Maroko, Negara 3 Rasa: Afrika, Timur Tengah & Eropa

Fimela Editor diperbarui 17 Agu 2012, 12:00 WIB
Fotografi adalah sebuah kegiatan yang sangat bagus menurut saya. Dalam fotografi, semuanya adalah tentang menunggu, lalu menangkap momen, yang artinya kita tidak bisa terburu-buru atau memaksakan suatu keadaan agar bisa menghasilkan foto yang bagus. Dan, filosofi yang menarik dari menekuni fotografi adalah tidak ada patokan mana yang salah dan benar. Yang terjadi adalah itu hanya dilihat dari angle berbeda karena setiap orang memiliki perspektif yang berbeda. Inilah yang coba saya ceritakan dari perjalanan saya ke Maroko beberapa waktu lalu.
Kedatangan saya ke Maroko selama 10 hari dan mengunjungi beberapa desa yang terpencil, membuka mata saya kalau Maroko memang negara yang unik. Unik dalam arti bahwa kota ini sebenarnya sangat menantang, karena membutuhkan banyak trik dan kemampuan beradaptasi tinggi untuk bisa menyesuaikan diri dengan tradisi dan adat di sana.
Kenapa menantang? Karena setiap kali saya baca kesan tentang perjalanan seseorang ke Maroko yang mengatakan bahwa negara itu eksotik, magis, indah, atau bernilai sejarah tinggi, justru saya nggak merasakan hal-hal tersebut ketika berkunjung ke sana.
Ambillah contoh ketika ke Marrakesh dan mengunjungi pasarnya, tujuan berbelanja yang banyak dipuja orang tentang betapa menariknya barang dagangan yang dijual di sana, bisa menjadi suatu tantangan sendiri kala ukita bukanlah tipe pembeli dengan kemampuan menawar harga yang handal. Sekali saja berani menawar harga suatu barang yang dijual di salah satu lapak, itu berarti kita harus membeli. Jangan pernah berpikir untuk iseng bertanya dan menawar, namun tidak punya niat serius untuk membeli. Menurut saya, dari sisi sederhana seperti itu saja, kota ini sudah menyiratkan pesan bahwa yang tangguh yang bisa bertahan.
Tantangan berikutnya yang saya dan teman-teman dalam photography tour ini hadapi adalah begitu susahnya untuk memfoto warga lokal yang ada di sana. Padahal, minat saya adalah street photography dengan fokus pada human interest dimana persentasenya 70 % real people dan 30% landscape. Setiap saya ancang-ancang untuk mengambil gambar seseorang, baik laki-laki maupun perempuan, saya lebih banyak mendapatkan penolakan dan hanya sedikit sekali berhasil mengabadikan gambar orang lokal. Alasan mereka menolak difoto adalah takut diguna-gunai dengan media foto tersebut. Di sinilah jelas tergambarkan bahwa Maroko adalah negara yang kompleks, dimana itu adalah sebuah negara yang agamis, namun masih terpengaruh oleh kepercayaan voodoo khas Afrika.
Yang juga membuat perjalanan Maroko saya menjadi sebuah perjalanan yang menantang adalah karena sisi hospitality yang cenderung mengecewakan. Sebagai orang Asia, kita semua pasti tahu bahwa negara Asia adalah jagonya dalam urusan hospitality. Membuat senang para turis yang berkunjung dan membuat pendatang baru merasa betah, sudah sangat mahir dilakukan oleh orang-orang Asia. Namun, harapan diperlakukan dengan memuaskan layaknya turis, tidak saya dapatkan di sana. Contoh kecil seperti susahnya memastikan reservasi hotel yang sudah dipesan, atau tour guide yang nggak bisa mengayomi kami ketika ada masalah dengan penduduk lokal, semakin membuat perjalanan saya ke negara indah ini tambah menantang!
Oke, cukup membicarakan kekurangan yang saya temui saat ke Maroko. Di balik itu, keindahan alamnya masuk dalam klasifikasi breathtaking, yang memang betul-betul memuaskan hasrat visual saya akan pemandangan indah. Dari segi arsitekturalnya juga indah, seperti volubilis peninggalan zaman Romawi dan istal kuda bekas pemerintahan Raja Sulaiman. Atau, medina, situs kota tua yang ada di tiap kota di Maroko yang pasti berbentuk labirin sebagai siasat menyelamatkan diri dari erangan musuh saat zaman perang dulu. Situs-situs bersejarah yang ada di sana, memang tidak digunakan lagi, tapi tetap dirawat, dan khusus ketika ke medina harus didampingi oleh seorang tour guide karena hanya orang asli sana yang bisa masuk dan keluar dari lingkaran labirin itu.
Dari segi kuliner, Maroko juga unik. Saya menikmati kopi yang ada di sana, karena diracik dengan sangat bagus. Budaya cafe khas Prancis sangat kental di sana, sehingga di jam berapa pun cafe yang ada dipenuhi oleh pengunjung. Untuk makanan, banyak dipengaruhi oleh unsur Afrika dan Prancis. Soal rasa, saya nggak mengatakan masakan Maroko tidak enak, karena kembali lagi ke soal selera. Secara keseluruhan, saya mendapat satu lagi pengalaman dan pengetahuan tentang satu kebudayaan dengan cara yang berbeda lagi. Untuk selanjutnya, saya akan mengunjungi Srilanka dan India untuk kedua kalinya. Fotografi menjadi seperti kegiatan dengan banyak manfaat dan nilai lebih untuk saya.