Mas Kawin Rp99 Ribu 12 Dolar, Ada Kisah Tak Terlupakan Jelang Pernikahanku

Fimela diperbarui 08 Sep 2018, 14:30 WIB

Lagi sibuk menyiapkan pernikahan? Atau mungkin punya pengalaman tak terlupakan ketika menyiapkan pernikahan? Serba-serbi mempersiapkan pernikahan memang selalu memberi kesan dan pengalaman yang tak terlupakan, seperti tulisan sahabat Vemale dalam Lomba Menulis #Bridezilla ini.

***

Pernikahan sejatinya adalah tujuan akhir dari semua pasangan di dunia ini. Apalagi yang akan dilakukan sepasang kekasih yang sudah lama menjalin hubungan selain mengesahkannya ke lembaga pernikahan. Meski pernikahan itu menjadi sesuatu yang ditunggu-tunggu, tentunya ada banyak hal yang harus dipikirkan dan disiapkan agar terwujud sesuai impian setiap pasangan. Karena pernikahan merupakan salah satu bukti nyata bersatunya dua insan yang kita harapkan menjadi yang pertama dan terakhir dalam siklus hidup kita.

Dalam memilih hari untuk menikah, keluargaku dan keluarga calon suamiku tidak begitu bertele-tele terlebih harus memakai hitungan weton dan sebagainya. Semua diserahkan kepada calon pengantin. Yang penting hari itu bukanlah jam kerja. Alasannya agar semua yang diundang maupun yang dimintai bantuan bisa hadir pada hari itu.

9 September 2012 dipilih sebagai hari sakral untuk merayakan momen terpenting dalam hidupku. Bukan tidak ada alasan bagiku dan calon suamiku memilih tanggal tersebut. Sejak berpacaran dulu kami sangat menyukai angka 9, angka tertinggi dalam bilangan satuan itu. Sedangkan untuk bulannya, dulu kami berencana akan menikah di salah satu bulan lahir kami. Kebetulan calon suamiku lahir di bulan Juli. Tapi karena suatu hal, pernikahan tidak bisa dilaksanakan di bulan Juli dan akhirnya kami sepakat memilih September saja sesuai bulan lahirku.



Bagiku mungkin persiapan yang membuat banyak pasangan maupun yang dilibatkan menjadi pusing tujuh keliling itu kujalani dengan baik-baik saja. Meskipun ada sedikit kerikil tapi kulalui dengan lancar. Mungkin karena jauh-jauh hari aku dan keluargaku sudah mempersiapkannya secara detail. Namun bukan berarti aku tidak bisa merasakan suka duka mempersiapkan pernikahan seperti yang dialami kebanyakan calon pengantin di luar sana.

Meski bukan dari pihakku, justru aku lebih merasakan gregetnya ketika aku ikut campur tangan mempersiapkan pernikahan di pihak calon suamiku. Calon suamiku memang tidak mengadakan acara “ngunduh mantu”, tapi justru mempersiapkan hal-hal demi terlaksananya acara pernikahan di pihakku lah yang ternyata banyak menguras energi dan emosi.

Mengenal dia yang kelak akan menjadi imamku selama empat tahun terakhir ini, aku tahu betul bagaimana dirinya. Meski tidak mempunyai orangtua yang utuh karena Ibunya sudah meninggal kemudian Ayahnya menikah lagi dan ikut dengan istri barunya, dia telah ditempa menjadi lelaki tangguh yang selalu berusaha dengan kemampuannya sendiri. Termasuk ketika lelaki ini mencoba untuk berjuang mewujudkan pernikahannya denganku. Dengan biaya dan tenaga yang terbatas dia rela jatuh bangun untuk menjadikan hari itu sebagai hari istimewa yang tidak akan pernah kami lupakan seumur hidup kami.



Bulan pertama setelah aku resmi dilamar, calon suamiku mengajakku ke Jogja untuk menyicil membeli seserahan. Selama di perjalanan dia mencurahkan keluh kesahnya padaku. Salah satu di antaranya dia takut jika pernikahan kami akan gagal di tengah jalan. Ketakutannya itu memang beralasan.

Aku adalah anak tunggal yang berkecukupan. Dia takut jika orangtuaku meminta ini itu untuk acara pernikahan kami. Sementara dia tidak memiliki dana yang mungkin bisa mencukupi semuanya. Ibarat kata untuk memberi mahar, seserahan dan bantuan uang belanja orangtuaku saja jika itu cukup sudah Alhamdulillah. Tapi aku terus meyakinkan dia bahwa aku dan keluargaku tidak akan memaksanya untuk berbuat lebih jika memang tidak mampu.

Selama di Jogja, calon suamiku menyodorkan berbagai macam barang yang sekiranya menarik untuk dijadikan seserahan. Saat itu dia bilang bulan ini beli seserahan dulu, bulan depan baru beli cincin karena uangnya baru cukup untuk membeli perhiasan bulan depan. Lalu gajian bulan depannya lagi buat mengurus surat-surat, begitu terus setiap bulan dia mencicil kebutuhan pernikahan sampai hari H.



Dia selalu bilang semua harus serba sedikit-sedikit karena dia tidak mampu menwujudkan secara instan dalam satu waktu. Terus terang aku terharu melihat usahanya yang luar biasa. Dia terkesan tidak memaksa tetapi ada wujudnya. Saat memilih seserahan aku tidak banyak memilih barang mewah. Secukupnya saja karena kupikir itu hanyalah sebuah simbol. Alangkah baiknya memanfaatkan uang untuk sesuatu yang lebih penting.

Bulan berikutnya, seperti janjinya padaku dia mengajakku ke toko perhiasan untuk membeli cincin kawin. Sebelum memilih, aku bertanya pada calon suamiku berapa uang yang dia siapkan untuk sepasang cincin. Jujur, aku tidak mau memberatkannya untuk sesuatu yang dia tidak mampu untuk membayarnya. Tapi dia tidak mau jujur dan malah memintaku untuk memilih sesuai yang aku suka.

Akhirnya aku memilih cincin sederhana yang tidak terlalu mahal. Namun betapa terkejutnya aku. Saat calon suamiku membayar semua perhiasan itu ada satu perhiasan lagi yang aku merasa tidak membelinya. Sebuah kalung beserta liontinnya. Kutanya untuk siapa dan dia bilang itu untukku. Dia membeli itu dengan alasan bahwa sejak tadi aku terus saja memandangi kalung itu. Ya kuakui aku memang tertarik dengan barang itu tapi bukan berarti harus membelinya. Tapi calon suamiku bilang itu diberikan kepadaku sebagai bentuk rasa terima kasih karena sudah mau menerimanya menjadi calon bapak untuk anak-anakku. Sungguh aku jadi terharu saat itu.

Memang benar kata orang kalau kita akan mengadakan hajat, pasti ada saja halangannya. Dan benar saja, tiba ketika aku dan calon suamiku mengurus surat untuk keperluan menikah, ternyata ada kekurangan data. Semua ini berasal dari akta kelahiran suamiku yang di sana hanya dicantumkan nama ibunya saja. Muncul banyak pertanyaan dari pihak lembaga pernikahan yang akhirnya mereka meminta calon suamiku untuk lebih melengkapi data agar surat nikahku bisa diterbitkan.



Saat itu tampak calon suamiku sudah hampir menyerah. Terus terang dia tidak tahu apa yang terjadi di masa lalu tentang kedua orangtuanya. Yang dia tahu orangtuanya menikah secara legal namun kenyataannya semua data yang dia punya tidak menunjukkan itu. Aku terus menguatkan dan memberinya motivasi agar dia tidak down. Dan mulai kulihat setiap bulan dia semakin kurus karena harus mengurus semuanya sendirian.

Hari H pun semakin dekat. Dalam suatu acara pernikahan, pastinya kita akan melibatkan banyak orang untuk membantu kita. Karena salah satu acara di tempatku ada acara malam lamaran dan pengajian, otomatis calon suamiku harus mempersiapkan panitia kecil dan mengundang beberapa  orang agar bisa hadir dalam acara tersebut. Selama ini selain denganku, calon suamiku hanya bertukar pikiran dengan kakaknya. Padahal kakaknya sendiri belum menikah dan belum pernah merasakan melaksanakan hajatan. Alhasil calon suamiku hanya mendapat sedikit saran saja dari kakaknya.

Setiap malam sepulang kerja calon suamiku mendatangi rumah-rumah orang yang akan dimintai bantuan. Yang paling utama tentunya adalah saudaranya. Dia meminta om dan tantenya untuk menjadi pengganti orangtuanya dan kemudian meminta saudara-saudaranya untuk menghadiri acara di tempatku dan membantu tenaga jika memang dibutuhkan. Setelah itu ke rumah beberapa tetangga terdekat dengan tujuan yang sama. Semua dilakukannya sendiri. Tanpa kehadiran orangtua sebisa mungkin dia menyelesaikan setiap urusan pernikahan secara mandiri.

Kadang aku merasa kasihan dan mencoba menawarkan bantuan dari pihakku untuk membantunya. Tapi dia menolak dengan alasan keluargaku pasti juga repot mengurusi acara pernikahanku yang acaranya lebih lengkap daripada dia.



Hari H tinggal sebulan dan nampaknya calon suamiku masih pontang-panting menyelesaikan kelengkapan acara. Waktunya istirahat dan “me time” untuk calon pengantin pun sepertinya memang tidak ada dalam kamusnya. Dan sepertinya ujian memang belum usai.

Di tengah waktu yang berjalan semakin dekat ada saja orang yang entahlah mungkin tidak menyukai terlaksananya acara ini dan berusaha menggagalkannya. Dan itu dilakukan oleh saudara calon suamiku sendiri. Sejak hari itu calon suamiku menjadi sakit-sakitan. Ya wajar saja dia dipaksa berpikir sendiri. Belum lagi tentang masalah biaya. Di saat seperti itu aku dan keluargaku memberinya semangat dan dukungan agar dia tidak menyerah. Percayalah, Allah tidak akan meninggalkan hamba-Nya yang berusaha dan selalu mempunyai niat baik.

Hari H pun tiba. Tampak saat ijab qabul, lelaki tangguh itu kelihatan kurus dan pucat. Tapi entah kenapa di mataku dia kelihatan lebih berbeda dengan aura yang bersinar. Dan dengan sisa tenaga yang dia punya alhamdulillah dia bisa mengucapkan ijab qabul dengan satu tarikan napas saja. Hal itu membuatku berkaca-kaca.

Semua tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Rasanya seperti sebuah film yang diputar di otakku. Bagaimana lelaki ini berjuang hingga jatuh bangun serta memutar otaknya secara terus menerus sampai dia bisa berkontribusi mewujudkan pernikahan ini. Sungguh bagiku bukan untuk pestanya, tapi lebih kepada kesakralannya.

Dan benar jika Allah itu Maha Baik. Di tengah ujian yang selama ini dia hadapi akhirnya dia bisa memberikan seserahan dan uang pada orangtuaku lebih dari yang dia duga. Semua itu berkat bantuan beberapa saudara calon suamiku dan teman-temannya yang masih peduli dengan kondisi calon suamiku. Ternyata tiada perjuangan yang sia-sia jika kita mau bersabar dan bersungguh-sungguh.



Saat itu aku diberi mas kawin Rp 99.000 $ 12. Awalnya yang kutahu angka itu hanya sekadar tanggal pernikahan agar mudah untuk diingat. Dan lelaki yang sekarang menjadi suamiku itu pun tidak mau menjawab arti di balik itu semua. Dia hanya bilang suatu saat aku pasti mengerti. Dan perjalanan cinta kami yang sudah memasuki tahun keenam ini akhirnya membuat aku mengerti bahwa mas kawin itu bukan hanya sekadar kewajiban.

Aku memaknai angka 9 sebagai angka tertinggi di mana cinta dan kasih sayang kami akan terus meninggi meski banyak badai yang menerpa. Dan makna uang dolar itu sebagai tanda bahwa betapa mahalnya cinta kami yang selama ini selalu kami perjuangkan dengan susah payah. Kenyataannya, mungkin aku tidak merasakan repotnya mengurus pernikahan di pihakku. Tapi perjalanan meraih pernikahan saat aku mendampingi suamiku berjuang inilah yang akhirnya membuatku mengerti bahwa pernikahan bukan sekadar pernikahan tapi sesuatu yang harus dipertahankan sampai kami menua dan berakhir hidup kami.





(vem/nda)
What's On Fimela