Fimela.com, Jakarta Hemofilia merupakan kelainan perdarahan yang pada umumnya diturunkan, di mana darah tidak dapat membeku dengan baik. Hal ini dapat menyebabkan perdarahan spontan (perdarahan yangterjadi tanpa sebab yang diketahui) serta perdarahan setelah cedera, tindakan medis seperti pengambilan darah, vaksinasi, pembedahan, dan lainnya. Darah mengandung sejumlah protein, dimana salah satunya adalah faktor pembekuan darah yang bertugas menghentikan perdarahan.
Hemofilia terdiri dari 2 tipe, yaitu hemofilia A (orang dengan jumlah faktor VIII yang rendah) danhemofilia B (orang dengan jumlah IX yang rendah). Tingkat keparahan hemofilia ditentukan olehjumlah faktor pembekuan darah orang tersebut. Semakin rendah jumlah faktor, semakin besarkemungkinan terjadinya perdarahan spontan, yang dapat menyebabkan masalah kesehatan yang serius.
Menurut World Federation of Hemophilia, diperkirakan 1 dari 10.000 orang di duniamengalami hemofilia. Namun, prevalensi di Indonesia masih tergolong rendah karena banyak kasus yang belum terdiagnosis. Data HMHI tahun 2024 menunjukkan baru sekitar 11% pasien hemofiliaberhasil teridentifikasi di Indonesia, atau sebanyak 3.658. Jumlah ini masih jauh dari perkiraan yang seharusnya sejumlah 28.000 pasien.
Advertisement
Selama ini, hemofilia diyakini hanya menimbulkan gejala pada pria dan anak laki-laki, sementaraperempuan yang menjadi “pembawa” gen hemofilia dianggap tidak mengalami gejala perdarahan.Namun, studi terkini membuktikan bahwa banyak perempuan dan anak perempuan juga menunjukkan gejala hemofilia.
Sebagian dari mereka menjalani hidup selama bertahun-tahun tanpadiagnosis, bahkan tanpa menyadari bahwa mereka mungkin memiliki gangguan perdarahan.
Dr. dr. Novie Amelia Chozie, SpA(K), Ketua Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI),menyoroti bahwa penanganan pasien hemofilia di Indonesia masih belum optimal.
“Banyak kasushemofilia yang baru terdeteksi setelah pasien mengalami perdarahan berat, yang meningkatkan risikokomplikasi serius seperti disabilitas dan kematian. Saat ini, hanya sekitar 11% dari perkiraan totalpasien hemofilia di Indonesia yang telah terdiagnosis, menunjukkan masih banyak kasus yang belumterdeteksi. Salah satu komplikasi serius yang dapat terjadi adalah terbentuknya inhibitor, yaitu antibodi yang menghambat efektivitas terapi faktor pembekuan darah. Penelitian yang dilakukan olehUnit Kerja Koordinasi Hematologi-Onkologi Ikatan Dokter Anak Indonesia tahun 2022 menemukan bahwa prevalensi inhibitor faktor VIII pada anak-anak dengan hemofilia A di 12 kota besar di Indonesiamencapai 9,6%.”
Advertisement
Tantangan Pengobatan
dr. Novie menambahkan, tantangan besar lainnya dalam manajemen hemofilia di Indonesia adalahterbatasnya akses terhadap pengobatan yang merata di seluruh wilayah. “Fasilitas diagnosis dan pengobatan umumnya terkonsentrasi di kota-kota besar, sementara pasien di daerah terpencil masih harus menghadapi keterbatasan layanan medis, baik dari segi infrastruktur, ketersediaan obat faktor pembekuan, hingga tenaga medis yang paham tentang gangguan perdarahan.
"Oleh karena itu, penting bagi kita untuk terus mengadvokasikan hal ini demi meningkatkan diagnosis dan tatalaksanahemofilia, serta penyakit perdarahan lainnya di Indonesia,” tutupnya.
Selain hemofilia, ada beberapa jenis gangguan perdarahan lain yang dikenal, termasuk penyakit VonWillebrand Disease (VWD)—kelainan perdarahan yang diturunkan akibat kekurangan faktor vonWillebrand, sering kali tidak terdiagnosis, terutama pada wanita. Minimnya kesadaran akan gangguanperdarahan sering kali mengakibatkan pasien tidak mendapatkan penanganan yang tepat. Padahal,hemofilia dan VWD adalah dua bentuk defisiensi faktor pembekuan bawaan yang paling umum, yang membuat pasien rentan terhadap perdarahan. Pasien dengan kelainan VWD sering kali pada awalnyaditangani di unit gawat darurat dengan komplikasi perdarahan seperti menstruasi yang sangat berat,perdarahan pasca melahirkan, dan mudah memar.
Tantangan Hemofilia di Indonesia
Akses terhadap diagnosis dan pengobatan hemofilia di Indonesia masih menjadi tantangan besar, terutama di daerah terpencil. Banyak pasien baru terdiagnosis setelah mengalami pendarahan berat, yang dapat menyebabkan komplikasi serius seperti kerusakan sendi dan organ. Hal ini menyoroti pentingnya diagnosis dini dan akses yang mudah ke perawatan medis.
HMHI berperan penting dalam mengadvokasi pemerataan akses diagnosis dan pengobatan hemofilia di seluruh Indonesia. Mereka juga aktif dalam memberikan edukasi kepada masyarakat dan penderita hemofilia. Dukungan dari pemerintah dan masyarakat sangat diperlukan untuk memastikan bahwa semua penderita hemofilia, termasuk perempuan dan anak perempuan, mendapatkan perawatan yang layak.
Dalam rangka memperingati Hari Hemofilia Sedunia atau World HemophiliaDay (WHD) 2025 yang jatuh setiap tanggal 17 April, Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia(HMHI) bekerja sama dengan PT Takeda Indonesia mengajak masyarakat untuk lebih mengenal danpeduli terhadap hemofilia dan gangguan perdarahan lainnya. Tahun ini, WHD mengusung tema “Access for All: Women and Girls Bleed Too” yang menyoroti pentingnya akses diagnosis danpengobatan yang setara bagi semua penyandang, termasuk perempuan dan anak perempuan yangsering kali terabaikan dalam konteks gangguan perdarahan
Advertisement
Pengelaman Pasien
HK, salah seorang pasien hemofilia, mengakui bahwa saat ini masih banyak tantangan dalam halpendeteksian dan diagnosis hemofilia di Indonesia.
“Saya sudah hidup dengan hemofilia selama lebihdari 34 tahun, dan telah menjalani berbagai pengobatan seperti transfusi darah dan mengonsumsiobat konsentrat faktor VIII pembekuan darah. Dari perjalanan saya ini, saya banyak bertemu denganpasien hemofilia lainnya, baik yang sudah dewasa maupun anak-anak. Saya melihat adanya tantangandalam deteksi dan penanganan hemofilia di Indonesia, sehingga menyebabkan bayi dan anak-anakdengan penyakit ini mengalami perdarahan yang berisiko, sampai memakan korban jiwa. Tentunya inisangat memilukan. Untuk itu, perlu lebih banyak kampanye edukasi hemofilia, baik kepada dokter,tim medis, maupun masyarakat umum.”
HK berharap ke depannya pengobatan hemofilia di Indonesiabisa lebih baik lagi. “Saya berharap, obat konsentrat faktor pembekuan dapat terus ditanggung olehBPJS. Mengingat obat ini terbukti efektif menyembuhkan dan menghindarkan pasien dari risiko infeksimelalui darah seperti Hepatitis dan lainnya,” tutupnya.
Sementara itu, SRS, pasien Von Willebrand Disease (VWD) berusia 17 tahun, menyatakan “Saya didiagnosis Von Wollebrand Disease pada saat berusia 7 tahun. Saat itu, terjadi perdarahan di gigi,gusi, dan terjadi lebam di beberapa bagian tubuh. Gejalanya yang ringan, membuat penyakit saya inisulit didiagnosis, dan tidak terdeteksi. Tapi akhirnya ketahuan VWD di rumah sakit besar pemerintah,dan sejauh ini saya telah menjalankan pengobatan yang baik di rumah sakit tersebut. Mulai daricryoprecipitate, transfuse darah, sampai dengan terapi faktor. Keterbatasan fasilitas diagnostik danminimnya edukasi membuat pasien VWD tidak mendapatkan penanganan yang tepat waktu. Oleh karena itu ke depannya saya berharap, VWD dapat lebih banyak dikenal oleh masyarakat, agar dapatdideteksi lebih dini dan mendapatkan penanganan yang lebih baik; serta pengobatan di Indonesia menjadi lebih mudah, baik di rumah sakit pemerintah maupun swasta. Jadi, tenaga kesehatan dapatmendeteksi lebih dini, pengobatannya tersedia, dan terjangkau (ditanggung oleh BPJS).”
Shinta Caroline, Head of Oncology & Rare Disease Business Unit PT Takeda Indonesia,menyampaikan, “Kami memahami bahwa perjalanan para pasien dan keluarga penyandang hemofiliapenuh tantangan. Karena itu, kami berkomitmen menjadi mitra jangka panjang dalam meningkatkan layanan kesehatan. Bersama HMHI dan para tenaga medis, kami ingin meningkatkan kesadaran masyarakat, agar penyakit ini bisa dikenali lebih awal, didiagnosa dengan tepat, dan penyandang bisa mendapatkan pengobatan yang sesuai, sehingga perdarahan pada pasien hemofilia dapat ditanganidengan baik dan dapat dicegah keparahannya.