Ya, Baiklah... Saya Memang Bersalah...

FimelaDiterbitkan 23 Agustus 2010, 07:00 WIB
Vemale.com - Cosmopolitan
Resah gelisah, sudah pukul tiga pagi namun mata masih saja belum bisa dipejamkan. Memang biasanya seperti itu jika ada yang mengganjal di hati. Padahal bisa dibilang masalah tadi siang di kantor termasuk sepele. Beban pekerjaan sedang banyak, Anda sedang konsen untuk menyelesaikannya satu per satu. Tiba-tiba saja teman Anda yang memang gemar bikin guyonan melucu di depan orang banyak. Saking asyiknya, tanpa sengaja menumpahkan gelas kopi di meja Anda. Kata kuncinya adalah "tak sengaja", dan Anda tahu itu. Tapi, tetap saja Anda meledak. Tanpa basa-basi Anda membentak teman Anda itu di depan orang banyak. Semua jadi diam, runyam dan teman Anda langsung ke luar dari kantor dan tak terlihat batang hidungnya lagi hingga waktunya pulang. Anda coba menghubunginya, namun ponselnya tak diangkat dan pesan yang ditinggalkan juga tak ada tanggapan. Alhasil, Anda ditimbun rasa bersalah hingga dini hari. Jika diminta untuk menyebutkan satu saja rasa bersalah yang sedang dirasakan, bisa-bisa Anda malahan menjawab lima atau bahkan sepuluh buah. Entah mengapa, wanita memang paling sering didera rasa bersalah. Penelitian pada fungsi otak mengatakan kalau wanita punya tingkat intelegensia emosi lebih besar dibandingkan pria; mereka lebih cepat membaca gestur, ekspresi, plus tingkat emosi seseorang. Mungkin dari sini muncul istilah kalau wanita itu lebih sensitif dibandingkan pria. Semenjak kecil, Anda tentu rutin diberi "wejangan" untuk jadi wanita baik-baik. Artinya, punya tingkat toleransi yang tinggi, mendahulukan kepentingan orang lain terlebih dulu, selalu berbuat baik, dan sebagainya. Dengan begitu, kebanyakan wanita jadi berpikir, "Makin banyak saya memberi, makin saya menjadi seseorang yang lebih baik." Tak salah juga, sama sekali tidak salah. Hanya saja, hasil akhirnya jadi muncul perasaan bersalah dalam berbagai macam hal. Misalnya, bersalah karena tender kantor lepas begitu saja padahal itu merupakan kerja tim, merasa bersalah karena izin sakit padahal pekerjaan di kantor menumpuk, mengecewakan si dia karena tampil kurang cantik saat pernikahan temannya, tak tega meninggalkan si dia yang terlalu baik padahal hubungan sudah tak bisa dipertahankan, terlalu sibuk hingga ajakan kumpul dengan teman baik sering ditolak, dan banyak lagi. Tak peduli seberapa sepele atau beratnya sebuah kasus, rasa bersalah yang muncul tetap sama. "Wanita yang tenggelam di dalam rasa bersalah cenderung tipe wanita yang sering memberi, merasa bertanggung jawab atas semuanya, berdedikasi untuk memuaskan orang lain, dan gemar membantu," ungkap Susan Carrell, penulis ESCAPING TOXIC GUILT: FIVE PROVEN STEPS TO FREE YOURSELF FROM GULIT FOR GOOD! Dan, bukan hati saja yang terkena. Penelitian dari University of Hull yang diungkapkan pada konferensi British Psychological Society di Winchester membuktikan kalau rasa bersalah itu bisa menurunkan kemampuan imun tubuh untuk melawan penyakit. Apalagi jika rasa bersalah itu menyenangkan. Betul, tentu Anda juga punya yang namanya guilty pleasure, bukan? Makan cokelat saat stres dan mencari camilan tengah malam bisa jadi contoh yang sering bikin wanita merasa bersalah. Nah, daripada terus terjerumus hingga sulit untuk bangkit. Lebih baik cari tahu lebih dalam mengenai rasa bersalah lalu mulai menghilangkan rasa ini perlahan-lahan. Bingung caranya? Itu gunanya Cosmo ada di sini, teman! Memang Salah atau Tidak? Biasa disebut sebagai true guilt atau false guilt. Yang terakhir inilah yang paling sering dialami. Misalnya saja, karena Anda terlalu kritis terhadap diri sendiri atau ada seseorang yang membuat Anda merasa kurang percaya pada kemampuan diri. Hal-hal yang sebenarnya tak perlu Anda sesalkan, apalagi untuk sampai merasa bersalah, karena semua di luar kontrol Anda. CONTOH KASUS. Anda harus bertemu dengan klien pukul dua siang. Sudah berangkat lebih cepat dari sebelumnya, tapi apa daya. Ternyata ada kecelakaan mobil dan bikin jalanan macet total. Makin parah karena didukung dengan hujan lebat. Sampai kantor klien pakaian basah kuyup, telat, dan kertas presentasi jadi basah. Memang semua berjalan lancar, tapi Anda tak henti-hentinya menyalahkan diri sendiri karena telat sampai kantor klien. KEPUTUSAN: TAK BERSALAH. Teman, bahkan mereka yang bekerja di Badan Meteorologi dan Geofisika tak bisa memastikan 100% mengenai cuaca, apalagi jika bicara mengenai kecelakaan mobil di jalan. Anda tentu tak tahu apa yang akan terjadi, hanya bisa mengira-ngira. Jadi, ini bukan suatu hal yang musti Anda sesali, apalagi tenggelam dengan rasa bersalah. Masalahnya ini sebenarnya ada di dalam pikiran Anda, dan Anda harus belajar untuk melepaskan. Tak ada seorang pun yang sempurna. Bahkan teman kantor yang selalu tampil tanpa cela dari pakaian, performa, dan penampilan pun pasti punya kekurangan. "Don't spend time beating on a wall, hoping to transform it into a door." - Coco Chanel Jadi Bahan Kritikan Cosmo menyebut ini sebagai sebuah jebakan. Kadang akan makin sulit untuk menghilangkan rasa bersalah jika sepanjang hidup yang diterima hanyalah kritikan dari sana-sini. Jika hanya selewat saja sih tak masalah, namun banyak yang justru memutar kritikan pedas dan tak membangun itu di dalam kepala bak kaset rekaman. Lagi, lagi dan lagi. CONTOH KASUS. Anda baru saja tahu kalau si dia selingkuh. Ya, dengan teman baik Anda. Di antara sekian banyak orang, kekasih memilih teman dekat untuk dijadikan pelabuhan kedua. Begitu Anda tahu, kontan Anda kecewa dan marah pada pacar, juga teman Anda. Ironisnya, mereka malahan menyalahkan Anda akan kejadian ini. "Salah kamu sering lembur di kantor hingga waktu untuk berdua jadi berkurang. Kamu yang mengenalkan saya pada teman dan kami mulai jalan berdua. Ia bisa memberikan waktu yang kamu tak bisa berikan. Jangan salahkan saya. Kamu yang bersalah dalam hal ini," ujar si dia. KEPUTUSAN: TAK BERSALAH! Ada kalanya, seseorang merasa takut untuk terlihat "buruk" hingga ia bekerja ekstra keras untuk menyenangkan orang lain, memanipulasi mereka agar kemudian disukai dan tak terlihat "seburuk itu". Perasaan ini kemudian terus dikembangkan karena tuntutan dari sekeliling, hingga sampai pada saat Anda menerima apa adanya dengan tangan terbuka. Hei, ada banyak orang yang berpikir mereka tahu lebih apa yang terbaik untuk Anda, apa yang harus dan tak harus Anda lakukan. Jika memang baik, sarannya bisa diterima. Tapi jika tujuannya hanya untuk "menyetir" hidup Anda, untuk apa? Kebanyakan mereka menggunakan dalih "egois" untuk mengontrol seseorang hingga ia merasa bersalah. Jika Anda tak melakukan yang terbaik demi orang lain, maka Anda akan dicap sebagai seseorang yang egois dan tak berperasaan. Ingat, sayang. Jika kasus tadi di atas memang terjadi, bukan salah Anda sepenuhnya. Jika si dia memang benar-benar sayang dan sahabat tadi memang layak dianggap sebagai seorang teman dekat, mereka tak akan melakukan hal itu ke Anda, apapun alasannya. Cara terbaik untuk membalikkan tuduhan seperti ini adalah dengan bercermin dan mengatakan pada diri Anda, "Ada kalanya, saya berhak untuk merasa egois, dan saya bersyukur karena mengejar suatu hal yang memang sungguh saya inginkan, bukan karena orang lain." "The problem with love is, that you can love anyone you want, but so can he." - Anonymous. Jadi Mati Rasa Anda tak lagi punya rasa dan emosi karena semua sudah tertutupi oleh rasa bersalah. Bahkan, bisa-bisa hingga sampai mengasihani diri sendiri. Rasa bersalah bahkan bisa membuat buram perasaan yang sebenarnya Anda rasakan terhadap seseorang, sebagai dalih untuk menghindari rasa sakit. CONTOH KASUS. Anda sudah pacaran dengan si dia selama dua tahun lebih. Dengan dia, Anda berada di zona aman, karena ia bisa memberikan segalanya, baiknya bukan main! Namun, lama-lama perasaan Anda ke si dia mulai berubah. Namun, Anda tetap berada di dalam hubungan itu, bukan lagi karena cinta, tapi karena balas budi dan kasihan. Dan ini, layaknya menaruh rasa bersalah di kedua punggung hingga tiap langkah akan makin terasa berat. KEPUTUSAN: TAK BERSALAH. Tak ada yang bisa mengatur perasaan seseorang. Tak seperti ilmu pasti, hati tak bisa dikontrol dan ditebak maunya ke arah mana. Baik seperti contoh kasus di atas, atau misalnya, hasrat untuk terus bekerja di perusahaan yang sama padahal hati Anda sudah berada di tempat lain. Nah, hal-hal seperti ini hanya akan menambah beban dan makin membuat Anda terpuruk dengan rasa bersalah. Dan satu-satunya jalan adalah dengan menyelesaikan secepatnya agar tak berlarut-larut. Anda sudah tahu hasil akhirnya seperti apa, dan yang dibutuhkan di sini adalah keberanian. Coba tanya diri Anda dan lihat dari perspektif yang lain. Apa yang akan terjadi jika Anda memutuskan hubungan dengan si dia secara baik-baik dan mulai bertindak sesuai apa yang ingin Anda lakukan, bukannya apa yang mesti dilakukan. Makin ditunda, Anda akan makin termakan oleh rasa takut yang diciptakan oleh pikiran. "Nanti akan jadi begini, nanti akan jadi begitu." Padahal, bisa jadi kenyataannya, tak melulu seperti itu. Rasa takut imajiner ini hanya akan menghabiskan energi dan bikin Anda makin lemah, dan terus merasa bersalah. Lagi-lagi, tak ada orang yang sempurna, pasti pernah berbuat salah dan menyakiti orang lain, baik sengaja maupun tak sengaja. Dan jika Anda sudah tahu apa yang ada di dalam hati Anda, yakin dengan keputusan tersebut, saatnya untuk melanjutkan hidup, bukan? "It is better to have love and lost than never to have loved at all." - Alfred Lord Tebbyson Mesin Waktu Jika yang mengikuti kemana pun Anda pergi adalah seorang aktor tampan seperti Johnny Depp sih tak masalah. Namun yang terus jadi bayangan malahan rasa bersalah. Suatu hal yang pernah Anda lakukan di masa lalu namun masih saja Anda merasa menyesal hingga sekarang. Kasus paling sering jika Anda masih belum bisa menerima sebuah kenyataan yang terjadi di masa lalu hingga saat ini. CONTOH KASUS. Anda berhasil memperoleh beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S2. Suatu hal yang memang dari dulu Anda inginkan, namun itu sebelum Anda bertemu dengan sang kekasih. Jatuh cinta, selalu ingin berdekatan, hingga kesempatan untuk beasiswa Anda tolak tanpa berpikir panjang. Dan dalam hitungan bulan, Anda bertengkar dengan kekasih, dan hubungan putus di tengah jalan. Hingga kini, rasa bersalah menolak beasiswa terus menerus menghantui. KEPUTUSAN: TAK BERSALAH. Rasa bersalah yang terjadi di masa lampau memang paling sering muncul. Kini, Anda harus berdamai dengannya, atau rasa bersalah tak akan pernah hilang sampai kapanpun. Apa yang sudah terjadi tak pernah bisa diulang lagi. Jadi rasa bersalah yang muncul itu hanya sia-sia saja dan hanya menghabiskan energi dan tenaga saja. Anda sekarang hidup di masa sekarang, dan yang bisa diubah adalah masa depan dengan kerja keras yang dilakukan sekarang. Sudahlah, waktu itu Anda mungkin sedang jatuh cinta dan yang hanya ingin dekat dengan mantan kekasih. Tak ada pikiran sedikitpun kalau hubungan Anda dengannya akan berakhir. Hei, hidup itu penuh misteri dan banyak kejutan. Jadi jalankan dengan penuh senyum dan langkah ringan! "Don'r cry because it's over. Smile because it happened." - Dr. Seuss Hilangkan dengan Imajinasi Duduk di kursi yang nyaman dan tutup mata Anda. Hitung dari lima hingga satu, lalu bayangkan Anda menuju ke kulkas dan mengambil sebutir telur. Bayangkan Anda sedang memegang telur tadi dan mulai mengingat kembali hal-hal yang pernah bikin Anda merasa bersalah. Biarkan diri Anda ditelan rasa bersalah pelan-pelan. Sudah? Gunakan imajinasi dan transfer semua rasa bersalah tadi ke dalam telur tersebut. Semua rasa bersalah mengalir ke dalamnya. Setelahnya, Anda ke arah tempat cuci piring, pecahkan telur, dan lihat isinya terbuang pelan-pelan. Enyahkan Sekarang Juga Tarik napas dan hembuskan rasa bersalah itu ke luar dari tubuh. 1. Berpikir ulang. Jika Anda memang merasa bersalah karena melakukan sesuatu (berdasarkan pemikiran Anda sendiri, bukan tuduhan dari orang lain) coba ingat kembali kejadiannya. Jika melibatkan orang lain, kumpulkan semua keberanian dan katakan dengan tulus kalau Anda benar-benar menyesal. Lapangkan dada dan terima kenyataan dengan fearless. 2. Cari tahu asalnya. Jika dari orang lain, tanyakan lagi sesempurna apakah sosok tersebut? Ya, tak sesempurna itu. Kalau perlu, bikin daftar ketidak sempurnaannya. Dia tak punya hak untuk "menghakimi" Anda, karena diri Anda, pribadi Anda, milik Anda seorang. 3. "Harus". Jika rasa bersalah muncul, hentikan permainan, "Saya seharusnya seperti ini, seharusnya melakukan itu..." Dengan begitu Anda hanya punya ekspektasi tak realistis dari diri Anda. Plus, akan ada mereka yang berkata, "Saya tahu saya tak terlalu penting di kehidupan Anda," atau, "Serius tak ingin pulang sekarang?" Dan banyak lagi. Nasihat dan saran dari mereka tentu saja mesti didengarkan. Tapi keputusan akhir tetap ada di tangan Anda. 4. Rendah diri. Jangan pernah menyebut rendah diri sendiri. "Mengapa saya bisa begitu bodoh, jika saya bisa lebih pintar, tak percaya saya baru saja melakukan itu!" Coba untuk ungkapkan kalimat tadi dengan penggunaan bahasa positif, "Ya, mungkin saya tadi itu salah. Tapi saya jadi punya pengalaman berharga." [initial] Source: Cosmopolitan, Juni 2009, halaman 216 Provided by:
(Cosmo/meg)
What's On Fimela