Punya Gangguan Jiwa, Yayoi Kusama Justru Jadi Seniman yang Mengguncang Dunia

Ahmad diperbarui 09 Mei 2018, 11:35 WIB

Jakarta Image: Getty

Tumbuh dan besar di keluarga konservatif Jepang membuat Yayoi Kusama harus rela menahan ambisinya menjadi seorang seniman. Pada saat itu di Jepang, memilih seniman sebagai profesi adalah pilihan kurang masuk akal, terlebih pada era 1940an, Jepang baru saja dilanda kekalahan Perang Dunia II, setelah Hiroshima dan Nagasaki kejatuhan bom atom Amerika Serikat. Lingkungan yang menekan tersebut berdampak kuat bagi psikis Yayoi Kusama yang rapuh.

Yayoi Kusama sejak kecil telah mengalami gangguan mental. Penyakit Rijinsho membuat alam bawah sadarnya selalu penuh halusinasi. Dalam benaknya, kerap tergambar aura di seputar objek yang dilihatnya dan dirinya selalu mendapati binatang yang berbicara.

Memanfaatkan keriuhan dalam halusinasinya, Yayoi Kusama merekamnya melalui gambar. Dengan cara itu, berkesenian menurut Yayoi menjadi sangat menyenangkan, selain juga menjadi terapi tersendiri bagi kondisi mentalnya.

Pengenalan dirinya pada dunia seni terjadi saat dirinya mempelajari nihonga, yaitu seni lukis khas negara matahari terbit. Namun seiring berjalannya waktu dan anggapan dirinya bahwa nihonga membatasi kreasinya, Yayoi memutuskan untuk berpaling pada gaya avant garde.

Meski menolak dikategorikan pada aliran seni rupa tertentu, Yayoi Kusama mengakui dan tertarik pada karya-karya seniman yang mengeksplorasi kencederungan mistis, seperti karya perupa Amerika Georgia O'Keefe. Hubungan dirinya dengan O'Keefe membuat Yayoi hijrah ke Amerika Serikat untuk belajar lebih jauh tentang pengkaryaan. Dirinya menganggap, Amerika Serikat adalah kiblat utama bagi seni rupa dunia.

Hijrah dan menetap di Amerika tepatnya pada era 1950an membuat Yayoi punya perspektif baru dalam karya-karyanya. Gaya yang tak beraturan, ketiadaan titik fokus, dan kerap mengabaikan struktur, menjadi ciri khas lukisan Yayoi yang tampaknya tidak berdiri sendiri, tapi menjadi objek yang saling berkaitan dengan lingkungan sekitarnya.

Pada Oktober 1959 dalam pameran tunggalnya di Amerika, Yayoi Kusama menampilkan lima lukisan putih di atas hitam. Pendekatan ini membawa arah baru yang berbeda dari Ekspresionisme Abstrak, serta menjadi antisipasi bagi perkembangan aliran pop.

Setelah kembali ke Jepang, pasca-reformasi ekonomi domestik dan masuknya industrialisasi yang mengubah wajah negara tersebut, Yayoi Kusama melihat adanya perubahan yang sangat besar di Jepang. Namun sayang, alih-alih ingin mendapat respons yang tepat, Yayoi Kusama justru mendapatkan tanggapan kritis atas karya-karya yang hanya bersifat komentar dangkal atas objek kajian, yang cenderung melihat Yayoi dari sisi psikologis dengan sikapnya yang cenderung eksentrik.

Pada 1977, Yayoi Kusuma pindah secara permanen ke sebuah rumah sakit jiwa di Tokyo dan membangun studionya sendiri. Pada kurun waktu itu, Yayoi memunculkan kembali motif-motif yang lama dia tinggalkan dalam membuat karya, antara lain polkadot, bunga, dan labu. Kini lukisan dan seni instalasinya berkembang mengelilingi para pencinta seni. Yang paling populer di kalangan penikmat seni global adalah karya Infinity Room, yang dibangun dari material kaca, panel kayu, lampu LED, akrilik, dan air.

Ibu Made Wianta, pengamat seni rupa yang juga istri dari maestro lukis Bali, Made Wianta, saat dihubungi Liputan6.com, Senin (8/5/2018) mengatakan, Yayoi Kusuma adalah seniman perempuan asal Jepang yang multitalenta. Dirinya bukan hanya seorang seniman kontemporer, tapi juga feminis artis yang karyanya bisa disejajarkan dengan seniman kaliber dunia.

“Menurut saya, karya-karya Kusama sangat mudah dikenali karena sangat minimalis berupa dots atau titik yang sangat banyak. Dia memberikan bentuk yang sangat sederhana, kemudian memberikan segala warna yang ada di dalam. Sehingga meski sederhana, tapi sangat kaya warna. Karya-karyanya yang cerah bisa dikategorikan sebagai pop art seperti Andy Wahrol,” ungkap Ibu Made Wianta.

Ibu Made Wianta juga mengatakan, karya-karya yang cenderung cerah tersebut tidak bisa secara gamblang dianggap sebagai seni pop, mengingat Kusama punya filsafat yang dalam dalam memilih dots sebagai objek utama pengkaryaan.

“Dia berpendapat kehidupan di bumi dimulai dari satu titik sel atau satu titik cahaya. Pamerannya yang bertemakan ‘The Soul of Million Light Years Away 2013' mampu menginspirasi Adelle untuk menyanyikan lagu ‘When We Were Young' di The Broad Museum of LA pada pameran di 16 Februari 2016,” kata Ibu Made Wianta. Yayoi Kusama di mata Ibu Made Wianta juga merupakan seniman feminis yang bisa disejajarkan dengan Frida Kahlo. Pameran di Hirshorn Washington DC ‘Infinity Mirror' 21 Februari 2017 dan Festival of Life, Infinity Mirror 18 November 2017 di David Zwimer New York menunjukkan kejeniusan Yayoi.

“Dinding ruang pamer ditutup cermin dan di tengah ruangan diletakkan beberapa box kubis yang terbungkus cermin sehingga karya dot yang digantung dan ditebar di ruangan saling memantul seperti ribuan bintang yang ada di galaxi semesta, ini jenius,” ungkap Ibu Made Wianta.

Jika mengira Yayoi hanyalah seniman sakit jiwa yang eksentrik, bisa jadi kita salah besar. Yayoi Kusama bagi Ibu Made Wianta bukan sekadar seniman, tapi juga aktivis yang benci perang.  

“Dia seperti Yoko ono, ikut dalam organisasi yang memprotes perang Vietnam. Kebenciannya pada perang dan rezim militer membawa dia ke Amerika, dan dia tahu ini takdirnya. Di Amerika dia mulai mengkampanyekan anti perang dengan menabur benih-benih perdamaian lewat beragam karyanya yang universal. Perjuangannya membuahkan hasil, karena dialah satu-satunya seniman Jepang yang diterima secara internasional. Misinya tentang perdamaian, kebahagiaan umat manusia didengar dan dibaca oleh semua orang yang mencintai seni dan perdamaian,” ujar Ibu Made Wianta.

Pencinta seni di Indonesia kini sangat beruntung, karya-karya Yayoi Kusama dari awal hingga saat ini sedang dipamerkan di Museum Seni Modern dan Kontemporer di Nusantara (MACAN), Jakarta Barat. Mengusung tema “Yayoi Kusama: Life Is The Heart of Rainbow”, pameran ini digelar mulai 12 Mei hingga 9 September 2018.


Reporter: Ahmad Ibo
Sumber: Liputan6.com

What's On Fimela