Editor Says: Bangsa Penggemar Hoax

Puput Puji Lestari diperbarui 27 Jan 2017, 12:42 WIB

Fimela.com, Jakarta Sepuluh tahun yang lalu, informasi publik hanya bisa diakses melalui media umum seperti buku, radio, koran, dan televisi. Evolusi internet membuat informasi mengalami kejauan yang signifikan. Media sosial memberi kemudahan kita membagi dan mendapat informasi secara cepat kapanpun dan dimanapun, termasuk berita hoax.

Namun, selalu ada sisi lain dibalik kemajuan teknologi. Di Indonesia, kemajuan teknologi yang memudahkan mendapat dan membagi informasi tak diimbangi dengan kemajuan literasi. Karenanya, berita bohong alias hoax mudah sekali tersebar.

Yang lebih ajaib, berita hoax seringkali menjadi 'benar' karena ramai-ramai netizen mempercayainya. Atau katakanlah, karena ingin berita itu menjadi benar, meskipun hoax netizen terus menerus membagikannya. Seolah mencari teman untuk membenarkan yang salah.

Sadarkah kita dampak apa yang akan terjadi ketika kita membagi berita di media sosial? Ada duplikasi pembaca kabar tersebut. Kalau memang beritanya benar, tentu banyak manfaatnya. Bagaimana kalau beritanya salah? Saya yakin sebagian besar kita tidak menyadarinya.

Mengapa? Karena literasi bangsa Indonesia sangat rendah! Jika kemampuan membaca dan menangkap maksud dari ide yang disampaikan secara visual baik dalan tulisan, gambar, dan video kita tidak akan gegabah membagi kabar ke laman media sosial kita. Jujur aja deh, apakah kita sudah membaca dan memahami postingan sebelum kita membaginya?

Berita hoax sangat mudah menjadi besar, karena sebagian besar dari kita tidak membaca berita secara utuh. Jika literasi kita benar, tentu takkan gegabah untuk membagi berita hoax.

Dikutip dari wikipendidikan, kamus online Merriam-Webster mendefinisikan Literasi dari istilah latin 'literature' dan bahasa inggris 'letter'. Literasi merupakan kualitas atau kemampuan melek huruf/aksara yang di dalamnya meliputi kemampuan membaca dan menulis. Namun lebih dari itu, makna literasi juga mencakup melek visual yang artinya "kemampuan untuk mengenali dan memahami ide-ide yang disampaikan secara visual (adegan, video, gambar)."

National Institute for Literacy, mendefinisikan Literasi sebagai "kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat." Definisi ini memaknai Literasi dari perspektif yang lebih kontekstual. Dari definisi ini terkandung makna bahwa definisi Literasi tergantung pada keterampilan yang dibutuhkan dalam lingkungan tertentu.

Education Development Center (EDC) menyatakan bahwa Literasi lebih dari sekedar kemampuan baca tulis. Namun lebih dari itu, Literasi adalah kemampuan individu untuk menggunakan segenap potensi dan skill yang dimiliki dalam hidupnya. Dengan pemahaman bahwa literasi mencakup kemampuan membaca kata dan membaca dunia.

Menurut UNESCO, pemahaman orang tentang makna literasi sangat dipengaruhi oleh penelitian akademik, institusi, konteks nasional, nilai-nilai budaya, dan juga pengalaman. Pemahaman yang paling umum dari literasi adalah seperangkat keterampilan nyata - khususnya keterampilan kognitif membaca dan menulis - yang terlepas dari konteks di mana keterampilan itu diperoleh dan dari siapa memperolehnya.

2 dari 2 halaman

Rendahnya Literasi Indonesia


Berdasar penelitian yang dilakukan Ditjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika pada 2015, mereka yang terhasut dengan penyebar Hoax, korbannya adalah orang-orang yang mempunyai tingkat intelektualitas yang tinggi, seperti professor dan doctor.

Kebanyakan, dari mereka kaum terpelajar yang termakan berita Hoax adalah generasi transisi yang semasa kecil belum bersinggungan dengan teknologi atau gagap teknologi (gaptek). Tentu ini akan bisa menjadi musibah besar tatkala seorang kaum terpelajar yang menjadi sosok panutan termakan Hoax, apalagi sampai menyebarkannya.

Data UNESCO tahun 2012 menunjukkan bahwa indeks tingkat membaca orang Indonesia hanyalah 0,001. Itu artinya, dari 1.000 penduduk, hanya ada 1 orang yang mau membaca buku dengan serius. Dengan rasio ini, berarti di antara 250 juta penduduk Indonesia, hanya 250.000 yang punya minat baca. Hal ini sangat berbanding terbalik dengan jumlah pengguna internet di Indonesia yang mencapai 88,1 juta pada 2014.

menurut data World's Most Literate Nations, yang disusun oleh Central Connecticut State University tahun 2016, peringkat literasi kita berada di posisi kedua terbawah dari 61 negara yang diteliti! Indonesia hanya lebih baik dari Bostwana, negara di kawasan selatan Afrika. Fakta ini didasarkan pada studi deskriptif dengan menguji sejumlah aspek. Antara lain, mencakup lima kategori, yaitu, perpustakaan, koran, input sistem pendidikan, output sistem pendidikan, dan ketersediaan komputer.

Survei yang dilakukan Central Connecticut State University di New Britain yang bekerja sama dengan sejumlah peneliti sosial menempatkan Indonesia di peringkat 60 dari 61 negara terkait minat baca. Survei dilakukan sejak 2003 hingga 2014. Indonesia hanya unggul dari Bostwana yang puas di posisi 61. Sedangkan Thailand berada satu tingkat di atas Indonesia, di posisi 59.

Survei yang dilakukan terhadap lebih dari 60 negara itu menempatkan Finlandia di posisi teratas. Kedigdayaan negara Nordic terhadap minat baca terlihat, karena posisi Finlandia disusul Norwegia, Islandia, Denmark, dan Swedia.

Fakta tersebut didukung juga oleh survei tiga tahunan Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai minat membaca dan menonton anak-anak Indonesia, yang terakhir kali dilakukan pada tahun 2012. Dikatakan, hanya 17,66% anak-anak Indonesia yang memiliki minat baca. Sementara, yang memiliki minat menonton mencapai 91,67%.

Aduh, maaf datanya terlalu memusingkan ya? Yes, itu artinya anda belum terliterasi dengan baik. Karena, setiap individu yang memiliki tingkat literasi tinggi tidak akan meninggalkan bacaan di tengah-tengah. Dia akan mencoba menyerap secara utuh semua informasi yang dibacanya. Baru kemudian membagikannya untuk orang lain.

Jika literasi meningkat, maka berita hoax akan berkurang dengan sendirinya. Karena Anda tidak akan mudah percaya, lalu membaca dulu, kemudian berfikir bermanfaat atau tidaknya, baru memutuskan untuk berbagi. Yuk, mulai dari diri sendiri, baca, baca, baca, baru kemudian sebarkan.