Sama seperti perempuan single lainnya, di usia yang sudah tak lagi remaja resolusi pertamaku tahun ini adalah menikah.

Peran yang akan saya lakoni telah bertambah, saya akan kedatangan bayi mungil yang membutuhkan ibu yang harus banyak belajar dan prosesnya tanpa henti.

Senyumnya mengembang saat tatapan kami saling beradu.

Untuk urusan pernikahan, aku yakin Tuhan punya waktu yang tepat mempertemukan aku dengan jodohku.

Saya ingin berperan aktif di masyarakat meski saya berstatus ibu rumah tangga.

Dokter pun bingung karena hasil CT SCAN-ku yang bertolak belakang dengan kondisi klinisku.

Menjadi mahasisiwa tingkat akhir menyadarkan saya bahwa sudah waktunya untuk serius menatap masa depan.

Dewasa tidak hanya menjadikanmu diri sendiri, namun lebih mengenai arti dirimu dengan orang lain.

Pada tahun 2018 lalu, aku sudah mendirikan yayasan yang resmi untuk melakukan berbagai project untuk anak-anak pulau.

“Ibu sayang aku apa tidak? Kok marah-marah terus?” Saya tercengang dan seketika kalimat itu menjadi tamparan keras bagi saya.

Sekarang teman–temanku sedang bekerja pada orang lain dan aku masih menganggur sambil mengetik tulisan ini.

Mendengar hal tersebut, mata saya tak bisa membendung tangis, jantung berdetak lebih kencang dari sebelumnya seakan-akan menjiplak di dada.