih condong untuk memenuhi hasratnya. Sesuatu yang seharusnya bisa untuk tidak dibeli, namun harus dibeli lantaran tuntutan lingkungan sekitar. Sesuatu yang harusnya sederhana saja, tapi malah jadi berlebihan lantaran tak mau kalah.

Manusia butuh uang dalam hidupnya. Foto: via seventeen.com

Dengan seabrek 'kebutuhan', manusia pun mencari-cari pekerjaan yang selayak mungkin. Layak untuk menghidupi secara finansial dan juga prestis. Jika sudah begini, masikah uang 'disalahkan'? Benda tak bersuara apalagi berlogika itu sukses jadi bulan-bulanan manusia dalam memenuhi ego selama berpuluh-puluh tahun lamanya.

Bekerja tidak cuma soal uang. Ya, saya sangat setuju juga akan hal itu. Banyak hal dapat kita lakukan dan pelajari dari bekerja, mulai dari loyalitas, profesionalitas, hingga kredibilitas. Berlebelkan profesionalitas, banyak orang rela melakukan pekerjaan dengan jurang perbedaan agama. Bukan tak menghiraukan, tapi mereka hanya tak ingin 'mencampuradukkan' soal agama dengan pekerjaan.

Tolerasi menjadi kunci penting dalam bekerja. Sesuai dengan Sila Pancasila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa. Jika semua orang sudah paham akan hal tersebut, agama sudah sepatutnya tidak lagi menjadi masalah, apalagi menjadi hal yang sensitif dari seseorang dalam bekerja. Kuncinya tetap memegang teguh ajaran agamanya masing-masing.

Pancasila. Foto: via pusakaindonesia.org

Lagi pula, kita sama-sama berdiri di bumi Pertiwi yang menjunjung tinggi demokrasi. Setiap orang bebas menentukan agama dan pekerjaan, asalkan tidak melanggar hukum dan norma yang berlaku. Jika dia tidak merugikanmu, mengapa harus kamu 'ganggu' dengan komentar-komentar pedas?

Lewat tulisan ini, saya mengimbau agar kita bisa lebih jeli lagi dalam menanggapi isu kontroversial yang memicu SARA. Tidak mudah terprovokasi dan mengikuti 'arus deras' komentar sosial media, serta berpikir lebih jernih lagi dalam memandang suatu permasalahan. Bukan lagi mengandalkan ego dalam mengutarakan kritik. Mari saling introspeksi. 

"Ada dua macam kritik, kritik yang dilancarkan untuk membangun kita dan kritik dengan tujuan menjatuhkan kita. Tapi persamaannya adalah keduanya sama-sama mampu menjadikan Anda lebih baik,"-Anonim.

 

Regina Novanda

 

Editor Kanal Film Bintang.com

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading