Akadku di Atas Kursi Rodaku

Fimela Editor diperbarui 26 Sep 2017, 14:30 WIB

Kisah sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba My Body My Pride ini sungguh mengharukan. Dengan kondisi fisiknya ia pernah terluka tapi Tuhan memberikan anugerah terbaiknya di waktu yang sempurna.

***

Namaku Farah. Seorang wanita yang sudah menginjak usia yang tidak muda lagi. Bahkan bisa dibilang mendekati tua. Di usiaku yang telah merambah ke kepala empat ini, belum ada lelaki yang mau meminangku sebagai istrinya. Sedihkah? Tidak! Kesedihanku meratapi kesendirian tanpa adanya pasangan hidup sudah habis. Yang tersisa hanya kepasrahan pada Ilahi, meski terkadang sisa-sisa harapan untuk memiliki suami sebelum mati itu tetap saja ada.

Menikah menjadi impian terbesar dalam hidupku. Bagi banyak orang, tidak susah untuk merealisasikan “impian” tentang menikah. Namun bagiku, kata menikah sebenarnya hanyalah angan. Semakin memikirkannya akan semakin menyakiti diri sendiri. Mengapa menikah menjadi bagian yang sepertinya sangat sulit? Apakah cintaku sudah habis? Apakah aku pernah tersakiti karena cinta? Oh iya, aku baru menyadari bahwa aku bukanlah bidadari yang menjadi dambaan setiap lelaki.

“Mas, kita udah lama pacaran loh. Kapan kita bisa nikah? Nggak enak diliat tetangga-tetangga,” ujarku pada lelaki yang bisa dibilang dia adalah calon suami impianku (baca: pacarku).

“Emm, Mas mau ngomong sesuatu, Dek! Ibuku ndak setuju kalo kita menikah”, jawabnya.

Sontak, seluruh tubuhku mati rasa, kaku, dan tak berdaya. Lelaki yang sangat kucintai, bahkan lelaki pertama yang memberiku cinta kini telah mematahkan semangat hidupku. Namun, lagi-lagi aku harus menyadari bahwa diriku bukanlah dambaan. Dan aku pun merelakan jika ia harus pergi karena jika denganku, ia hanya akan menderita.

Aku memiliki sepasang mata yang lengkap, telinga yang lengkap, tangan yang lengkap, dan kaki yang lengkap. Hanya saja, kedua kakiku tak cukup kuat untuk menopang tubuhku yang gemuk. Alhasil, aku harus memanjakan tubuhku di atas kursi roda yang menjadi tempat tinggalku. Ya, aku adalah penyandang disabilitas. Aku tidak mampu berjalan, apalagi berlari. Diam di atas kursi roda dan terus mencoba melakukan hal-hal dapat bermanfaat adalah kegiatanku sehari-hari. Aku mengalami demikian sejak aku masih kecil. Dokter menyuntikku dengan obat penurun demam, yang akhirnya justru berujung pada sebuah derita (baca: aku mencoba menjadikannya sebagai anugerah Tuhan). Tidak banyak yang mengolok-olokku. Hanya saja implikasi yang paling terasa adalah aku sulit mendapatkan jodoh.

Terus saja aku menjalani kehidupan dengan penuh harap pada Tuhan, bahwa aku akan dianugerahi lelaki penyayang yang menerima segala kekuranganku. Meski terkadang, harapan itu sirna seiring perjalanan usiaku yang semakin menua. Namun, aku terus berharap dan berdoa. Air mata yang menetes di atas telapak tangan menjadi tanda bahwa aku benar-benar ingin memiliki suami agar separuh agamaku dapat terpenuhi.

Benar saja, Tuhan menjawab doaku itu. Suatu ketika, aku dikenalkan dengan seorang lelaki oleh sahabatku. Dia bilang, dia adalah lelaki yang sudah paruh baya, dan memiliki 5 orang anak namun sangat penyayang. Dia ingin sekali meminangku. Mengapa? Karena dia berharap dengan memiliki istri sepertiku ia tidak akan merasakan pengalaman pahit seperti rumah tangga yang ia jalani sebelumnya. Ya, istrinya meninggalkannya karena terlalu sering ditinggal bekerja.

Tentu, aku merasa bingung. Di satu sisi, aku ingin mendapatkan lelaki yang usianya tidak terpaut terlalu jauh denganku. Lagi pula, dia sudah memiliki 5 orang anak. Di sisi lain, kapan lagi ada lelaki yang menerima segala kekuranganku. Dengan doa dan sholat istikharah yang aku lakukan, akhirnya hatiku mantap untuk memilihnya.

Tepat 5 tahun yang lalu, ia mengikrarkan janji sucinya di atas pelaminan. Ia duduk di kursi seperti pengantin pada umumnya, dan aku tetap saja duduk di atas kursi rodaku. “Akadku di atas kursi rodaku,” begitulah aku menamai peristiwa penting dan bersejarah itu dalam hidupku. Aku tidak bisa mengungkapkan seberapa besar rasa bahagia yang aku rasakan. Dari hasil pernikahanku, kini Tuhan telah menganugerahiku dengan satu malaikat kecil yang menjadi pelengkap dalam hidupku. Rumah tangga kecilku terpupuk sangat manis dengan kelembutan dan kepedulian suamiku.

Aku berbagi cerita ini tidak untuk mengumbar aibku sendiri. Tetapi, aku hanya ingin berbagi dengan para wanita bahwa seburuk apapun kondisi kita, tentu akan ada yang jauh lebih memprihatinkan daripada kita. Segala yang telah diberi oleh Tuhan tidak untuk diremehkan, namun justru menjadi bukti bahwa kita adalah makhluk pilihan-Nya. Tuhan telah mengatur jodoh kita, dalam bentuk apapun raga kita tentu akan ada pasangan hidup yang telah Dia siapkan. Jadilah dirimu sendiri, karena orang lain tidak pernah peduli dengan segala kepura-puraanmu.

(vem/nda)