Perempuan Sulung Punya Naluri Besar Jadi Pelindung Keluarganya

Fimela diperbarui 29 Jun 2018, 18:45 WIB

Kadang dalam hidup ini, perempuan punya peran istimewa sebagai seorang penjaga. Meski kadang ujian hidup begitu berat tapi seorang perempuan bisa begitu tangguh menjalaninya. Seperti kisah sahabat Vemale dalam Lomba Menulis #JagainKamu ini. Ada cerita yang begitu menyentuh hati di dalamnya. Lomba menulis kali ini dipersembahkan oleh Softex Daun Sirih, yang selalu #JagainKamu para perempuan Indonesia.

***

Masyarakat terkadang membentuk suatu aturan khusus tentang bagaimana seharusnya seseorang berperilaku. Seorang anak laki-laki tak boleh menangis, harus kuat karena nantinya jadi pemimpin, anak bungsu wajar untuk manja dan bergantung dengan orang lain dalam keluarga, ini seharunya begini, begitu, dan lain sebagainya. Kadang ketika apa yang kita lakukan lari dari “jalurnya”, hukuman sosial pun harus siap kita terima, entah hanya dalam bentuk cemoohan atau yang lebih ekstrim pengucilan dan diskriminasi.

Entah karena hidup di masyarakat yang demikian atau memang muncul dari dalam diri sendiri, aku tumbuh menjadi seorang anak perempuan dengan sifat-sifat yang memang sering dikaitkan dengan seorang anak sulung. Naluri melindungi terlalu besar, bahkan aku terbiasa menjadi dinding pelindung untuk adik bungsuku.



“Cuma aku yang boleh buat kamu nangis," ucapku padanya diselingi tawa canda. Entah kenapa rasanya aku siap untuk menukarkan kebahagiaanku sendiri untuk keberlangsungan hidup ibu, bapak, dan adikku itu. Terlalu berlebihan mungkin, aku tahu di luaran sana banyak anak sulung yang lebih segala-galanya daripadaku, tapi itulah yang kurasakan.

Masa kecilku kujalani dengan lancar hingga peristiwa itu terjadi. Rutinitas cuci darah bapak merenggut nyawanya dari kami. Hidup pun mulai berubah tanpa kehadirannya. Sesekali kuintip ibu yang menangisi kasur ayah di kamar mereka, pedih yang kurasa. Komunikasiku dengan ibu pun kian memburuk, entah kenapa ada rasa dingin dan kaku saat aku berdua saja dengan ibu. Kami memang dari dulu tidak terlalu dekat, ada perasaan jika ibu lebih ingin dekat dengan adik laki-lakiku si anak emas.



Setahun setelah ayah pergi, sifat asli dari saudara-saudaranya pun mulai terlihat. Mereka berunding untuk menjual rumah nenek dengan alasan tidak ada lagi uang untuk biaya sehari-hari dari nenek. Seorang ibu bisa menghidupi 9 orang anaknya, tapi 9 orang anak belum tentu bisa mengurus 1 orang ibu, pepatah ini benar adanya terjadi di depan mataku. Mereka memaksaku dan ibu untuk turut menandatangani surat untuk menjual rumah itu yang tentunya kami tolak dengan mentah-mentah. Bapak pernah berpesan hendaknya nanti nenek ketika meninggal bisa diberangkatkan dari rumahnya sendiri, tunggulah sampai nenek tidak ada baru mereka bisa menjual rumah itu.

Ibu yang memang tak ingin ribut hanya bisa menangis, aku tentu tidak bisa diam. Kutentang mereka dengan kata-kata yang mungkin tidak pantas keluar dari mulut seorang keponakan.



Setelah kejadian itu, besar tekadku untuk tumbuh menjadi seorang yang bisa menggantikan peran bapak untuk melindungi ibu dan adik karena aku tahu bahwa kini kami tidak punya siapa-siapa lagi yang bisa diandalkan. Selama kuliah k coba untuk mencari beasiswa-beasiswa yang bisa meringankan beban ibu. Perkuliahan adik pun aku yang mengawalnya mulai dari mendaftar hingga sekarang ia duduk di semester akhir.

Aku memang belum bisa berbuat banyak, tapi percayalah, Pak. Tak akan kubiarkan siapapun menyakiti mereka. Bapak bisa mengandalkanku dan tersenyum dari surga. Anak perempuanmu ini bisa kok Pak menjadi wakilmu.

(vem/nda)
What's On Fimela