Planet Sebuah Lament, Pentas Kebudayaan Melanesia di Panggung Dunia

Ruben SilitongaRizky Mulyani diperbarui 19 Jan 2020, 16:00 WIB
Maestro seni kebanggaan Indonesia ini mengungkapkan kalau dirinya butuh waktu tujuh tahun untuk bisa mewujudkan pementasan Planet Sebuah Lament yang ceritanya didasari dari kegelisahannya tentang berbagai bencana dan kerusakan alam. (Bambang E.Ros/Fimela.com)
“Saya tertarik dengan lament (lagu ratapan) ini sejak tujuh tahun lalu. Perjalanan Planet Sebuah Lament dipenuhi oleh peristiwa yang tidak terduga, antara lain tsunami aceh, dan kebakaran hutan di Riau,” kata Garin Nugroho. (Bambang E.Ros/Fimela.com)
Pertunjukan Planet Sebuah Lament pada kamis (16/1/2020) di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki merupakan pertunjukan perdana (world premiere) sebelum menjadi pembuka dalam ASIA TOPA (Asia-Pacific Triennial of Performing Arts) pada februari 2020. (Bambang E.Ros/Fimela.com)
Selain tampil di ASIA TOPA di kota Melbourne, Australia, karya terbaru Garin Nugroho ini juga akan dipentaskan di Dusseldorf, Jerman, dan Amsterdam, Belanda. (Bambang E.Ros/Fimela.com)
"Tentu di ASIA TOPA nanti, fasilitas teknis akan lebih lengkap. Contohnya plastik, kita akan pakai yang bagus daripada di sini,” ujar Garin Nugroho usai pementasan. (Bambang E.Ros/Fimela.com)
Keindahan budaya Indonesia Timur lewat pertunjukan Planet Sebuah Lament yang didukung oleh Bakti Budaya Djarum Foundation ini digelar untuk umum pada tanggal 17-18 Januari 2020 di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki. (Bambang E.Ros/Fimela.com)
Tiap babak dari pementasan ini dinarasikan melalui paduan suara dan lagu-lagu ratapan pada transisinya. Referensinya sendiri diambil dari tablo jalan salib yang ada di Larantuka, Flores Timur. (Bambang E.Ros/Fimela.com)
“Sebagai konsep visual, saya memasukkan unsur empat film pendek, masing-masing 3-5 menit. Empat film pendek ini juga berfungsi sebagai ruang dan waktu, simbolisasi jalan salib dan representasi bumi atau planet,” pungkas Garin Nugroho. (Bambang E.Ros/Fimela.com)