Sukses

Lifestyle

Masalah Terbesar Gwyneth Paltrow adalah Terlalu Sempurna

gwyneth

Gwyneth Paltrow sepertinya mengikuti aturan yang sama, karena di sebuah interview dengan USA Today dia berkata, “One of my most negative qualities is the perfectionism that I have, and I think that I unconsciously project that because it comes from self-doubt and insecurity and that’s the ironic part.”

Perfeksionis artinya pengen segala sesuatu menjadi sempurna. Sebenarnya bukanlah hal yang buruk. Kalau sampai perfeksionisme membuat kamu nggak berani melakukan apapun karena takut membuat kesalahan, kamu harus mulai berhati-hati dan berpikir. Tapi mengingat Gwyneth masih punya waktu untuk membintangi film dan serial TV dan menulis blog-nya dan rekaman album musik perdana dan mengeluarkan buku masak dan masih punya waktu di sela jadwal yang padat untuk memberikan interview dimana dia mengaku sebagai ibu bekerja yang normal yang sebenarnya punya 10 orang staf yang membantu setiap saat, rasanya perfeksionisme bukanlah masalahnya.

Untuk sebagian dari kita, perfeksionisme bisa mendatangkan hal-hal terbaik dalam hidup. Tapi saat obsesi untuk menjadi sempurna serta mengendalikan segala sesuatu menghalangi kehidupan pribadi dan profesional, hasilnya bisa merugikan diri sendiri.  Walaupun banyak dari kita yang terlihat cool serta percaya diri, tapi di dalam diri kita terjadi gejolak emosi, berusaha memuaskan orang lain, mengendalikan masa depan, dan perasaan kalau kita gagal.

Perfeksionisme bisa menghabiskan energi, merumitkan hal yang paling mudah, and take enjoyment out of life.

Untuk para workaholic atau neat freaks, untuk kamu yang takut akan perubahan atau membuat kesalahan, bagi yang merasa perlu aturan keras, terlalu perhitungan atau keras kepala, berikut strategi praktis untuk membantumu mengatasi obsesi tersebut dan bahagia.

Tapi untuk banyak orang memang ada sisi buruk bagi pengejar kesempurnaan, begitu kutipan dari buku Too Perfect, oleh Dr. Allan Mallinger. Kualitas yang membawa kesuksesan, rasa hormat, dan percaya juga bisa mendatangkan masalah serius. Orang-orang tersebut biasanya nggak bisa total menikmati hubungan dengan orang lain dan dengan lingkungan sekitar, atau merasa nyaman dengan diri mereka sendiri. Seringkali terjadi, karena terlalu driven to meet professional and personal goals sehingga nggak bisa bersantai dan menikmati waktu luang tanpa merasa bersalah atau rasa nggak disiplin.

Apakah kamu:

  • Terlalu sibuk untuk memilih yang terbaik sehingga kesulitan untuk membuat keputusan yang bahkan sangat mudah dan seharusnya menyenangkan: membeli perangkat hiburan baru; memilih tempat tujuan liburan.
  • Terlalu pemilih sehingga kesenangannya jadi rusak kalau ada hal yang nggak sesuai prediksi.
  • Si pemikir yang otaknya terlalu hiperaktif sehingga membuat dia merasa terus menerus kuatir serta terlalu banyak pertimbangan.
  • Si perfeksionis yang perlu untuk memperbaiki serta memoles setiap hasil kerjanya sehingga membuang terlalu banyak waktu untuk tugas sesederhana apapun. Kadang juga terlalu menentukan target dalam memilih pasangan hidup sehingga malah jadi sulit untuk membuat komitmen hubungan jangka panjang.
  • Selalu bekerja keras, working long hours sehingga susah untuk mengurangi waktu kerja, bahkan saat dikonfrontasi dengan kenyataan bahwa terlalu banyak kerja sudah mempengaruhi kesehatan atau hubungan pribadinya.
  • Si penunda yang marah dengan kemalasannya sendiri – nggak sadar kalau alasan utama dia nggak segera melakukan pekerjaannya adalah karena dia merasa harus melakukan semuanya tanpa salah dan cela.

Yang tersebut di atas hanyalah sebagian kecil dari sikap yang umum dilakukan oleh orang yang tipe kepribadiannya masuk dalam kategori obsesif.

Kualitas yang bisa mewakili orang obsesif adalah powerful, keinginan bawah sadar untuk selalu memegang kendali – akan diri sendiri, orang lain, dan resiko hidup. Salah satu cara utama untuk mewujudkan kualitas tersebut adalah perfeksionisme. To be in control and to be ‘perfect’.

Biasanya orang tersebut:

  • Takut membuat kesalahan
  • Takut membuat keputusan yang salah
  • Dedikasi tinggi pada pekerjaan
  • Kebutuhan akan rutinitas yang pasti
  • Terlalu hemat
  • Perlu untuk tahu dan mengikuti aturan
  • Emotional guardedness
  • Kecenderungan keras kepala atau melawan
  • Sensitif akan tekanan atau kendali orang lain
  • Sering kuatir, berpikir ulang, atau ragu
  • Kebutuhan untuk tak terjamah kritik – secara moral, profesional, atau pribadi
  • Sangat berhati-hati
  • Tekanan dari dalam diri untuk menggunakan setiap menit dengan produktif

Seseorang bisa dibilang obsesif jika kepribadiannya termasuk dalam karakter di atas – atau kombinasinya. Sebenarnya, kualitas di atas, jika nggak berlebihan, merupakan kualitas yang berharga. Susah untuk membayangkan seseorang bisa sukses tanpa adanya self-discipline, contohnya, atau keinginan untuk bekerja keras dan menghindari kesalahan. Tapi beberapa orang memang ‘too perfect’, seperti pada contoh kasus di atas, Gwyneth Paltrow. Ciri obsesif yang ada pada kepribadian mereka sangat dominan dan nggak bisa ‘dibengkokkan’ sehingga bisa menimbulkan masalah.

Biasanya para ‘penderita’ nggak sadar betapa obsesif mereka sampai merugikan diri sendiri; nggak mengakui atau menyadari bahwa beban berat yang ada sumbernya adalah diri mereka sendiri. Sebagian besar terbiasa mempercayai kalau you can never be too careful, hardworking, thorough, prepared, or organized. Bahkan seringkali sangat bangga akan kualitas tersebut.

Hal yang sama terjadi pada Ashley Judd. Dia memutuskan untuk rehab awalnya bukan karena merasa ada masalah. Saat dia mengunjungi kakaknya, Wynonna yang sedang menjalani rehab, counselor yang ada secara nggak sengaja membuka matanya. Bahwa yang terjadi pada Wynonna sangat mungkin juga terjadi pada dirinya, karena mereka kakak beradik, dan merasakan luka yang sama. Masa kecil mereka berdua memang keras dan berpindah-pindah, serta tidak stabil karena mengikuti karir sang ibu, Naomi Judd, seorang penyanyi country terkenal.

Ashley mengaku kalau masa kecilnya merupakan ‘complete chaos,’ sebagai hasil seringnya mereka berpindah-pindah rumah dan sekolah. Sebagai kompensasi dari kekurangan tersebut, Ashley memposisikan dirinya menjadi anak yang sempurna: berbakat, charming dan nggak merepotkan. Dan berlanjut menjadi orang dewasa yang sempurna. Sementara Wynonna, menjadi food addict.

Keputusan Wynonna untuk mengalahkan adiksinya yang membuka mata Ashley, bahwa dia punya masalah yang selama ini nggak pernah dia anggap penting.

Banyak pengidap obsesi karena apa yang terjadi pada masa kecil. Sikap dan perkataan orangtua yang kontradiktif. Apa yang terlihat dan cara pandang lingkungan serta aturan sosial jadi lebih penting buat orangtua dibanding apa yang dipikirkan, dirasakan, diinginkan, atau ditakuti anak. Dan bisa disebabkan karena merasa tidak disukai oleh salah satu atau kedua orangtua. Mereka merasa sudah menjadi seorang anak yang ‘baik’ dan berusaha untuk mengikuti ekspektasi orangtua, tapi tidak mendapatkan apresiasi malah mendatangkan kritik.

Menurut Dr. Mallinger, perfeksionisme, sikap hati-hati, ambisius, dan ciri obsesif lainnya memang bisa datang dari adaptasi yang terjadi di masa kecil. Walaupun terlalu mudah untuk menyimpulkan kalau hanya dari masa kecil saja orang bisa mengembangkan kepribadian obsesif. Manusia merupakan makhluk kompleks , dan sementara keluarga serta nilai norma yang ada adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri, pada satu titik, ‘bawaan’ genetika seseorang dan apa yang terjadi selama hidupnya adalah sumber utama. 

Perfeksionisme biasanya lebih banyak kerugian dibandingkan keuntungan. Penderita bisa sangat ketakutan dan kaku sehingga sulit untuk dimengerti. Bisa berubah dari sangat produktif menjadi completely nonproductive. Beberapa contoh:

  • Rendah rasa percaya diri. Selain menjadi penyebab perilaku perfeksionis, rendah diri juga merupakan hasilnya. Karena perfeksionis biasanya nggak pernah merasa cukup baik akan dirinya, sehingga merasa seperti orang yang gagal.
  • Negatif. Karena percaya kalau nggak mungkin untuk mencapai satu goal, sehingga mudah untuk bersikap negatif.
  • Depresi. Sering merasa nggak didukung dan depresi karena keinginan untuk sempurna tapi menyadari bahwa untuk mencapai sesuatu yang ideal nggak mungkin.
  • Rasa bersalah. Nggak pernah merasa bisa melakukan sesuatu dengan benar. Seringkali merasa malu dan bersalah.
  • Kaku. Karena harus serba sempurna dan ideal, sehingga nggak fleksibel dan nggak spontan.
  • Lack of motivation. Orang yang mengharap kesempurnaan seringkali nggak akan mencoba hal baru karena merasa nggak akan mampu untuk melakukan hal tersebut dengan baik. Kadang mencoba hal baru tapi cepat menyerah karena takut nggak bisa mencapai target.
  • Stuck. Karena takut gagal, sering takut bergerak dan nggak berani melakukan sesuatu atau stagnan. Penulis yang terkena writer’s block adalah contohnya.
  • Perilaku obsesif. Saat memerlukan keteraturan atau struktur dalam hidupnya, menjadi terlalu fokus pada detil dan aturan.
  • Perilaku kompulsif. Perfeksionis yang merasa sebagai seorang yang gagal bisa melarikan diri ke alkohol, obat-obatan, makanan, shopping, seks, judi, atau perilaku beresiko tinggi lainnya.
  • Eating disorders. Riset membuktikan kalau perfeksionisme merupakan isu besar bagi orang yang menderita eating disorder.

 

Kita bisa mencapai banyak hal saat berusaha untuk melakukan yang terbaik. High achiever, seperti perfeksionis, ingin menjadi orang yang lebih baik dan mencapai hal yang besar. Tapi tidak seperti perfeksionis, high achiever menerima kalau membuat kesalahan dan memiliki resiko gagal adalah sebagian dari proses pencapaian – and part of being human.

Kita bisa menjadi high achiever tanpa menjadi perfeksionis. Orang yang banyak pencapaiannya dan tetap sehat secara emosional biasanya memiliki hal berikut:

  • Menentukan standar yang tinggi tapi sanggup dicapai
  • Menikmati proses, bukan hanya hasil
  • Bangkit dari kekecewaan dengan cepat
  • Nggak lumpuh karena kekuatiran dan takut gagal
  • Melihat kesalahan sebagai kesempatan untuk berkembang dan belajar
  • Bereaksi positif pada kritik membangun

Saat kamu menyadari bagaimana kamu berharap untuk menjadi sempurna, kamu bisa mengubah perilakumu. Berikut beberapa strategi untuk menghadapi sifat perfeksionisme.

1. Ekspektasi, standar, dan penerimaan yang ditentukan oleh setiap orang untuk dirinya dan orang lain are within their control to change. Saat seseorang nggak tergantung pada pemikiran bisa mencapai target atau tidak, orang itu bisa membuat keputusan berdasarkan apa yang terjadi, dan nggak membandingkan dengan fantasi atau kesempurnaan.

Tanyakan pada dirimu, “Apakah adil untuk meminta standar ini pada teman baik?” Kalau kamu sendiri nggak mau meminta pada mereka, apakah adil untuk meminta pada diri sendiri? Berikan dirimu unconditional love dan penerimaan yang kamu berikan pada orang lain yang membutuhkan dukunganmu.

2. Yang tidak bisa kamu terima, mengendalikan dirimu. Kalau kamu terpaku pada apa yang nggak bisa kamu lakukan dengan sempurna, kamu nggak mampu untuk melihat pencapaian kecil yang berhasil kamu lakukan tiap hari. Emosi dan perasaan adalah salah satu ciri kemanusiaan. Kamu bisa merasakan emosi apapun dan memilih cara bereaksi sesuai emosi tersebut. Konsentrasi pada sisi positif.

3. Semakin dekat seseorang dengan kesempurnaan, semakin berat untuk melangkah mendekati goal yang ditentukan. Kamu bisa melakukan lima hal untuk 80% sempurna, atau satu hal untuk 100% sempurna. Banyak situasi di pekerjaan atau sekolah dimana kuantitas atau kecepatan lebih penting daripada kualitas.

4. Standar yang ditegakkan lingkungan, tidak bisa diubah. Sadar akan fakta kalau menempatkan diri adalah langkah awal dalam menentukan apakah suatu hal relevan atau tidak. Pelajari hati-hati standar yang ada sebelum membuat pilihan akan melakukannya.

Menghargai penilaian diri dan menerima diri sendiri apa adanya sangat lah penting untuk perkembangan diri.

5. Membuat kesalahan atau gagal adalah salah satu cara paling efisien untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Ada alasannya kenapa orang membuat prototype atau contoh – melalui proses yang sama berkali-kali dan menciptakan produk di atas standar adalah cara paling cepat untuk sukses.

Berikan dirimu ijin untuk bereksperiman dengan hidupmu dan mengalami kegagalan saat belajar. Failure is an event, not a person. Kalau kamu gagal, kamu menang because you are pushing the edges of your competence, where the most learning can be found.

6. One day at a time! Perfeksionisme mencuri kesempatan untuk menikmati hidup, karena kita selalu menunggu saat dimana kita mencapai kesempurnaan, atau menghukum diri sendiri akan kesalahan yang kita lakukan. Tarik napas panjang dan lihat sekitar. Coba rasakan debar jantungmu. Jangan pedulikan permintaan yang ada di kepala, untuk sejenak. Apa yang kamu temukan? Hidup. Life is not perfect. So are you.



Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading