Fimela.com, Jakarta Setelah hadir selama lebih dari tiga dekade di tengah keluarga Indonesia, Tupperware Indonesia secara resmi menghentikan operasional bisnisnya per 31 Januari 2025. Informasi ini diumumkan melalui akun Instagram resmi Tupperware Indonesia dengan pesan penuh rasa terima kasih dan haru. "33 tahun bukanlah waktu yang singkat," tulis mereka.
Dalam rentang waktu lebih dari tiga dekade tersebut, Tupperware telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari—dari bekal si kecil ke sekolah hingga hantaran penuh cinta di berbagai momen istimewa. Produk-produk mereka dikenal luas karena desain yang praktis, fungsional, dan mendorong gaya hidup sehat. Akan tetapi realitas baru harus dihadapi, setiap perjalanan tentu memiliki akhir, dan keputusan ini merupakan bagian dari restrukturisasi global yang dilakukan oleh Tupperware Brands Corporation.
Dalam pesan perpisahannya, Tupperware menyampaikan apresiasi kepada seluruh Executive Director, tim penjualan, dan konsumen yang telah menjadi bagian penting dari perjalanan mereka di Indonesia. Kenangan selama 33 tahun bukan hanya tentang produk plastik penyimpan makanan, tetapi juga tentang nilai, kepercayaan, dan hubungan yang telah terjalin.
Advertisement
Meski keputusan ini diambil dengan berat hati, Tupperware berharap jejak keberadaannya akan tetap hidup di hati para penggunanya. Sahabat Fimela, mari kita simak lebih dalam mengenai, alasan kesuksesan Tupperware di masa lalu, faktor-faktor yang membuatnya akhirnya tumbang di tengah persaingan pasar, hingga brand alternatif yang bisa menjadi alternatif baru. Selengkapnya, simak uraian menariknya berikut ini.
Advertisement
1. Mengapa Tupperware Begitu Populer di Indonesia
Sahabat Fimela, tidak bisa disangkal bahwa Tupperware pernah menjadi simbol status sekaligus jaminan mutu dalam rumah tangga. Daya tarik utama Tupperware terletak pada kualitas produk yang tahan lama, desain ergonomis, serta berbagai inovasi pada penutup dan sistem penyimpanan. Tak hanya itu, Tupperware juga menawarkan garansi seumur hidup yang membuat konsumen merasa aman dalam jangka panjang.
Keunggulan lain yang sangat membekas adalah sistem distribusinya yang berbasis penjualan langsung atau direct selling melalui agen. Konsumen bisa membeli langsung dari tetangga atau teman yang menjadi agen resmi, sekaligus mendapatkan penjelasan produk secara langsung. Pendekatan ini menciptakan rasa kedekatan emosional, bahkan membentuk komunitas yang kuat di antara para pengguna dan penjual.
Redaksi Fimela berkesempatan mewawancarai seorang perempuan inspiratif yang turut sukses dalam perkembangan bisnis Tupperware, yaitu Bu Julia Sarti (Senin, 14/04/2025) melalui aplikasi What's App. Beliau telah menjadi bagian dari perjalanan panjang Tupperware Indonesia.
Selama lebih dari tiga dekade, Bu Julia tak hanya menjadi saksi, tetapi juga pelaku aktif dalam perkembangan bisnis yang dikenal dengan produk rumah tangga berkualitas tinggi ini. “Saya mulai sejak 23 Maret 1993,” kenangnya. Maka dari itu, tak mengherankan jika kabar penutupan resmi Tupperware Indonesia setelah 33 tahun hadir di tengah masyarakat meninggalkan kesedihan mendalam. “Sedih sekali,” ucapnya menggambarkan betapa besar arti Tupperware dalam hidupnya.
Dalam perjalanannya, banyak momen berharga yang ia alami. Satu hal yang paling berkesan dan menjadi pencapaian luar biasa adalah saat ia bisa membantu para perempuan di Indonesia.
“Bisa membantu wanita Indonesia,” katanya dengan bangga. Bagi Bu Julia, Tupperware bukan sekadar menjual produk, tapi menjadi alat pemberdayaan perempuan.
Bisnis Tupperware telah memberikan ruang bagi lebih banyak perempuan untuk tumbuh, menjadi lebih percaya diri, mandiri secara ekonomi, serta membawa dampak positif bagi keluarga mereka.
Tak hanya itu, Bu Julia juga menilai bahwa kekuatan Tupperware terletak pada kualitas produknya yang sudah terbukti serta sistem bisnis yang menjanjikan. “Produknya bagus, bisnisnya bagus juga,” tuturnya. Gabungan antara produk yang tahan lama dan peluang usaha yang jelas membuat Tupperware dicintai dan bertahan lama di tengah masyarakat. Kelebihan tersebut menjadi alasan utama mengapa banyak orang khususnya masyarakat Indonesia begitu loyal terhadap brand Tupperware.
Selama menjadi agen, Bu Julia merasakan banyak perkembangan dalam dirinya, terutama dalam hal kepercayaan diri dan keterampilan komunikasi. “Berani tampil dan rayu rekrut orang-orang untuk ikut bisnis ini dengan menggunakan produk yang bagus untuk kesehatan kita semua dan mengubah orang menjadi lebih baik (secara) ekonomi dan keluarga,” ujarnya. Beliau terbiasa meyakinkan orang untuk mencoba produk Tupperware yang fungsional sekaligus berdaya guna secara ekonomi.
Salah satu pengalaman paling berkesan dalam kariernya adalah kesempatan jalan-jalan ke luar negeri dua kali setiap tahun—sebuah pencapaian yang ia raih dari hasil kerja keras dan dedikasi tinggi. Bagi Bu Julia, Tupperware bukan hanya soal bisnis, melainkan perjalanan hidup yang membentuknya menjadi perempuan yang sukses dan berdaya, bahkan bisa memberi dampak yang lebih positif untuk para perempuan Indonesia.
2. Model Penjualan yang Gagal Beradaptasi dengan Zaman
Sayangnya, sistem direct selling yang dahulu menjadi kekuatan Tupperware, justru menjadi salah satu penyebab utama kemundurannya. Dalam dokumen kebangkrutan yang diajukan secara global, disebutkan bahwa mayoritas konsumen masa kini lebih memilih belanja di toko fisik maupun platform daring. Hanya segelintir yang masih mengandalkan metode penjualan langsung.
Meski upaya digitalisasi sempat dilakukan, seperti mulai menjual produk di Amazon dan Target pada tahun 2022, mengutip artikel Lifting the lid on Tupperware’s troubles dari laman Reuters, hasilnya belum mampu mengejar penurunan drastis dari saluran penjualan tradisional.
Pada tahun 2023, sekitar 90% penjualan Tupperware masih bergantung pada sistem direct selling, yang sudah dianggap usang di tengah era digital yang berkembang pesat.
Advertisement
3. Kehilangan Daya Saing di Tengah Gempuran Kompetitor
Seiring berjalannya waktu, berbagai merek pesaing mulai bermunculan dan menawarkan produk dengan kualitas setara namun harga lebih kompetitif. Setelah beberapa paten Tupperware kedaluwarsa di era 1980-an, produsen lain seperti Rubbermaid dan Glad mulai masuk pasar dan mencuri perhatian konsumen. Di platform seperti Amazon, produk-produk pesaing ini justru memiliki jumlah ulasan yang lebih banyak dan harga yang lebih terjangkau.
Data pendapatan juga mencerminkan hal tersebut. Masih mengutip laman Reuters, antara tahun 2018 hingga 2022, pendapatan Tupperware anjlok dari $2,1 miliar menjadi $1,3 miliar. Sementara itu, pendapatan divisi Home Solutions milik Newell Brands, yang memproduksi Rubbermaid, justru meningkat dari $1,9 miliar menjadi $2,1 miliar. Ketertinggalan ini menunjukkan bahwa Tupperware gagal mempertahankan keunggulan kompetitifnya di tengah pasar yang semakin padat.
4. Penutupan Operasional
Sebagai bagian dari proses restrukturisasi, Tupperware mengadakan kesepakatan dengan para kreditur untuk menjual merek dan operasi mereka di beberapa pasar. Di negara dengan beban utang tinggi seperti Indonesia, perusahaan memilih untuk menghentikan operasional sepenuhnya.
CEO Tupperware, Laurie Ann Goldman, menyatakan bahwa langkah ini perlu diambil untuk menyelamatkan bisnis inti perusahaan agar tetap bertahan di pasar global.
Meski pahit, penutupan Tupperware di Indonesia menyisakan pelajaran berharga tentang pentingnya inovasi dan kemampuan beradaptasi dalam dunia usaha.
Advertisement
5. Alternatif Produk Pengganti yang Fungsional dan Andal
Walau Tupperware telah berpamitan, kebutuhan masyarakat akan wadah makanan yang berkualitas tentu tetap ada. Kini banyak brand yang menawarkan produk serupa dengan fitur yang tak kalah menarik. Di antaranya adalah Lock&Lock, yang dikenal karena sistem tutup kedap udara dan desainnya yang modern. Brand ini banyak diminati karena mudah ditemukan di berbagai pusat perbelanjaan dan platform online.
Selain merek internasional seperti Rubbermaid, Snapware, dan Pyrex yang dikenal dengan kualitas tinggi dan desain fungsional, pasar Indonesia juga semakin ramai dengan hadirnya produk lokal yang tak kalah bersaing. Merek-merek seperti Vicenza, Oxone, dan Lion Star perlahan tetapi pasti mulai mencuri perhatian konsumen Tanah Air berkat inovasi, harga yang lebih terjangkau, serta desain yang sesuai dengan kebutuhan rumah tangga lokal.
Kehadiran berbagai pilihan ini tentu menjadi kabar baik bagi konsumen, karena kini mereka bisa memilih produk berkualitas tanpa harus merogoh kocek terlalu dalam, sekaligus turut mendukung pertumbuhan industri dalam negeri. Pilihan yang bervariasi ini pun membuat masyarakat lebih fleksibel dalam memilih produk penyimpanan makanan yang sesuai dengan kebutuhan keluarga.
Sahabat Fimela, kita semua tentu akan merindukan kehadiran produk yang telah menjadi bagian dari rutinitas dan memori keluarga. Namun, jejak dan makna Tupperware tidak akan hilang begitu saja.
Terima kasih, Tupperware, atas 33 tahun yang penuh warna.