Kita Tetap Layak Bahagia meski Hidup Dilanda Banyak Cobaan

Endah Wijayanti diperbarui 01 Apr 2020, 08:15 WIB

Fimela.com, Jakarta Mencintai diri sendiri bukanlah tindakan egois. Justru dengan mencintai diri sendiri, kita bisa menjalani hidup dengan lebih baik. Di antara kita ada yang harus melewati banyak hal berat dalam hidup sampai rasanya sudah tak punya harapan apa-apa lagi. Namun, dengan kembali mencintai diri sendiri dan membenahi diri, cahaya baru dalam hidup akan kembali bersinar. Melalui salah satu tulisan yang dikirimkan Sahabat Fimela dalam Lomba My Self-Love Story: Caramu untuk Mencintai Diri ini kita akan memetik sebuah inspirasi baru yang dapat mencerahkan kembali hidup kita.

***

Oleh: Elly Nurida Silalahi

Ada yang salah dengan diriku. Aku sudah lupa rasanya menikmati hidup, tertawa lepas, dan melakukan apa yang kusuka tanpa ada tekanan dari siapapun (untuk hal-hal yang positif tentunya). Alih-alih tertawa, justru hari-hariku penuh dengan kecewa, marah serta tangis yang tertahan. Aku ingin lepas dari belenggu ini dan itu adalah momentum di mana pada akhirnya aku memutuskan dan memantapkan diri untuk berkonsultasi dengan seorang psikiater. 

Namun, keinginan itu tidak pernah terwujud karena ternyata perasaan negatif dan akar kepahitan tersebut telah bermanifestasi menjadi penyakit yang mengerikan dan ternyata sudah menyebar di tubuhku. Kanker usus stadium akhir! Itulah vonis terakhir dokter saat aku dan suamiku menunggu hasil CT-Scan dan Biopsi. Aku tak bisa berkata-kata saat itu, aku hanya diam dan menatap kosong ke dinding putih di depanku.

Aku akan mengajak kalian untuk menjelajah dan melihat bagaimana kehidupanku selama satu tahun terakhir dan bagaimana akar kepahitan itu bertumbuh subur dalam kehidupanku. Diawali dengan babak tepat saat pesta pernikahanku dan suami selesai di mana kami akhirnya memutuskan untuk tinggal di rumah mertua karena kebetulan suamiku adalah anak laki-laki satu-satunya.

Mertuaku sudah berumur dan kami pikir tidak ada salahnya kami tinggal bersama mereka supaya ada yang menjaga dan menemani mereka. Namun, entah kenapa aku merasa ada ketidakcocokan antara aku dan mereka. Aku pikir, mungkin memang butuh waktu untuk menyesuaikan diri karena bagaimana pun aku adalah pendatang baru di keluarga suamiku. Ada momen-momen di mana saat menurut mereka itu adalah suatu candaan namun bagiku itu adalah hal yang menyinggung dan menyakiti perasaanku. Di sini benih akar kepahitan mulai tertabur. 

Dalam hitungan bulan, akhirnya kami mendapatkan hadiah luar biasa yaitu janin yang ternyata mulai tumbuh di rahimku. Mungkin di momen ini aku tidak terlalu ambil pusing dengan apa yang terjadi di sekelilingku karena aku fokus untuk menata hati dan pikiran untuk terus positif karena aku menyadari bahwa emosi negatif hanya akan memberikan dampak negatif untuk bayi di kandunganku. Hingga akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba, putri cantikku terlahir dengan sempurna. Suka cita menyelimutiku dan semua keluarga besar baik dari pihak suami maupun dari pihakku. 

Tidak terasa waktu cuti melahirkanku sudah habis dan aku harus kembali bekerja. Di sinilah hal-hal yang tidak mengenakkan mulai terjadi. Oh iya, perlu aku informasikan dahulu bahwa yang tinggal di rumah itu selain kami ada juga keponakan mama mertuaku. Jadi, saat aku pulang kerja aku tidak diizinkan mertuaku untuk memegang anakku padahal bisa kalian bayangkan bagaimana rindunya aku setelah hampir 10 jam tidak memeluk dan memberikan ASI kepadanya.

Sampai anakku berusia hampir 8 bulan pun aku sama sekali tidak diizinkan untuk memandikan, memberi makan anakku. Segala keputusan yang berkaitan dengan anakku ditentukan oleh mertuaku, karena dia merasa sudah sangat berpengalaman mengurusi 5 anak dan 7 cucu sebelumnya. Bahkan merek susu formula, botol dot dan sabun pencuci botol dan pakaian pun mereknya harus ditentukan olehnya. 

Entahlah, apakah beliau merasa bahwa aku tidak bisa menjadi ibu yang baik untuk anakku karena dia malah lebih mempercayai keponakannya untuk membantu mengasuh dan merawat anakku. Ah, sedihnya ya Tuhan. Masih banyak hal lain yang tidak bisa aku jabarkan satu per satu karena tidak etis rasanya karena bagaimana pun beliau itu sudah menjadi orangtuaku juga, yang harus aku hormati. 

2 dari 3 halaman

Cobaan Makin Berat

ilustrasi./Photo by Brooke Cagle on Unsplash

Mungkin kalian akan berkata, kenapa tidak cerita ke suami? Bagai makan buah simalakama. Karena jika aku menyampaikan uneg-uneg kepada suami dia terkadang akan bereaksi spontan dan yang ada malah suami dan mertua bertengkar hebat. Dan selalu setiap habis bertengkar, suasana di rumah menjadi suram dan tidak enak karena masing-masing diam dan tidak saling menyapa termasuk mertuaku akan mendiamkan aku juga.

Pada akhirnya aku memutuskan untuk memilah apa yang perlu kusampaikan ke suami dan apa yang cukup aku pendam di dalam hati walapun rasanya tidak enak dan menyesakkan. Karena tak jarang juga suamiku keberatan dengan apa yang kukeluhkan dan ujung ujungnya aku yang bertengkar dengannya. Di sini benih akar kepahitan mulai tumbuh subur dan menjalar.

Bagaimana dengan kehidupan di dunia kerja, pastinya menyenangkan dong, banyak teman-teman yang seru? Mungkin itu yang akan kalian tanyakan berikutnya. Hmmm, sebelas dua belas dengan kondisi di rumah. Bebanku di kantor juga sangat berat.

Sebagai informasi, selama hampir lima tahun bekerja akhirnya aku dipercayakan untuk memimpin sebuah tim di unitku sebagai leader. Namun, atasanku sepertinya tidak menyukaiku karena memang aku termasuk orang yang tegas. Apabila suatu hal tidak sesuai dengan SOP atau melanggar aturan maka aku tidak segan-segan menyatakan ketidaksetujuan. Oleh karena itu, dalam berbagai kesempatan dia akan mencari cara untuk menjatuhkan dan mempermalukanku di depan teman-teman bahkan di depan tim yang aku pimpin.

Sehingga tidak jarang aku merasa malu dan harga diriku seperti diinjak-injak. Satu hal yang tak terlupakan hingga saat ini adalah ketika aku sedang pumping di suatu ruangan seperti gudang karena pada saat itu memang tidak ada ruangan khusus yang disediakan untuk pumping. Aku sengaja mematikan lampu agar tidak terlihat oleh karyawan atau OB saat melintas, kemudian aku meringkuk di bawah meja dan menggunakan HP untuk penerang. Setelah 25 menit aku kembali ke meja kerja.

Tiba-tiba tidak berapa lama, atasanku itu berteriak dengan suara yang cukup nyaring dan dapat didengar oleh orang-orang yang ada di ruangan, "Mulai besok pumping tidak boleh bawa HP agar tidak ada alasan untuk berlama-lama.” Semua tahu bahwa itu ditujukan kepadaku. Aku mencoba menguatkan hati dan menahan tangis. Atasanku ini adalah seorang perempuan, tetapi mengapa tidak ada empati dan tidak ada pengertian sedikitpun.

Oleh sebab itu, di kantor pun aku memutuskan untuk tidak berbagi cerita sedih dan kekecewaanku karena bisa malah memperkeruh suasana serta saat itu aku tidak tahu mana yang benar-benar tulus sebagai teman dan mana yang bertindak sebagai serigala berbulu domba. Jadi, kantor bukan lagi menjadi tempat yang menyenangkan bagiku bahkan menjadi beban berat. Di sini akar kepahitan semakin tumbuh dengan sangat subur.

3 dari 3 halaman

Mencintai Diri Sendiri

ilustrasi./Photo by Jc Romero from Pexels

Aku punya beberapa sahabat namun aku memilih untuk tidak cerita ke mereka segala permasalahan yang mengganggu benakku karena ada kekhawatiran akan keceplosan ketika kumpul-kumpul dengan suamiku. Besar keinginan untuk bisa cerita dengan keluarga, kepada mama, kakak, adik-adik. Namun, niat itu langsung aku urungkan karena aku tidak mau menambah beban pikiran mereka. Sehingga semua beban ini aku tanggung sendiri dan kupendam dalam hatiku. Akibatnya, setiap aku bangun pagi, tubuhku terasa berat dan kepala pusing. Tak ada lagi semangat atau pun gairah di pagi hari. 

Hidupku rasanya berat sekali. Suatu waktu aku menyatakan keinginan untuk resign dari pekerjaan dengan harapan satu beban dapat ditanggalkan dari pundakku, namun suami dan mertuaku tidak mengizinkan. Padahal jikalau pun resign aku sudah memiliki rencana untuk memaksimalkan skill dan passion-ku di bidang make up. Dan aku yakin jika tekun aku kerjakan pasti membuahkan hasil. Ini hidupku tapi kenapa aku seperti mobil remote control yang dikendalikan orang lain? Mengapa hidupku seperti ini, ya Tuhan? Kapan aku bisa hidup bahagia?

Hidupku terasa sangat berat. Aku lelah berusaha menyenangkan orang lain. Terkadang aku merasa lelah memohon pada Tuhan. Segenap waktu, energi, dan fokus hidupku seakan tersedot habis oleh masalah dan pergumulan hidup. Inilah puncak di mana akar kepahitan sudah menancap kuat san sangat susah untuk dicabut.

Kanker yang menyebar di tubuhku adalah manifestasi akar kepahitan tersebut. Selama masa pengobatan dan pemulihan kanker ini, aku banyak berdiam diri dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Aku mulai menikmati hari demi hari dengan ungkapan syukur, menikmati momen kebersamaan dengan putri cantikku dan keluargaku.

Tuhan memberiku kebijaksanaan untuk memahami bahwa hidup ini memang tidak mudah, aku tidak bisa mengontrol orang lain agar ikut caraku. Aku tidak bisa mengontrol bagaimana orang lain harus memperlakukanku namun satu hal yang pasti bahwa aku memiliki kontrol penuh untuk menentukan reaksi terhadap suatu hal apakah reaksi positif atau negatif. Pemahaman ini membuat satu per satu beban yang kupikul selama ini berjatuhan dan pundakku terasa lebih ringan.

Saat ini aku didampingi keluargaku sedang fokus pada pemulihan dan kesembuhanku. Walaupun aku dan anakku harus berjauhan dengan suamiku yang di Jakarta, sementara kami di Medan tapi aku yakin suatu saat akan tiba waktunya kami akan berkumpul kembali layaknya sebuah keluarga. Mohon doanya ya teman-teman semua. Tidak mudah memang tapi ketika aku sudah berdamai dan mencintai diriku sendiri, semuanya pasti menjadi lebih mudah. Amin.

 

 

#ChangeMaker