The Power of Distance, Menelusuri Tren Unapproachable Makeup yang Sedang Naik Daun

Ada kekuatan dalam tatapan yang tajam, dalam garis eyeliner yang tak berkompromi, dan dalam pilihan warna bibir yang menolak untuk disukai banyak orang. Inilah inti dari unapproachable makeup: sebuah gaya riasan yang tidak hadir untuk menyenangkan, tapi untuk membuat pernyataan. Warna-warna gelap seperti hitam, plum, hingga cokelat keunguan digunakan untuk menciptakan aura misterius. Alis bisa diputihkan atau dipertegas tanpa kompromi, mata dilukis dengan garis yang nyaris menyerupai karya seni arsitektural.

Tampilan ini sering kali dianggap ‘terlalu’, ‘berlebihan’, atau bahkan ‘tidak ramah’. Namun, justru di situlah letak pesonanya. Makeup ini tidak mengundang, tidak mencoba akrab. Ia hadir untuk menggetarkan, bukan memikat. Ia tak meminta validasi, tapi berdiri kokoh dengan keberanian akan diri sendiri.

Ketika Makeup Menjadi Bahasa Sikap

Di dunia yang terus-menerus mengatur cara perempuan “seharusnya” tampil, unapproachable makeup justru muncul sebagai bentuk perlawanan yang diam, tapi kuat. Bagi sebagian orang, gaya ini mungkin sekadar tren. Namun, bagi banyak perempuan muda, terutama dari Gen Z, gaya ini adalah cara untuk berkata: “Aku bukan milik ekspektasimu.”

Dalam lanskap budaya saat ini, ketimpangan pandangan antara generasi muda terlihat jelas. Wanita muda cenderung lebih progresif dan vokal dalam hal kebebasan berekspresi, sementara sebagian kelompok lainnya masih membawa bayang-bayang norma lama. Di sinilah unapproachable makeup menjadi semacam ‘seragam tidak resmi’ bagi mereka yang menolak dikotak-kotakkan. Dengan tampilan yang sengaja terlihat tak bisa didekati, mereka menyampaikan pesan: kehadiran ini bukan untuk dikendalikan.

Jarak yang Memerdekakan

Makeup biasanya diasosiasikan dengan kedekatan, dengan daya tarik dan pesona yang mengundang. Namun, unapproachable makeup justru memutarbalikkan anggapan itu. Ia menciptakan jarak, bukan untuk mengisolasi, tetapi untuk melindungi. Dalam dunia yang sering kali menganggap perempuan sebagai objek visual, makeup ini menciptakan batas tegas antara yang boleh dan tidak boleh dilihat, disentuh, atau bahkan diajak bicara.

Jarak ini bukan tentang permusuhan, melainkan tentang pilihan. Pilihan untuk menetapkan ruang aman, untuk tidak selalu tersenyum saat tidak ingin, untuk tidak menampilkan sisi lembut hanya demi kenyamanan orang lain. Jarak yang diberikan oleh unapproachable makeup adalah jenis kebebasan yang jarang dibicarakan: kebebasan untuk menjadi tidak mudah diakses, dan karena itu lebih berdaulat atas tubuh dan kehadiran sendiri.

Di tengah derasnya tren di TikTok, unapproachable makeup menonjol bukan karena viralitas semata, tapi karena maknanya yang dalam. Lebih dari 91 juta tayangan mencerminkan betapa banyaknya orang—terutama perempuan—yang merasa terhubung dengan gaya ini. Mereka merekam video dengan wajah yang tampak seperti karakter dalam film noir atau karya seni kontemporer. Riasan ini tampak dramatis, bahkan kadang ekstrem, tapi selalu terasa autentik.

Yang menarik, tren ini membuka diskusi baru: apakah kecantikan masih harus “menyenangkan”? Apakah makeup harus selalu membuat kita tampak menarik di mata orang lain? Unapproachable makeup menjawab pertanyaan itu dengan tegas: tidak. Makeup bisa jadi cermin ekspresi diri yang tidak perlu diterjemahkan untuk siapa pun. Dari layar ke cermin, dari konten ke kenyataan, tren ini menunjukkan bahwa estetika tidak selalu harus hangat untuk bisa menginspirasi.

Unapproachable, But Unapologetic

Bagi mereka yang memilih gaya ini, tidak ada keinginan untuk minta maaf atas sikap atau penampilan mereka. Unapproachable makeup bukan tentang menolak orang lain secara pribadi, tapi tentang menegaskan: “Aku tidak selalu harus terlihat ramah untuk dihargai.” Ada kebebasan dalam tidak berusaha tampil menyenangkan, dan dalam dunia yang terus-menerus memaksa perempuan untuk bersikap “cukup manis”, sikap ini menjadi bentuk perlawanan yang kuat.

Di balik bibir berwarna gelap dan sorotan mata tajam itu, terdapat keberanian. Keberanian untuk menjadi diri sendiri, untuk mengatakan “tidak”, dan untuk merayakan sisi diri yang selama ini mungkin ditekan. Dan yang paling penting, unapproachable makeup adalah pengingat bahwa kecantikan sejati bukanlah tentang siapa yang berani mendekat, tapi siapa yang berani berdiri tegak tanpa rasa bersalah.

Bukan Tentang Menarik Perhatian, Tapi Menyatakan Kehadiran

Unapproachable makeup mungkin tidak akan menjadi gaya semua orang. Ia tidak dirancang untuk disukai secara universal, dan memang tidak mencoba untuk itu. Namun, di balik garis-garis tegas dan warna-warna kelam, ada narasi yang lebih besar—tentang kendali, tentang keberanian untuk menolak, dan tentang kecantikan yang tak harus selalu lembut.

Bagi Sahabat Fimela yang mungkin merasa lelah dengan ekspektasi untuk selalu tampil menyenangkan, gaya ini bisa menjadi ruang ekspresi yang membebaskan. Ia memberi izin untuk berkata, "Aku hadir bukan untukmu, tapi untuk diriku sendiri", dan terkadang, itulah bentuk keberdayaan yang paling jujur.

Karena pada akhirnya, makeup bukan hanya tentang bagaimana kita dilihat oleh orang lain, melainkan juga tentang bagaimana kita melihat diri sendiri. Selain itu, jika menjaga jarak bisa menjadi cara untuk mencintai dan melindungi diri, maka tak ada yang salah dengan tampil unapproachable. Justru di sanalah kita menemukan kekuatan sejati, di balik batas yang kita pilih sendiri.