Bundaku, Sang Tukang Ojek Online

Fimela diperbarui 26 Mar 2018, 09:30 WIB

Setiap wanita punya kisah hebatnya masing-masing. Banyak inspirasi yang bisa didapat dari cerita seorang wanita. Seperti tulisan dari sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Rayakan Hari Perempuan Sedunia ini.

***

“Ribuan kilo jalan yang kau tempuh, lewati rintangan demi aku anakmu.
 Ibuku sayang masih terus berjalan, walau tapak kaki, penuh darah penuh nanah.
Seperti udara kasih yang engkau berikan.
Tak mampu kumembalas Ibu.”
(Ibu oleh Iwan Fals)

Air mataku terus menetes, perlahan dan semakin deras, sederas hujan di senja itu. Lagu Iwan Fals yang sayup-sayup terdengar dari rumah tetanggaku, membuat nestapa semakin menyesak di dada. Berulang kali aku menengok jendela, namun sosok pahlawan yang kunanti belum datang juga. Pahlawanku itu adalah Bundaku, yang sore hingga menjelang magrib ini masih menyusuri deru jalanan ibukota sebagai pengendara ojek online.

Dua tahun yang lalu, Ayah dipanggil Tuhan untuk kembali ke haribaan-Nya, karena komplikasi penyakit gula yang telah dideritanya sejak tujuh tahun yang lalu. Hari itu aku lihat mata Bunda, bahkan mukanya basah oleh deraian air mata, namun tangis Bunda tak bersuara, matanya terus menatap kami, seakan meminta agar kami tegar, “Bersabarlah anak-anakku, ini episode hidup yang harus dijalani.”



Sebuah babak memilukan yakni Ayah pergi meninggalkan Bunda dan kami bertiga yang masih duduk di bangku sekolah menengah dan sekolah dasar. Ayah pergi tidak meninggalkan apapun. Beliau adalah karyawan serabutan di berbagai rumah makan yang gaji bulanannya hanya cukup untuk bertahan hidup dua atau tiga minggu. Namun demikian kami masih bersyukur, ada sepetak rumah warisan nenek tempat kami bernaung, meski jauh dari kata sederhana sekalipun.

Hari demi hari, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun berlalu. Bunda pun mengambil alih peran pencari nafkah dalam keluarga. Bunda mencoba mengais rupiah dengan berjualan kue, menerima pesanan gorengan, menjadi tukang masak bila tetangga memerlukan, bahkan Bunda bisa mengantar jemput anak sekolah. Aku sering tak tega melihat Bunda membanting tulang seperti itu. Tapi inilah hidup, anugerah Tuhan yang harus dijalani.

Benar sekali rezeki datang dari arah tak disangka, proposal yang diajukan Tante untuk bantuan pendidikan anak yatim, telah membuahkan hasil. Kami mendapat santunan pendidikan sebesar Rp 1.500.000 dari pengurus masjid di komplek perumahan dekat rumah kami. Bunda lagi-lagi meminta maaf, karena telah mengambil sejumlah dana bantuan itu untuk membayar tagihan listrik yang telah menunggak dua bulan serta memperpanjang STNK. “Ya Tuhan, ringankanlah beban kami, semoga kami bisa melewati jalan terjal hidup ini dengan pertolonganMu, wahai Tuhan yang Pengasih dan Penyayang,” doa yang senantiasa kupanjatkan setiap waktu.

Di sekolah, aku sering terbayang wajah Bunda yang berdebu tanpa riasan, dibalut jaket berlogo ojek online dengan sepatu butut dan helm, harus berjibaku dengan macetnya ibukota, berebut jalan dengan para pengendara motor lain yang terlihat ganas, tanpa mengetahui bahwa pengendaranya seorang perempuan, karena tertutup helm. Belum lagi menghadapi penumpang yang kadang rewel dengan pelayanannya; salah rute, kurang lincah, lambat, atau komplain lainnya. Dan lagi-lagi air mataku menetes. Bunda, aku berjanji, akan berjuang untuk kesejahteraan keluarga, untuk adik-adik. Bunda tak perlu bekerja sekeras itu lagi, tekadku dalam hati.



Memang usia Bunda sudah tak lagi muda. Beliau sering terlihat lemas dan pucat, bahkan tiba-tiba terhuyung hingga jatuh. Saya meminta beliau beristirahat, biarlah kita makan dari hasil memberi les privat Matematika dan IPA yang saya dapat dari tetangga yang anaknya akan ujian. Namun Bunda bersikeras untuk lanjut mengojek. Beliau selalu mengatakan, "Ibu tidak sakit Nak, hanya lelah biasa." Begitu tampak kuat, beliau langsung berangkat.

Roda zaman terus berputar, sumbu hidup terus diburu, berpacu dengan waktu. Genaplah enam tahun Bunda menjadi penarik ojek online. Bidik misi dan beasiswa selalu menjadi impian kami meraih mimpi. Akhirnya saya bisa mempersembahkan sebuah toga sarjana kepada Bunda dan alhamdulillah telah bekerja meski jauh di luar pulau.

Gaji yang kuperoleh di bulan-bulan awal, telah menyulap bagian depan rumah petak kami menjadi warung nasi. Aku tenang Bunda sekarang bisa bekerja di rumah dan pendidikan adik-adik pun terus berlanjut. Kerja keras, semangat, dan kejujuran yang dicontohkan Bunda seorang janda, begitu melekat dalam hidupku. Tak pernah kudapatkan kata-kata yang mampu menerangkan perjuangannya. Dalam doa selalu kulantunkan agar Tuhan melindungi Bundaku yang perkasa dalam meraih asa.

“Seperti udara kasih yang engkau berikan,
Tak mampu kumembalas Bunda."




(vem/nda)