Mau Bentuk Anak Jadi Pemenang Sejati?

Fimela Editor diperbarui 30 Jan 2012, 11:29 WIB
Kompetisi semakin ketatAnak-anak yang lahir di tahun 90-an dengan anak-anak yang lahir di tahun 2000-an, sudah pasti akan menghadapi dunia yang berbeda. Persaingan mendapatkan sekolah yang bagus, kompetisi meraih ranking, sampai perjuangan menjadi juara kelas, akan semakin berat setiap harinya. Mental baja seorang anak untuk siap menghadapi berbagai tantangan itu, terlatih dari kekalahan-kekalahan kecil yang ia temui dalam kehidupan sehari-hari. Bermula dari kalah saat bermain scrabble dengan saudaranya, anak pelan-pelan akan siap untuk kalah di lingkungan sekolah hingga ia besar nanti, sehingga ia bisa mengatasi perasaan kecewa dengan bijak tanpa harus merasa rendah diri karena merasa kurang pintar atau kurang berprestasi.
Belajar dari kesalahanSaat anak kalah dalam sebuah kompetisi, anak bisa belajar bahwa mereka kurang tepat melakukan sesuatu. Seperti ketika sang anak hanya mendapat nilai 7 dalam pelajaran matematika, kita sebagai orangtua bisa menunjukkan dimana kesalahan mereka dan menjelaskan apa yang benar. Memang untuk kali ini anak hanya mendapatkan nilai pas-pasan, namun dengan pernah melewati fase “pernah kalah” dari teman-temannya, anak menerima peristiwa tersebut sebagai pemicu untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Percaya diriAnak biasanya mudah malu atau langsung minder ketika mereka kalah dari teman-temannya. Di sinilah peran orang tua meyakinkan pada anak bahwa nggak ada salahnya mereka hanya mampu meraih ranking ke-3 atau posisi terakhir ketika mengikuti pertandingan balap karung. Katakan pada mereka bahwa mereka sudah melakukan semaksimal mungkin dan itulah yang terpenting. Percaya diri anak justru malah bisa tumbuh karena dia sudah mencoba berbagai hal walaupun nggak selalu “menang” dan menjadi bekalnya untuk berkompetisi dengan hal lain di dunia luar yang jauh lebih sulit.
Bersenang-senangKarena takut kalah, anak lalu malas untuk mencoba beragam hal, dan itu sangat disayangkan. Bila sang anak pernah kalah dalam hal yang ia jalani, lalu they can deal with it, mereka justru menjadi pribadi yang sportif dan bisa menerima kekalahan dengan senang hati. Menurut Christine Carter, pengarang buku “Raising Happiness: 10 Simple Steps for More Joyful Kids and Happier Parents”, anak dengan kemampuan untuk mengatasi kekalahan, mampu menikmati permainan walaupun mereka kalah. “Yang terpenting diajarkan pada anak adalah bagaimana mereka menjalani sesuatu, bukan hasil yang diraih,” ujar Carter.
Tanggung jawabDi fase anak-anak, mengajarkan tanggung jawab nggak bisa langsung dengan membebani mereka berbagai tugas atau menyuruh mereka untuk menjadi juara kelas. Dengan nggak menyalahkan anak ketika nggak masuk 10 besar di akhir ajaran sekolah atau tetap membesarkan hati anak ketika mereka kalah di pertandingan olahraga yang diikuti, mengajarkan mereka tanggung jawab bahwa apabila bila mereka nggak tekun belajar setiap hari atau nggak serius dengan pilihan kegiatan merka, maka hasil yang akan didapat pun nggak akan bisa maksimal. Dengan begitu, anak mulai bertanggung jawab dengan diri mereka sendiri, dengan logika mereka nggak ingin lagi kalah dan ingin bisa membanggakan orangtua dan diri sendiri. “Apabila tanggung jawab sudah dibiasakan sejak dini, maka ketika ia beranjak dewasa pun, sifat ini akan mudah dikembangkan, sehingga hal-hal yang tidak bertanggung jawab dari perbuatan anak itu itu bisa tereduksi, bahkan hilang,” jelas Putri Langka M. Psi, Dosen Psikologi Universitas Pancasila.

Tag Terkait