Kapan Anak Siap Masuk Sekolah? Simak 5 Hal Penting Ini

Fimela.com, Jakarta Moms, di tengah tuntutan zaman yang serba cepat, mudah sekali merasa bahwa anak harus segera bisa membaca, menulis, berhitung, mengikuti aturan kelas, atau duduk rapi dalam waktu yang lama. Kita sering berpikir semakin cepat anak menguasai keterampilan akademik, semakin baik masa depannya.

Mengutip laman Business Insider, sebuah penelitian dari Stanford University justru memberi pesan yang berbeda dan menenangkan: tumbuh kembang anak bukan perlombaan. Setiap anak membutuhkan ritme, ruang tumbuh, dan waktu sesuai tahapan perkembangan alaminya.

Dalam studi besar yang dianalisis oleh peneliti Thomas Dee dan Hans Henrik Sievertsen, ditemukan bahwa anak yang memulai sekolah setahun lebih lambat memiliki kemampuan pengendalian diri (self-control) dan fokus yang jauh lebih baik ketika mereka berusia 7 hingga 11 tahun. Kemampuan ini dikenal sebagai executive function, yakni fondasi penting dalam keberhasilan akademik, sosial, dan emosional jangka panjang. Menariknya, manfaat ini tidak hanya terlihat di tahun-tahun awal sekolah, tetapi bertahan hingga beberapa tahun kemudian.

Di Indonesia, anak usia lima atau enam tahun umumnya dianggap siap masuk sekolah formal karena sudah bisa mengikuti instruksi sederhana atau mengenal angka dan huruf. Dalam hal ini, penelitian memberikan perspektif berbeda: kemampuan mengelola perasaan, memahami situasi baru tanpa stres, dan beradaptasi dengan lingkungan sosial adalah fondasi sebelum belajar akademik.

Jika anak masih sering menangis ketika berpisah dengan Moms, mudah marah saat kesulitan, atau belum mampu menunggu giliran, bisa jadi ia membutuhkan waktu untuk memperkuat regulasi emosinya. Menunda masuk sekolah justru memberi kesempatan anak memperkuat kemampuan tersebut agar nantinya lebih siap menghadapi situasi belajar yang penuh tuntutan.

Menurut hasil penelitian Stanford, anak yang memulai sekolah lebih lambat menunjukkan 73% peningkatan dalam kemampuan fokus dan pengendalian impuls dibanding teman sebayanya yang mulai lebih awal.

Dengan kata lain, mereka lebih bisa duduk tenang, menyelesaikan tugas, dan menahan keinginan bermain saat waktu belajar, kemampuan yang seringkali lebih menentukan daripada sekadar kemampuan membaca cepat.

Dan Moms yang pernah mendampingi anak belajar di rumah pasti tahu betul: fokus dan ketekunan seringkali lebih menantang daripada kemampuan akademik itu sendiri.

Moms mungkin sering mendengar kalimat ini: bermain adalah pekerjaan anak. Itu bukan sekadar ungkapan, tetapi fakta ilmiah.

Di negara-negara Nordik seperti Finlandia dan Denmark, anak-anak baru mulai sekolah formal pada usia 7 atau 8 tahun. Sebelum itu, mereka lebih banyak menghabiskan waktu dengan:

• bermain bebas tanpa target akademik,
• bersosialisasi dengan teman,
• keterlibatan dengan alam,
• permainan peran (pretend play),
• dan aktivitas eksplorasi sesuai rasa ingin tahu.

Hasilnya, sistem pendidikan mereka menjadi salah satu yang terbaik di dunia, jadi bukan hanya dalam prestasi akademis, tetapi juga dalam kesejahteraan mental dan motivasi belajar anak. Mereka tumbuh sebagai pembelajar yang rasa ingin tahunya tinggi dan motivasinya datang dari dalam diri, bukan karena tekanan.

Setiap anak memiliki garis waktu perkembangan yang berbeda. Ada yang sudah senang duduk membaca di usia empat tahun, ada yang masih senang memanjat, berlari, dan bereksplorasi. Keduanya normal. Menyamakan kesiapan anak hanya berdasarkan usia dapat membuat sebagian anak merasa tertinggal padahal mereka hanya membutuhkan waktu sedikit lebih lama untuk matang.

Anak yang diberi kesempatan berkembang sesuai kecepatannya akan lebih kuat menghadapi stres akademik di kemudian hari. Ia lebih mampu mengelola perasaan, menyelesaikan masalah, dan menjaga semangat belajar.

Sebelum memutuskan waktu masuk sekolah, Moms juga perlu mempertimbangkan pendekatan kurikulum sekolah. Sekolah berbasis permainan (play-based learning) lebih cocok bagi anak yang masih membutuhkan banyak eksplorasi sensorik dan kebebasan bergerak. Sebaliknya, sekolah dengan pendekatan akademis ketat mungkin akan lebih menantang bagi anak yang belum siap secara emosional dan sosial.

Dengan memahami karakter anak dan pendekatan sekolah, Moms dapat menemukan titik temu terbaik.

Sebelum bertanya “Anakku sudah bisa apa?”, tanyakan dulu “Apakah anakku sudah siap?” Semua anak berkembang dalam ritmenya sendiri, dan perbedaan itu bukan kekurangan, melainkan bagian dari perjalanan tumbuh yang alami.

Tidak ada anak yang tertinggal jika ia sedang tumbuh. Dunia mungkin bergerak cepat, namun masa kecil tidak perlu terburu-buru.

Yang paling penting adalah memastikan anak mendapatkan fondasi kuat: emosi stabil, kemampuan sosial baik, fokus terlatih, dan rasa percaya diri yang sehat. Aspek-aspek tersebut merupakan modal belajar yang paling dasar untuk dipenuhi lebih dulu. 

Karena pendidikan bukan hanya tentang kapan anak mulai sekolah, tetapi bagaimana ia menjalani prosesnya, yaitu dengan bahagia, percaya diri, dan merasa didukung.