Tantangannya Begitu Besar, Tapi Aku Tak Menyesal Melahirkannya

Fimela diperbarui 25 Des 2016, 14:00 WIB

Jadi ibu merupakan pengalaman baru bagi seorang wanita, begitu pula yang dialami ibu yang mengirimkan ceritanya ke Lomba Bangga Menjadi Ibu berikut ini. Tantangan besar datang saat ia jadi ibu untuk pertama kalinya, dan justru inilah yang membuatnya bangga.

*** 

Menikah kemudian menjadi seorang Ibu adalah impian semua perempuan. Maka, ketika aku melahirkan seorang bayi laki-laki, aku tahu bahwa ini adalah karunia besar dari Tuhan yang dianugerahkan kepadaku. Betapa tidak, karena dia yang mampu mengubahku menjadi pribadi yang jauh lebih baik hingga kini.

Menunggu kedatangannya, makan waktu cukup lama, sekitar 2 tahun setelah menikah dan sempat mengalami kegagalan kehamilan sebanyak 2 kali. Akhirnya, di kehamilanku yang ketiga kalinya, aku berhasil mempertahankan calon buah hatiku yang sangat aku nantikan.

Selama masa kehamilanku pun tidak mudah, aku mempunyai riwayat kesehatan yang kurang baik hingga aku diwajibkan untuk beristirahat penuh dan memutuskan untuk berhenti dari pekerjaanku sebagai seorang karyawan swasta.

Tanggal 22 Januari 2014 akhirnya buah hati yang kami nantikan lahir dengan selamat dan sehat. Seorang bayi laki-laki yang sempurna dan tampan. Barqi Pradana, begitu nama yang kuberikan padanya, dengan berat 3 kilogram dan panjang 50 cm, dialah cinta yang sesungguhnya untuk diriku. Merasakan jatuh cinta pada pandangan pertama pada bayi laki-lakiku, dia begitu sempurna dan menyenangkan.

Hari-hariku sangat bahagia dan penuh canda tawa, aku menjaga dan mengurusnya seorang diri, memberinya asi, memandikannya dan hubungan kami semakin erat tak terpisahkan. Hingga saat itu, tanggal 22 April 2014, hari Rabu malam pukul 2 pagi, aku mengalami kejadian yang hingga saat ini tidak bisa kulupakan. Barqi mengalami kejang-kejang, tubuhnya terbujur kaku seperti batu dengan mata mendelik dan seluruh muka membiru pucat. Aku bergegas membangunkan suamiku dan segera membawanya ke rumah sakit terdekat.

Malam itu seakan terasa seperti satu abad lamanya karena aku belum mendapat kepastian tentang apa yang terjadi dengan anakku. Sudah tiga rumah sakit yang kami datangi, namun tidak ada hasil yang pasti hingga esok paginya aku tiba di rumah sakit di daerah Jakarta Selatan dan mendapat kepastian bahwa anakku menderita epilepsi.

Anakku divonis mengidap penyakit "Gran Mal Seizure", salah satu jenis dari penyakit epilepsi sejak usia 3 bulan. Sejak saat itulah hidupku dan anakku tidak jauh dari Rumah Sakit dan obat-obatan. Seluruh duniaku runtuh saat itu juga, tidak percaya apa yang baru saja kudengar dari dokter. Tiada hari tanpa ketakutan karena Barqi setiap hari mengalami kejang-kejang hingga berkali-kali, keluar masuk rumah sakit untuk dirawat. Berbagai macam obat harus diminumnya, bongkar pasang jenis obat, dosis obat yang selalu bertambah.

Hari-hari gelap, berat, sedih, dan putus asa pernah hinggap di kehidupan keluarga kecilku. Tiap detik, menit, dan jam selalu dipenuhi kekhawatiran kambuhnya kejang Barqi. Dalam satu minggu kami bisa bawa Barqi bolak-balik ke rumah sakit karena kejangnya selalu datang, dan setiap dia kambuh kejang, aku nggak sanggup melihatnya. Kasihan, sedih, dan hancur rasanya sebagai seorang Ibu melihat anaknya tersiksa hidupnya.

Interval Barqi kambuh pun makin sering, makin parah, makin menyeramkan, terlebih saat dokter memintaku untuk merekam video ketika Barqi kejang. Ya Allah, dari mana kekuatan itu bisa aku dapatkan di saat anakku sedang menderita seperti itu? Aku nggak sanggup.

Dosis obat Barqi pun terus naik, gonta-ganti jenis obat, dan dokter menaikkan dosisnya secara bertahap. Jika dosis tersebut belum bisa menekan kejangnya, dokter akan menambah jenis obat baru hingga dirasa ada perbaikan. Hingga saat ini, obat yang Barqi minum ada sekitar 6 jenis OAE dan full 24 jam diminum setiap 2-3 jam sekali. Sampai-sampai di rumah, semua ponsel kami set alarm untuk mengingatkan jam minum obat. Bayangkan, Barqi harus minum obat 24 jam seumur hidupnya.

Aku yang tadinya hanya seorang ibu baru, yang awam soal merawat anak, kini harus berusaha bangkit untuk belajar sendiri, mencari tahu apa penyakit ini, rajin masuk milis, membaca blog orang lain, belajar cara merawat anak dengan penyakit ini, sampai aku belajar bagaimana membaca kode-kode yang ada di resep obat anakku. Demi Barqi aku harus tabah, kuat, semangat, senyum, dan sehat untuk menjadi malaikat penjaga Barqi. Aku harus belajar lagi lagi dan lagi. Belum masalah-masalah lain yang ikut timbul plus bullying dari orang-orang sekitar.

Begitu banyak orang yang melihat Barqi dengan tatapan aneh karena Barqi belum bisa berjalan dan memiliki perkembangan seperti anak seusianya. Tapi itu tidak mengecilkan semangat kami dan Barqi sendiri, karena Barqi adalah anak yang ceria dan periang. Dia sangat suka sekali jalan-jalan, terutama ke taman dan mall. Dia suka melihat banyak orang dan lampu-lampu yang terang.

Karena epilepsinya itu, kini Barqi mengalami keterlambatan tumbuh kembang. Di usianya yang ke-3 tahun, Barqi belum mampu mengangkat lehernya sendiri, dia belum mampu duduk mau pun berdiri, namun kini dia sudah mulai mampu tengkurap sendiri. Terapi masih sering kami lakukan untuk mengejar ketertinggalannya. Tanpa kenal putus asa, aku, suami dan Barqi sendiri pun selalu semangat untuk mengejar segala perkembangannya.

Di saat itu, Tuhan kembali memberiku ujian, ketika suamiku tiba-tiba menerima PHK dari perusahaannya. Kami pun terkejut karena suami adalah satu-satunya sumber pendapatan keluargaku. Di saat itu aku pun memutuskan untuk kembali bekerja setelah kurundingkan dengan suamiku. Dengan bertukar posisi dengan suami, kebetulan saat memutuskan kembali bekerja, diriku lah yang terlebih dahulu mendapatkan panggilan pekerjaan.

Awalnya aku tidak tega meninggalkan Barqi untuk bekerja, namun perlahan aku mengajari suami untuk menjaga Barqi di rumah dan selalu aku update kabar mereka melalui telepon. Hingga tak terasa kini sudah 1,5 tahun aku bekerja dan suami di rumah menjaga Barqi. Barqi pun semakin sehat dengan dijaga ayahnya, dan ayahnya pun semakin mahir merawat Barqi sendiri tanpa bantuan asisten. Aku memilih tidak menggunakan jasa asisten di rumah karena aku lebih percaya jika Barqi lebih baik dirawat oleh kami sendiri, orang tuanya, karena Barqi sangat butuh perhatian kami berdua.

Rutinitas harianku sebelum berangkat kerja adalah membuatkan makan pagi untuk anakku, sekaligus stok untuk makan siang dan sore. Kemudian membuat masakan untuk bekalku dan makan siang suamiku di rumah, memandikan Barqi, menyuapi Barqi, memberikan obat-obatnya, berlatih untuk motoriknya, baru kemudian aku berangkat. Sore hari pun rutinitasku langsung mengajaknya makan sore, minum obat, memandikannya sama seperti saat pagi hari.

Suatu saat, aku bisa melihat masa depan yang indah untuk anakku Barqi, bahwa ia mampu mandiri terhadap hidupnya dan bisa bermain dan beraktivitas senormalnya anak-anak seusianya. Aku bangga dengan diriku dan bahagia karena Tuhan telah memberikanku karunia anak yang sangat "spesial", suami yang penuh dukungan, dan aku pun bangga karena aku bisa menjadi separuh bahunya di saat dia berada di posisi yang tidak baik. Terima Kasih anakku & suamiku.

Kini aku bangga menjadi seorang Ibu, karena aku merasa bisa jadi ibu yang baik untuk anakku "Barqi" dan bisa membantu ekonomi keluarga kecilku. Tidak masalah orang beranggapan lain, aku memilih kembali bekerja untuk 1,5 tahun terakhir ini bukan tidak lain agar aku dapat memenuhi kebutuhan anakku satu-satunya.

Dan aku ingin nantinya Barqi tau bahwa dia begitu dicintai dan dikasihi oleh kami, orang tuanya. Bahwa dirinya adalah sumber cahaya bagi hidupku, bahwa dia lah guru bagi ibu bapaknya untuk mengajari apa artinya bersyukur, ikhlas dan semangat untuk belajar dan berubah menjadi orang yang selalu bersemangat menjalani hidup. Bahwa hidup itu sangat indah dan harus kita nikmati. Barqi, Ibu dan ayah akan terus berjuang untuk dirimu dan hidupmu, kami akan berjuang membuatmu menjadi manusia yang kuat dan memiliki hati yang besar serta bisa berguna bagi orang lain. Ibu sayang sekali sama Barqi, selamanya seumur hidup ibu.

(vem/feb)
What's On Fimela