Teguran Allah Menyadarkanku, Keberkahan Hidup Berawal dari Jujur

Fimela diperbarui 21 Jun 2017, 15:45 WIB

Ketika ada kejadian buruk datang, kita sering menyalahkan keadaan, bahkan Tuhan. Namun satu yang sering tidak kita sadari, boleh jadi kejadian buruk itu adalah akibat perbuatan kita sendiri. Kisah ini dituliskan oleh sahabat kami sebagai bagian dari Lomba Menulis Ramadan 2017.

***

Di dunia ini tidak ada manusia yang sempurna karena kesempurnaan hanya milik Sang Maha Pencipta. Kita sebagai insan yang lemah dan penuh dosa mustahil jika tak pernah melakukan kesalahan. Begitu pula denganku. Aku pernah khilaf. Bulan Ramadan mengingatkanku pada fase tersulitku. Dan bulan Ramadan kali ini semoga aku dan pembaca semua bisa menjalankan ibadah puasa dengan lebih baik dan dapat mengambil ibrah (pelajaran) dari setiap kejadian yang pernah kita alami. Seperti kisah yang akan aku ceritakan berikut ini.

Senang tak terkira diterima bekerja di perusahaan ternama di Jakarta

Setelah lulus kuliah tahun 2012 lalu, aku yang mengambil jurusan akuntansi management dan mencoba pengalaman baru di dunia kerja dengan melamar pekerjaan di beberapa tempat. Salah satu yang kulamar adalah perusahaan yang bergerak di bidang produksi sabun, deterjen, margarine, dan makanan yang terbuat dari susu, es krim, makanan dan minuman dari teh, serta produk-produk kosmetik yang berkawasan di Jakarta Pusat. Setelah dua minggu berlalu sejak lamaran aku masukkan ternyata ada panggilan interview melalui email.

Kabar yang menggembirakan. Mengingat perusahaan tersebut merupakan salah satu perusahaan terbesar di Indonesia. Dan bisa bekerja di perusahaan tersebut sudah menjadi idamanku sejak lama, jauh sebelum aku lulus kuliah. Aku berdoa siang dan malam agar diberi kelancaran dan kemudahan. Syukurlah aku diterima bekerja di sana sebagai staff administrasi.

Merasa jenuh akhirnya aku putuskan resign

Awalnya aku sangat ambisius dan semangat sekali bekerja karena itu adalah pengalaman pertamaku. Namun memasuki tahun ketiga entah mengapa aku dilanda kebosanan dan kejenuhan yang amat sangat. Mungkin aktifitas kerja di kantor yang monoton ditambah setiap hari hanya bertemu dengan orang-orang yang sama membuatku merasa stagnan. Sebenarnya kerjaku di bagian staff administrasi bukan pekerjaan ringan. Meskipun tidak banyak mengeluarkan tenaga secara fisik, namun mengerjakan pembukuan, mengolah data penjualan, mengecek hasil input, membuat laporan akhir bulan, merekap return customer, dan sebagainya betul-betul menguras pikiran. Untuk itu aku harus sering kerja lembur.

Waktuku habis untuk pekerjaan. Di situ justru aku merasa tidak berkembang. Aku jadi gampang emosi dan kadang tak bisa mengendalikan diri. Apalagi tuntutan pekerjaan yang mengharuskan aku menyelesaikannya tepat waktu. Jika tidak, ya risiko harus aku tanggung sendiri, memasang kuping tebal, diomelin oleh atasan. Mungkin karena tidak adanya wadah bagi karyawan perusahaan untuk mengeluarkan segala keluh kesahnya, akhirnya aku hanya bisa memendam masalah seorang diri dan mengikuti kata hatiku. Aku protes dengan sering membuat kesalahan kerja yang memang kusengaja, memaki, dan menghujat perusahaan, sering ambil cuti bahkan beberapa kali secara beruntun.

Pihak perusahaan masih memaafkan meskipun aku sempat mendapat surat peringatan (SP). Aku juga sering izin dengan alasan sakit, padahal aku sehat-sehat saja. Merasakan ketidaknyamanan yang terus menerus pada akhirnya aku memutuskan pengunduran diri (resign). Dengan harapan mendapatkan uang pesangon yang rencana akan aku gunakan sebagai modal usaha.

Aku kehilangan barang dan uang pesangonku raib ditipu orang

Perusahaan sempat menanyakan alasan resignku. Tak bisa kupungkiri juga jika ada tatapan kejengkelan dari beberapa rekan kerja. Mungkin karena di bulan-bulan terakhir kerjaku dinilai tidak beres dan seenaknya sendiri. Perusahaan sepakat memberi uang pesangon sesuai peraturan. Untuk jumlahnya tak usah aku sebutkan di sini. Aku berpikir bahwa aku masih muda. Masih panjang kesempatan mencari pekerjaan di tempat lain. Akan tetapi untuk saat itu aku ingin mencoba berwirausaha. Namun ternyata apa? Uang pesangon yang menjadi harapan dan tumpuanku satu-satunya raib ditipu orang.

Seseorang yang kukenal baik mengajakku berbisnis dengan modal patungan. Tragisnya, uang itu aku berikan semuanya tanpa tersisa serupiah pun. Aku sudah berusaha mencari ke rumahnya dan ke segala tempat namun hasilnya nol. Dengan berat hati akhirnya aku mengikhlaskan uang itu. Belum sirna rasa kesalku, beberapa hari kemudian aku juga kehilangan barang-barang yang pernah aku beli ketika aku masih bekerja di perusahaan. Yakni handphone, radio compo, jam tangan, laptop, dan sepasang anting emas. Lengkap sudah penderitaanku.

Allah menyayangiku dengan mengambil (lagi) semua milikku yang tidak berkah

Saat aku terpuruk, putus asa, dan tak berdaya aku sempat menyalahkan Allah. Bahkan untuk beribadahpun rasanya ogah-ogahan. Aku protes keras pada-Nya. Kejadian ini berlangsung pada awal Ramadan tahun lalu. Untungnya aku lekas sadar dan merenungi diri. Aku yakin Allah punya rencana terbaik untukku. Sejenak aku teringat pada apa yang pernah aku lakukan.

Allah menyayangiku dengan membersihkan hidupku dari sesuatu yang tidak berkah. Ini juga bentuk teguran untukku.

Dulu sewaktu kerja aku sering mengomel, merugikan orang lain, menghujat, dan menyumpahi pemilik perusahaan. Terbukti dengan seringnya aku melakukan kebohongan-kebohongan, pura-pura sakit, dan tidak masuk kerja. Meskipun absen aku tetap digaji penuh. Bisa dibilang gaji yang kudapat mengandung unsur gaji buta (tidak berkah) karena kecuranganku. Aku menyadari kesalahan itu dan menyesal. Meskipun aku kehilangan materi, tapi sejak saat itu hidupku menjadi lebih tenang.

(vem/yel)
What's On Fimela