Punya Anak Saat Jadi Mahasiswi, Aku Sempat Dikira Korban Pergaulan Bebas

Fimela diperbarui 09 Mar 2018, 13:00 WIB

Setiap wanita punya kisah hebatnya masing-masing. Banyak inspirasi yang bisa didapat dari cerita seorang wanita. Seperti tulisan dari sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Rayakan Hari Perempuan Sedunia ini.

***

Menjadi ibu rumah tangga ataupun ibu yang bekerja adalah sebuah pilihan. Tetapi menjadi ibu yang baik dan cerdas adalah kewajiban bagi setiap perempuan. Kelak dari rahimnya lah akan lahir generasi-generasi yang unggul.

Juli 2014 aku pindah kuliah dari Bandung ke Pekanbaru. Bagi sebagian perempuan, ketika ia menikah, ada yang memutuskan ia berhenti dari pendidikannya. Tetapi aku dan suami sepakat bahwa pendidikan itu penting dan harus dituntaskan. Perempuan yang berpendidikan baik kelak tidak akan mudah “dibeli dengan uang”. Juga bila takdir mengharuskan ia menjadi single parent ia mampu mencari penghidupan secara terhormat.

Banyak orang yang mungkin meyakini bahwa seorang perempuan harus memiliki sepasang sepatu cantik agar bisa berada di tempat yang bagus. Tapi bagiku, seorang perempuan harus memiliki attitude dan pendidikan yang baik agar ia selalu berada di tempat yang tinggi dan terhormat.

Aku yang sedari dulu aktif di kegiatan sosial, menjadi volunteer, aktif di organisasi intra kampus amat bersyukur, pengalaman berharga itu memiliki impact yang positif bagi kehidupanku setelah menikah. Setidaknya aku paham bagaimana cara mengorganisir jadwal, mengalokasikan waktu, dana dan tenaga. Mungkin bagi kebanyakan perempuan seusiaku lebih disibukkan dengan tugas kuliah, masalah dengan dosen dan kawan sekelas bahkan masalah kegalauan percintaan. Tak seperti mereka, aku harus mampu menjalani hidup multi peran sebagai seorang mahasiswi, istri dan calon mama muda. Kujalani peranku dengan sungguh-sungguh, penuh keikhlasan dan keseimbangan, karena semua ini adalah anugerah-Nya, bertemu jodoh lebih cepat dari kawan-kawan sebayaku.

Memang tak semudah membalikkan telapak tangan, ketika kita harus menuntaskan studi sembari menjalani peran sebagai istri dan calon ibu. Penuh dinamika, haru, tawa dan tangis. Bohong sekali bila sebuah pernikahan terasa manis saja, kami pun selalu diuji dengan kondisi-kondisi yang tidak nyaman. Saat tersulit adalah ketika aku harus berjauhan dengan suami dalam kondisi hamil muda. Aku harus studi di Bandung dan suami bekerja di Pekanbaru. Itu terasa berat bagi yang telah menikah karena mereka harus mampu menahan rindu, menjaga diri dan hati dari yang tidak halal. Belum lagi aku harus bersabar dengan mulut-mulut usil yang baru mengenalku, mereka mengira aku korban pergaulan bebas. Keji sekali memang fitnah manusia, padahal seluruh kerabat dan kawan pun tahu, kami harus bersabar sekitar satu tahun belum diberi momongan. Akhirnya aku pun pindah kuliah ke kota di mana suamiku bekerja agar kami bisa bersama.



Saat itu, di usia kandunganku yang memasuki usia tujuh bulan, aku masih disibukkan dengan tugas kelompok, pekerjaan rumah dan mengikuti ujian akhir semester. Bersyukur karena kerja kerasku, aku mampu mendapat nilai yang sangat baik di setiap semester. Tak terasa usia kandunganku sudah sembilan bulan lebih, kondisi bayiku sungsang dan akhirnya dokter memutuskan bahwa aku harus operasi caesar. Beruntung kala itu aku melahirkan caesar saat liburan panjang semester genap sekitar dua bulan lebih. Oleh karena itu aku tak perlu mengambil cuti akademik untuk melahirkan. Itu semua atas kuasa-Nya.

Babak baru dimulai, ketika aku mulai belajar menyesuaikan ritme kehidupanku yang serba baru. Lingkungan yang baru, kawan-kawan baru, kampus yang baru dan menjadi mahasiswa pindahan itu tidak mudah. Setiap masuk ke kelas baru, mata kuliah baru, aku selalu menjadi “topik diwawancarai” dosen dan kawan sekelas karena statusku yang masih muda telah menjadi seorang ibu. Geli-geli lucu memang melihat respon semuanya, celetukkan humor dan ‘rumor’ mewarnai hari-hariku sebagai mahasiswi dan mama muda. Perlahan Aku mulai beradaptasi dengan karakteristik kawan-kawan yang multi kultural, di sini ada banyak suku dalam satu kelas, tidak seperti studi di Bandung di mana hampir 70% kawan sekelasku bersuku Sunda.

Di sela jam pergantian mata kuliah yang terkadang jeda dua jam, aku memilih untuk pulang ke rumah untuk menyusui langsung putri kecil kami, tak seperti kawan-kawan lain yang mampu kongkow berjam-jam di kantin kampus atau bahkan sekadar pergi ke karaoke asyik di sekitaran kampus. Meskipun repot dengan tugas sehari-hari, aku bertekad bahwa anakku harus lulus ASI eksklusif. Terkadang pulang kuliah sore sudah terasa penat, menyiapkan makanan si kecil, serta memompa ASI aku sempatkan demi tumbuh kembangnya yang baik.



Saat terlalu letih, terkadang aku harus tidur cepat dan bangun lebih cepat. Aku sudah terbiasa mengerjakan tugas makalah, analisis kasus tugas kuliah tengah malam hingga menjelang subuh. Aku berkomitmen dengan diriku sendiri. Aku harus selalu mengerjakan tepat waktu bahkan lebih cepat dari yang lain, terkadang aku merasa miris ketika “joki tugas” berkeliaran di kampus dan beberapa kawan menjadi konsumen setia jasa joki tugas ini. Sedangkan Aku yang seorang ibu saja berusaha keras untuk mengerjakan tugas-tugas sendiri.

Pernah satu ketika, kala ujian akhir semester tiba, aku tertidur lelap bersama bayiku, di meja belajar berserakan buku dan diktat kuliah yang belum kupelajari. Beruntung suamiku adalah sosok yang care, selalu mendukung aku dan di sepertiga malam dia membangunkanku untuk belajar. Entah apa yang akan terjadi bila saat itu aku tidak me-review materi-materi mata kuliah ujian.

Sebisa mungkin aku masuk kelas. Walaupun kondisi tubuhku kurang sehat, aku paksakan belajar dalam kondisi demam, flu dan batuk, meskipun suami memberi saran agar aku istirahat. Aku berpikir karena jatah absen untuk tidak masuk adalah maksimal empat kali, aku khawatir bila saja dalam setiap semester bayiku juga sakit, aku tak dapat merawatnya maksimal. Sampai-sampai ada seorang dosen perempuan yang sangat peduli dengan kondisiku bertanya kenapa aku memaksakan diri untuk masuk di kelasnya dalam kondisi seperti itu. Aku hanya bisa menjawab, “Antisipasi, Bu. Bila mana bayi saya sakit, saya tidak harus menambah absen tidak hadir, saya tidak mau mengulang mata kuliah." Dosenku pun hanya tersenyum haru.



Kehidupan di kampus tak semanis kembang gula, ada kalanya kita harus berurusan dengan dosen yang kurang simpati sama kita. Ada kalanya hatiku rapuh karena cibiran, disalahkan, dan disepelekan ketika harus melobi kekeliruan nilai mata kuliah yang keliru beliau masukkan. Aku selalu bersabar,karena tidak mungkin Tuhan menghadirkan orang semacam itu di kehidupan kita bila tidak ada maksud dan tujuannya, mungkin saja kelak kita akan menjadi orang “besar” yang harus tetap santun terhadap orang “kecil”.

Perjuanganku selama kurang dari empat tahun membuahkan hasil yang manis. Lelahku, letihku, dan keringatku yang mengalir di kala sela mengerjakan tugas tengah malam terbayar sudah kala aku mendapat tiga penghargaan sekaligus dari Fakultas Hukum menjadi Mahasiswa Berprestasi I, sekaligus menjadi Pemuncak 1/Lulusan Terbaik Fakultas dan Tercepat Studi dengan predikat Cum Laude IPK 3,82. Semua tak lepas dari doa orang-orang terdekatku, terutama suami tercinta yang andil merawat putri kecil kami.

Semoga kisahku menjadi inspirasi para mama muda di luar sana untuk selalu berprestasi dan bermanfaat kapanpun, bagi siapapun.
Teruslah berjalan, berlari, dalam menggapai cita. Meskipun akan banyak hambatan yang akan kau lalui, mungkin saja akan banyak cibiran, hinaan, bahkan disepelekan, kamu hanya harus terus berjuang, teruslah berjalan karena kelak kamu akan berada di puncak.

(vem/nda)
What's On Fimela