Cara Membantu Anak Menghadapi Ejekan Teman Sebaya dengan Percaya Diri

Ejekan teman sebaya seringkali dianggap sama, padahal jenisnya sangat beragam dan memiliki dampak yang berbeda pada anak-anak. Ada ejekan yang bersifat main-main dan justru bisa membantu anak mengembangkan keterampilan sosial, misalnya saat mereka belajar menerima candaan tentang keunikan diri. Ejekan semacam ini biasanya dilakukan dengan niat baik dan dimaksudkan agar anak merasa diterima apa adanya oleh kelompoknya.

Namun, ada pula ejekan yang kejam, yang secara sengaja menyerang titik sensitivitas anak dan bertujuan untuk melukai perasaan mereka. Ejekan ini seringkali menargetkan hal-hal yang membuat anak merasa tidak percaya diri atau tidak aman, menjadikannya bentuk perilaku yang bermusuhan. Penting bagi Sahabat Fimela untuk bisa membedakan kedua jenis ejekan ini agar respons yang diberikan tidak salah sasaran.

Anak-anak menggoda orang lain bukan tanpa alasan; motivasinya bisa sangat kompleks. Beberapa anak mungkin melakukannya untuk mendapatkan perhatian, bahkan perhatian negatif sekalipun, karena bagi mereka itu lebih baik daripada diabaikan. Ada juga yang menggoda agar dianggap "keren" atau untuk merasa menjadi bagian dari kelompok tertentu, terutama jika mereka ingin diterima oleh anak-anak yang populer.

Selain itu, kurangnya pemahaman tentang "perbedaan" seringkali menjadi pemicu ejekan, terutama jika anak-anak tidak familiar dengan budaya atau latar belakang yang berbeda. Anak usia sekolah dasar juga kerap menggoda untuk mendapatkan persetujuan teman sebaya atau untuk meningkatkan harga diri mereka sendiri dengan menyoroti kekurangan orang lain. Bahkan, perilaku ejekan bisa jadi merupakan cerminan dari apa yang mereka pelajari dari lingkungan sekitar, baik dari keluarga, teman, atau media.

Sahabat Fimela, sebagai orang tua, kita memegang peran yang sangat penting dalam membekali anak dengan keterampilan untuk menghadapi ejekan teman sebaya. Membangun komunikasi yang terbuka adalah fondasi utamanya; dorong anak untuk berbagi pengalaman mereka tanpa takut dihakimi. Ajukan pertanyaan terbuka yang memancing mereka untuk bercerita lebih dalam, sehingga mereka merasa nyaman mencari bimbingan Anda saat menghadapi tekanan dari teman-teman.

Mendengarkan dan memvalidasi perasaan anak adalah langkah selanjutnya yang tidak kalah penting. Saat anak bercerita, dengarkan dengan penuh perhatian dan akui bahwa ejekan itu menyakitkan. Anda bisa menceritakan pengalaman pribadi saat diejek di masa kecil untuk menunjukkan empati, misalnya dengan mengatakan, "Kamu pasti marah saat Ellie memanggilmu ceroboh, kan?" Ini membantu anak merasa dimengerti dan tidak sendirian.

Menjadi contoh yang baik juga sangat esensial. Perhatikan perilaku Anda sendiri: apakah Anda menunjukkan perilaku "korban" atau justru menggoda anak secara tidak pantas? Pastikan lelucon yang Anda lakukan dengan anak tidak melukai perasaan siapa pun dan hindari membuat komentar negatif tentang penampilan orang lain. Reaksi berlebihan dari orang tua juga perlu dihindari, karena ini bisa membuat anak ikut bereaksi berlebihan; sampaikan pesan bahwa "Kamu bisa mengatasinya."

Selain itu, bantu anak memilih teman yang membuat mereka merasa baik dan dorong mereka untuk selektif dalam bergaul. Latih respons yang akan mereka gunakan saat diejek melalui bermain peran, sehingga mereka siap secara mental dan verbal. Jika ejekan atau intimidasi menjadi kronis dan mengkhawatirkan, jangan ragu untuk mencari bantuan profesional. Orang dewasa harus selalu waspada dan campur tangan jika ada indikasi pelecehan serius.

Mengajarkan anak-anak strategi yang efektif adalah kunci untuk memberdayakan mereka menghadapi ejekan dengan percaya diri. Langkah pertama adalah membantu mereka membedakan antara ejekan yang ramah dan tidak ramah. Ejekan ramah biasanya bersifat candaan dan tidak menyakitkan, sementara ejekan tidak ramah bertujuan untuk mengolok-olok dan melukai perasaan. Jika ejekan itu ramah, ajari anak untuk mengabaikannya atau menanggapinya dengan santai.

Bahasa tubuh yang percaya diri juga memainkan peran besar. Ajari anak untuk menatap mata pengganggu, mengangkat kepala tinggi-tinggi, dan berdiri tegak. Penting untuk tetap tenang dan tidak membiarkan pengganggu melihat bahwa mereka berhasil membuat anak kesal. Anak bisa berlatih "tampilan keren" dengan tangan di saku, sedikit bergoyang, dan senyum sinis untuk menunjukkan bahwa mereka tidak peduli. Bahasa tubuh yang acuh tak acuh seperti memutar mata atau mengangkat bahu juga bisa sangat efektif.

Respons verbal adalah senjata ampuh lainnya. Anak bisa menggunakan "one-liners" atau jawaban cepat seperti "Hentikan!" atau "Jadi apa?". Humor atau sarkasme juga bisa mengalihkan perhatian, misalnya dengan mengatakan "Seperti aku akan peduli?" atau "Terima kasih." Menggunakan "Pesan Saya" (I-Messages) seperti "Saya merasa kesal ketika Anda mengolok-olok kacamata saya. Saya ingin Anda berhenti" juga efektif untuk menyampaikan perasaan dengan tegas.

Strategi mengabaikan atau berjalan pergi juga sangat berguna, terutama jika anak kesulitan memberikan balasan verbal. Setelah memberikan respons, anak bisa berbalik dan berjalan pergi tanpa melihat kembali ke pengganggu. Penting juga untuk mengajarkan anak berpikir kritis dan membangun kepercayaan diri. Dorong mereka untuk mempertanyakan apakah ejekan itu benar dan ingatkan mereka tentang kualitas positif diri mereka sendiri. Terakhir, anak perlu tahu kapan dan bagaimana mencari bantuan dari orang dewasa yang terpercaya jika situasi menjadi terlalu sulit atau berbahaya.