Mengharapkan Simpati Orang Lain Takkan Menyelesaikan Masalah Apapun

Fimela diperbarui 22 Mar 2018, 13:00 WIB

Setiap wanita punya kisah hebatnya masing-masing. Banyak inspirasi yang bisa didapat dari cerita seorang wanita. Seperti tulisan dari sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Rayakan Hari Perempuan Sedunia ini.

***

Seringkali saya mendengar kata ‘impossible’ dimodifikasi menjadi ‘I’m possible’. Suatu ironi dan kontradiksi. Kata yang aslinya bermakna ‘tidak mungkin’ diubah menjadi ‘saya bisa melakukannya’. Dalam hidup, selalu ada saja berbagai episode kemustahilan yang berakhir dengan kemenangan. Di saat diri sudah menyerah, hidup menunjukkan bahwa segala sesuatu itu mungkin. Yang buruk bisa menjadi baik dan yang sulit dapat berubah mudah. Atau setidaknya, mungkin untuk dijalani.

Tulisan ini adalah kisah nyata mengenai saya. Mengenai hidup dengan segala perjuangannya untuk mengubah kemustahilan menjadi sesuatu yang mungkin untuk dijalani. Sepanjang perjalanan yang berharga ini, saya belajar untuk bersyukur, melepaskan, menerima ketidaksempurnaan, dan memaafkan.  

Tentang keluarga. Saya mengandung beberapa bulan setelah saya menikah. Kaget, senang, deg-degan campur jadi satu. Sanggupkah saya menjalani kehamilan pertama ini dengan senang hati? Bisakah saya melahirkan seorang bayi ke dalam dunia ini? Dapatkah saya menjadi seorang ibu yang baik? Banyak pertanyaan dan keraguan dalam benak saya ketika itu. Bulan pertama dan kedua saya jalani dengan berat. Tidak bisa makan, sering muntah, badan rasanya lemas, belum lagi kondisi mental yang drop dengan segala perubahan hormon yang terjadi.



Memasuki bulan ketiga, kondisi fisik saya berangsur-angsur membaik. Saya mulai bersemangat menjalani kehamilan ini. Lalu tiba hari itu, hari untuk kontrol rutin ke dokter. Tidak seperti sebelumnya, hari itu dokter cukup lama memeriksa kandungan saya. USG lalu memeriksa detak jantung janin. Saya mulai cemas, ada apa ini? Setelah sekian menit mencari detak jantung janin, dokter berpaling kepada saya. “Detak jantung janin tidak terdeteksi,” katanya. Bagai disambar petir di siang bolong, saya tertegun. Tidak ada kata yang keluar dari mulut saya. Dokter menyarankan untuk USG di RSCM keesokan harinya.

Malam itu sepanjang perjalanan pulang saya hanya terdiam. Bermain dengan pemikiran saya sendiri. Sejuta tanya dalam benak. Kenapa? Pelan-pelan air mata mengalir di pipi, makin lama makin deras, sampai akhirnya saya histeris. Suami saya hanya bisa diam dan mengelus punggung saya. Dia juga pasti merasa kehilangan. Esoknya, setengah berharap ada keajaiban, saya berangkat ke RSCM. Tidak berapa lama setelah USG, hasil saya terima. ‘Kematian mudigah’ tertulis di secarik kertas kecil itu. Hari-hari selanjutnya berlalu cepat. Pendarahan, ke rumah sakit, proses kuretase. Rasanya hampa. Seperti ada sesuatu yang diambil dengan paksa dari tubuh saya. Kehilangan bagian diri.

Terkadang saya menangis, terkadang hanya diam. Tanya ‘mengapa’ selalu menari dalam hati. Seleksi alam, kata dokter. Bukan salah kamu. Tapi tetap saya berpikir, apa yang saya lakukan sampai ini terjadi. Belum lagi komentar beberapa orang (yang katanya) dekat, yang sepertinya menyalahkan saya akan kejadian ini. Terlalu capek, kebanyakan jongkok mengurus murid (saya bekerja sebagai guru playgroup saat itu), dan berbagai komentar lain yang semakin membuat saya down. Rasanya ingin teriak, saya yang memiliki tubuh ini, saya yang mengandung, saya yang paling kehilangan. Teganya kalian berkomentar seperti itu. Namun kemarahan, kekecewaan, emosi negatif sebesar apapun tidak akan mengubah keadaan.



Saya punya dua pilihan. Terus berkubang dalam kesedihan atau berhenti menangis dan berjuang untuk hidup lagi. Seiring berjalannya waktu, saya belajar melepaskan. Menerima ini sebagai rahasia Ilahi. Berhenti bertanya mengapa karena saya tidak akan mendapat jawabnya. Bangkit menjalani hidup kembali. Menata kembali hati dan segala kehilangan yang saya rasakan. Dan di saat yang tepat, Sang Maha Kuasa menganugerahkan dua anak luar biasa untuk saya. I’m possible.

Tentang pekerjaan. Dalam perjalanan karier saya, suatu waktu saya mendapatkan promosi. Kepercayaan dan kesempatan yang sangat baik untuk menuangkan konsep dan ide-ide saya di tempat kerja. Saya memulai dengan idealisme tinggi, dengan semangat membara dan keinginan yang kuat untuk mewujudkan visi. Pasti hasilnya baik, saya membatin. Setengah perjalanan, semua terlihat berjalan dengan lancar. Kendala ada tapi dapat diatasi. Saya punya atasan yang mendukung penuh dan rekan-rekan kerja yang efektif dalam bekerja.



Tiga perempat perjalanan, saya masih bersemangat. Beberapa konsep dan ide telah terealisasi. Masih banyak yang dapat dilakukan. Menuju akhir kontrak, tiba-tiba saya mempunyai perasaan tidak enak. Saya mulai khawatir akan masa depan karir saya. Saya melihat ke belakang, apakah ada hal-hal yang saya lakukan yang tidak berkenan bagi orang-orang tertentu yang notabene adalah penguasa saat itu? Tapi atasan saya langsung terus mendukung dan membela saya. Nothing to worry about, I thought.

Tibalah hari itu, hari evaluasi kerja saya. Rapat besar atasan saya dengan pimpinan. Sampai malam di hari itu tidak ada kabar. Perasaan saya semakin tidak enak. Ada apa ini? Esoknya saya temukan jawabnya. Hasil rapat alot malam sebelumnya berakhir dengan keputusan saya diturunkan dari posisi saya saat itu. Atas dasar alasan yang tidak masuk logika saya atau atasan saya. Like and dislike. Itulah kekuasaan. Yang berkuasa yang menentukan. Argumentasi sekuat apapun tidak akan bisa mengubah keputusan. Saya diturunkan dan diberi posisi yang ‘biasa’.

Atasan saya masih mencoba memperjuangkan posisi saya dengan data dan argumentasi yang akurat. Nihil. Kenyataan pahit yang harus diterima. Saat saya sudah mencurahkan pikiran, tenaga, dan kemampuan yang saya miliki sepenuhnya, apa yang akhirnya saya terima? direndahkan, tidak dihargai, dan ‘dibuang’. Tidak ada alasan untuk menghentikan kontrak saya, karena tidak ada kesalahan yang saya lakukan. Dari segi kompetensi pun tidak ada cela. Yang bisa mereka lakukan hanyalah menurunkan posisi dan mematikan potensi saya. Tidak bisa disangkal, keadaan ini sangat menjatuhkan mental saya.

Saya mulai mempertanyakan diri saya sendiri, maybe I am not good enough. Mungkin selama ini yang saya punya hanya idealisme belaka. Mungkin saya memang layak untuk diturunkan. Kejatuhan mental saya mulai berdampak ke fisik. Saya mulai sering sakit. Perut, kepala, kulit. Semua area sumber gangguan psikosomatis. Saya tidak punya passion lagi, bekerja hanya merupakan rutinitas, saya tidak mempercayai kemampuan diri. Pukulan kegagalan yang telak dan berat.



Hidup terus berjalan. Tidak ada yang berhenti untuk bersimpati pada keadaan saya. Kembali waktu berperan besar dalam perjuangan saya untuk bangkit. Saya belajar membuka mata, untuk bersyukur dengan apa yang saya punya. Saya tidak punya posisi itu lagi, tapi setidaknya saya masih punya pekerjaan. Masih ada sumber penghasilan.

Saya masih punya keluarga, suami dan anak-anak yang baik yang mencintai saya apa adanya. Saya belajar menerima kegagalan, menjalani ketidaksempurnaan, memberikan kesempatan untuk hati saya pulih. Saat saya menulis cerita ini, saya masih berjuang dalam hal ini. Untuk sepenuhnya mengembalikan kepercayaan diri saya. Untuk percaya bahwa jika saya bekerja keras suatu saat akan ada lagi kesempatan terbuka. I’m possible.

Tentang persahabatan. Sejak kecil, saya adalah orang yang ramah. People person. Selalu banyak orang di sekitar saya. Saya mudah bergaul, karena itu saya mempunyai banyak teman, bahkan banyak sahabat. Orang-orang istimewa yang saya temui dalam perjalanan hidup yang saya percayai 100%. Persahabatan yang sudah melalui ujian waktu. Yang teguh bertahan sampai tahunan. Sampai saat ini saya masih diberi anugerah untuk memiliki beberapa jalinan persahabatan istimewa. Tapi beberapa gugur di tengah jalan.

Pernah saya bersahabat dengan dua perempuan yang usianya jauh di bawah saya. Selama beberapa tahun hubungan kami bertiga sangat dekat dan spesial. Saya adalah tempat mereka bercerita, meminta saran. Karena usia saya jauh di atas mereka, mereka menganggap saya kakak. Hampir setiap hari kami berkomunikasi. Then things happened.



Lambat laun komunikasi kami mulai jarang. Bertepatan dengan kejatuhan karier saya, saya mulai menarik diri. Tidak ada lagi hal yang bisa saya share karena saya merasa gagal. Lalu kesibukan tambah menghalangi komunikasi kami. Kami berhenti berbicara. Perlahan semakin menjauh. Saat saya sadar ada yang hilang, saya berusaha mendekati mereka lagi. Namun tidak ada hasil. Mereka tetap bersahabat satu sama lain, hanya kali ini saya tidak ada dalam gambar yang sama.

Di momen kehidupan yang lain, saya pernah mempunyai seseorang yang dekat dengan saya. Persahabatan ini pun terjalin selama beberapa tahun. Singkat kata, dia akhirnya memilih untuk dekat dengan orang-orang yang tidak menyukai saya, menjadi sahabat mereka dan meninggalkan saya. Mungkin saya memang tidak cukup baik untuk menjadi sahabat mereka. Tidak apa-apa.

Saya belajar untuk tidak memberikan kepercayaan saya sepenuhnya pada orang lain. Mengerti bahwa pada satu titik, manusia yang memang pada dasarnya tidak sempurna, pasti akan mengecewakan. Saya harus selalu siap dengan orang-orang yang memilih untuk tidak menjadikan saya bagian dari hidupnya. Itulah hidup. I’m possible.

Tentang hidup. Perjuangan adalah bagian tak terpisahkan dari hidup. Saat kita berada di atas, kita berjuang untuk tetap bersyukur dan rendah hati. Tiba gilirannya kita berada di titik terendah dalam hidup, perjuangan kita adalah untuk bangkit dan percaya bahwa masih ada hari-hari baik di depan sana. Hidup memiliki cara untuk membuat kita merasa kecil dan tidak berarti. Saat kita merasa seperti itu adalah saat yang tepat untuk tenang dan mendengarkan suara kecil dalam diri itu berbisik, ‘I’m possible’. (RMP, Maret 2018)




(vem/nda)
What's On Fimela