7 Sikap yang Membantumu Melewati Beratnya Kehidupan

Endah WijayantiDiterbitkan 04 April 2025, 09:45 WIB

Fimela.com, Jakarta Tidak ada satu manusia pun yang mampu menghindar dari kerikil tajam di jalan hidupnya. Kadang jalur terasa mulus, kadang terjal, tak jarang juga semak berduri memaksa kita berhenti.

Sahabat Fimela, yang sering terlewat disadari adalah: bukan kondisi di luar diri yang menentukan seberapa kuat kita berjalan, melainkan bagaimana kita berdialog dengan diri sendiri saat dunia terasa berat. Banyak yang sibuk mencari jalan pintas untuk melompati masalah, padahal yang sebenarnya kita butuhkan adalah seperangkat sikap mental yang membuat langkah tetap tegap.

Bukan karena hidup menjadi mudah, melainkan karena kita sendiri yang menjadi tangguh. Di bawah ini, ada tujuh sikap yang tidak hanya menguatkanmu saat badai menerjang, tetapi juga menajamkan perspektifmu dalam menjalani hidup.

What's On Fimela
2 dari 8 halaman

1. Mengutamakan Kebijaksanaan daripada Reaksi Spontan

Menyikapi kehidupan./Copyright Fimela 

Sahabat Fimela, banyak orang terjebak pada reaksi otomatis saat menghadapi kesulitan. Marah, mengeluh, menyalahkan. Semua terasa wajar, namun justru itulah yang diam-diam menguras energi. Mengasah kesadaran diri menjadi seperti menyalakan senter di tengah kabut: kita tetap bisa menavigasi, meski jalan belum jelas.

Saat kesulitan menghampiri, daripada langsung bereaksi, tarik napas, dan beri ruang sejenak. Sikap ini memberi waktu bagi logika untuk ikut bicara sebelum emosi menguasai. Bukan berarti menekan perasaan, melainkan memberi porsi yang tepat antara rasa dan nalar.

Kebiasaan sadar diri ini melatih ketahanan mental. Lama-kelamaan, Sahabat Fimela akan terbiasa menghadapi tantangan tanpa terburu-buru hanyut dalam arus kekacauan. Kita menjadi nahkoda bagi pikiran sendiri.

3 dari 8 halaman

2. Tidak Terlalu Percaya Narasi Pikiran yang Negatif

Bahagia./Copyright Fimela - Guntur Merdekawan

Sering kali, beratnya hidup bukan terletak pada fakta, melainkan cerita yang pikiran kita bangun tentang fakta itu. “Aku gagal,” “Semua melawan aku,” atau “Aku tak akan bisa keluar dari ini.” Pikiran cenderung hiperbola, membesar-besarkan kenyataan.

Sahabat Fimela, belajar skeptis pada narasi pikiran adalah sikap yang tak banyak disadari kekuatannya. Alih-alih langsung memercayai tiap bisikan pikiran, ajukan pertanyaan: apakah benar seperti itu? Apakah ada sisi lain yang terlewat?

Dengan mempertanyakan narasi internal, kita mematahkan kebiasaan menghakimi diri sendiri. Beban hidup tetap ada, tetapi tidak lagi diperparah oleh cerita-cerita yang tak berdasar. Kita bisa lebih objektif, jernih, dan akhirnya lebih ringan melangkah.

4 dari 8 halaman

3. Menganggap Rasa Lelah sebagai Jeda, Bukan Titik Akhir

Sikap dalam hidup./Copyright Fimela - Adhib Mujaddid

Saat energi terkuras, banyak yang mengira itu tanda menyerah. Padahal lelah hanyalah sinyal, bukan garis akhir. Sahabat Fimela, mengubah cara pandang terhadap rasa lelah adalah salah satu sikap yang membuat perjalanan panjang tetap bisa dinikmati.

Lelah menunjukkan bahwa kita telah berusaha. Bukan tanda kekalahan, melainkan undangan untuk menata ulang ritme. Istirahat bukan berarti mundur, melainkan bagian dari strategi bertahan.

Sikap ini membantu menghindarkan kita dari jebakan overthinking yang muncul saat tubuh dan pikiran tidak sinkron. Dengan memberi ruang bagi lelah tanpa menganggapnya kelemahan, kita jadi lebih bijak menjaga stamina mental dan fisik.

5 dari 8 halaman

4. Tidak Terlalu Mematok Standar dari Luar Diri

Senyum./Copyright Fimela - Guntur Merdekawan

Sahabat Fimela, sering kali hidup terasa berat karena standar yang kita adopsi berasal dari ekspektasi luar. Dari keluarga, teman, media sosial, hingga lingkungan kerja. Kita sibuk menyesuaikan, hingga lupa mendengar suara hati sendiri.

Mengembangkan sikap yang sadar batasan diri membuat kita terhindar dari tekanan yang tak perlu. Bukan berarti mengabaikan masukan orang lain, tapi menyeleksi mana yang benar-benar relevan dengan tujuan pribadi.

Ketika standar hidup diatur oleh kompas internal, tekanan dari luar tak lagi menguasai. Kita tetap bisa bergerak maju tanpa terus-menerus merasa tertinggal atau gagal memenuhi harapan yang tidak pernah benar-benar kita setujui.

6 dari 8 halaman

5. Memahami bahwa Ada Hal-Hal yang Berada di Luar Kendali Diri

Menyikapi kehidupan./Copyright Fimela - Risang Abel

Kecenderungan ingin mengendalikan semua hal justru membuat hidup terasa berat. Sahabat Fimela, sikap menerima bahwa tidak semua hal berada dalam kendali kita adalah langkah membebaskan. Mengakui bahwa ketidakpastian adalah bagian dari hidup, bukan kelemahan diri.

Alih-alih fokus pada apa yang tidak bisa dikendalikan, energi lebih baik dialihkan ke hal-hal yang masih dalam jangkauan: respons, sikap, usaha. Dengan begitu, kita tak mudah terpukul oleh hal-hal di luar prediksi.

Mengadopsi sikap ini membuat pikiran tidak mudah terjebak dalam kecemasan kronis. Kita bisa menjalani hidup dengan lebih fleksibel, tanpa terus dihantui ketakutan atas sesuatu yang tak mungkin kita pegang sepenuhnya.

7 dari 8 halaman

6. Memandang Ujian Hidup sebagai Sarana Kalibrasi

Menjalani hidup./Copyright Fimela - Adrian Utama Putra

Sahabat Fimela, banyak orang menganggap ujian hidup sebagai hukuman. Padahal, ujian lebih mirip seperti alat ukur untuk mengetahui sejauh mana kapasitas kita. Bukan sesuatu yang patut dihindari, tetapi bahan evaluasi untuk berkembang.

Mengadopsi sudut pandang ini membuat setiap kesulitan terasa lebih fungsional, bukan sekadar penderitaan tanpa makna. Kita mulai bertanya: pelajaran apa yang bisa diambil? Apa yang perlu diperbaiki dari diri sendiri?

Dengan begitu, tantangan hidup tidak lagi mematahkan, melainkan menjadi katalisator untuk pertumbuhan. Sikap ini menghindarkan kita dari sikap victim mentality dan mengubah tekanan menjadi peluang penguatan diri.

8 dari 8 halaman

7. Mengambil Waktu untuk Bersyukur, meski Caranya Sederhana

Bahagia./Copyright freepik.com/author/freepik

Sering kali saat beban hidup menumpuk, kita lupa hal-hal kecil yang tetap berjalan baik. Seolah-olah segala sesuatu buruk, padahal selalu ada celah kebaikan yang bisa ditemukan jika mau menengok ke sekeliling.

Sahabat Fimela, menjaga sikap apresiatif pada hal-hal sederhana adalah seperti menyalakan lilin kecil di tengah malam panjang. Mungkin bukan solusi besar, tetapi cukup untuk membuat kita tidak merasa gelap total.

Syukur yang kecil-kecil ini bukan sekadar basa-basi positif, melainkan jangkar yang menjaga kewarasan. Membiasakan diri menemukan satu-dua hal baik setiap hari memberi kekuatan untuk tetap berdaya, meski badai belum reda.

Hidup tidak akan menawarkan jalan pintas yang menghapus segala kesulitan. Namun, dengan tujuh sikap ini, Sahabat Fimela akan lebih siap mengarungi gelombang. Bukan karena masalah menghilang, melainkan karena dirimu sendiri sudah cukup kuat, fleksibel, dan penuh kesadaran untuk terus melangkah.

Setiap sikap adalah pondasi, bukan sekadar tameng sementara. Saat fondasi mentalmu kokoh, dunia boleh saja berisik, tetapi langkahmu tetap mantap.