Browsing dan searching. Itu kunci utama Kiki untuk menentukan objek-objek yang akan dikunjungi selama di Tokyo. Beberapa informasi tempat juga didapat dari teman-temannya yang tinggal di Jepang. “Aku banyak follow website Jepang, dari fashion blog sampai tempat makan,” tambahnya. Ke mana pun Kiki dan Magali pergi, kereta api cepat milik JR (Japan Railways) jadi pilihan karena jalurnya yang pasti dan anti-sasar, juga kilat sampai tujuan. Nah, begitu berjalan kaki mencari objek wisata, Kiki nggak jarang bingung arah. “Tapi, justru dari beberapa kali kesasar itu aku menemukan tempat-tempat oke,” sambungnya.
Hari pertama dihabiskannya beristirahat di apartemen di daerah yang cukup elite, Shibuya. Per hari, Kiki harus membayar sekitar Rp570.000,-, dan karena dia tinggal satu apartemen bareng Magali, biayanya jadi jauh lebih murah. Tapi, maksimal apartemen itu dipakai buat 3 orang lho ya, nggak bisa lebih dari itu,” jelas Kiki. Perjalanannya selama seminggu di Tokyo itu diakui Kiki menghabiskan dana sekitar 15 juta rupiah, itu sudah termasuk biaya perjalanan, makan, dan membeli oleh-oleh. Cukup murah, kan?
Photo box jadi pembuka jalan-jalan Kiki dan Magali. Di sepanjang jalan, masih di daerah Shibuya, memang berjejer boks-boks untuk berfoto dan berkaraoke. Dengan 10 sampai 20 ribu, mereka puas berfoto ria ala Jepang. Jalan-jalan berlanjut dengan wisata kuliner dan berkunjung ke tempat-tempat shopping. Berbagai kuliner khas jadi pilihan mereka selama berada di Tokyo, mulai dari sushi, yakitori, sampai ramen dan menu tradisional lainnya, yang rata-rata menghabiskan ratusan ribu rupiah per porsi.
Di Harajuku, mereka sempat berkunjung ke Design Festa Gallery & Café/Bar. Agak susah mencarinya, tapi nggak akan rugi begitu sampai di pusat berkumpulnya para seniman Jepang dan disuguhi karya seni kontemporer yang berwarna-warni. Di sana juga tersedia tempat makan yang desainnya nggak kalah artistik. Petualangan fashion Kiki pun berlanjut ke Omotesando, pusat pop culture kelas atas, berbeda gaya dengan fashion Harajuku, yang lebih menyasar ke remaja.
Hari berikutnya, Tsukiji Fish Market di Tsukiji, pusat grosir ikan dan seafood terbesar di dunia, jadi tempat tujuan Kiki. Di sana dia makan sushi dengan ikan yang sangat segar karena langsung diolah dari laut. Tsukiji Fish Market terletak lumayan jauh dari Shibuya, melewati 4 sampai 5 stasiun. Ia juga mencicipi Chirashi yang terbuat dari nasi ketan disiram dengan berbagai olahan ikan mirip sashimi. Harganya sekitar 200 ribu dengan porsi yang superbesar. Menggiurkan!
Perjalanannya berlanjut lagi ke Ginza dan menikmati ramen di Shinbusakiya, Shibuya. “Malamnya baru party di club, ketemu artis-artis Jepang, desainer. Kehidupan malam di Tokyo memang menyenangkan, seru!” tutur Kiki.
Esok harinya, di daerah Yoyogi Park Kiki menemukan Meiji Shrine, tempat doa yang juga masih terletak di Harajuku. “Di dalam kamu bisa membeli potongan kayu seharga 50 ribuan untuk menulis harapanmu, lalu potongan kayu itu ditaruh di sekitar pohon yang memang khusus untuk meletakkan ribuan harapan orang dalam berbagai bahasa, jangan lupa memutari pohon 7 kali,” Kiki menjelaskan.
Mau makan dorayaki? Bisa kamu temukan di daerah Nakano. “Bagus nih tempatnya, makanan lebih murah dan banyak tempat belanja souvenir. Aku sempat beli green tea.” Di Nakano ini Kiki juga mampir ke Broadway Building, pusat penjualan mainan karakter khas Jepang. Dan di sekitar Brodway Building, mainan murah banyak dijual bebas.
Dari Nakano Kiki berjalan ke pusat fashion second hand di Koenji, “Beberapa jam sebelum pulang aku baru tahu ada daerah elite, antara Shibuya dan Daekanyama. Tempatnya bagus banget dan daerahnya nggak rame. Tempat tinggal orang-orang Jepang elite. Ada butik-butik dan restoran mahal, juga taman keren. Jalan sekitar sepuluh menit dari apartemen.”
Tiap perjalanan pasti meninggalkan cerita yang nggak terlupakan, begitu juga dengan Kiki. Ada satu pengalaman lucu sekaligus menakutkan baginya, dan itu terjadi ketika Kiki di club. Karena foto sana-sini, Kiki kena semprot orang Jepang yang nggak terima foto dirinya diambil tanpa izin. “Waktu motret-motret party untuk blogku, dia nyamperin dan ngomel. Mabuk kayaknya. Terus aku kaburlah. Eh, dia nyamperin lagi, minta difoto sama temannya! Setelah itu dia juga minta maaf karena udah ngomel-ngomel. Jelas aja takut awalnya, badannya gede, sih!” kenang Kiki sambil tertawa.
Lalu, cerita seru lainnya berhubungan dengan kenekatannya berjalan-jalan tanpa tahu arah dan tujuan. “Saat kesasar malah banyak menemukan tempat oke. Tapi, pesanku, kalau nggak lancar bahasa Jepang jangan sok ngomong pakai bahasa Jepang ke penduduk sekitar, karena mereka akan menjawabnya panjang-lebar! Kalau cari arah atau tempat lebih baik mengandalkan peta. Nggak perlu takut hilang sih, tanya saja ke toko-toko yang agak modern, kadang mereka sudah menyiapkan peta. Mungkin biasa ditanya turis, he-he.”
Satu lagi cerita serunya selama di Tokyo yang justru jadi pengetahuan baru bagi Kiki. Ternyata, di Jepang turis mendapat perlakuan sangat spesial. “Ceritanya, waktu makan di restoran dan tiba-tiba disodorin appetizer seperti salad, kukira gratis, karena memang di beberapa tempat gratis. Aku makan saja. Saat bayar kita kaget karena appetizer itu dimasukkan nota, padahal kita kan nggak merasa pesan. Aku sih, mungkin kalau sendiri bakal bayar walau terpaksa. Tapi, teman aku yang dari Perancis protes dan menolak membayarnya. Akhirnya boleh sih, nggak bayar. Ada restoran yang begitu rupanya, istilahnya bayar duduk. Harganya lebih mahal dari makanan yang kita pesan, sebel banget, kan. Tapi benar lho, kalau turis nggak ngerti terus terjadi kesalahan seperti itu, biasanya kita dibela,” Kiki mengakhiri ceritanya.