Sukses

Lifestyle

Editor Says: Urusan Esek-esek dan Rumah Tangga Orang

Fimela.com, Jakarta Langit pagi ini nggak begitu cerah. Bekas-bekas air hujan semalam masih menetes dari genting dan atap pos pantau stasiun Depok. Tapi hebatnya, suasana anyeb yang bikin semua orang ingin kembali berselimut di atas kasur nggak bikin orang-orang urung buat bepergian di hari Minggu. 

Semua tukang jajanan pun tetap semangat menjajakan dagangan. Nggak seramai dan seheboh hari Senin, tapi tetap saja bising. Mesi hujan usai sejak malam dini hari tadi, tapi jalanan tetap saja becek. Ada darah ayam yang bercampur genangan air. Jijik. Tapi mau bagaimana lagi? Menghindar dari cipratan air kotor, saya naik ke atas trotoar. 

Berdiri 'agak' lebih tinggi dari biasanya, bikin saya bisa melihat semua aktivitas dengan jelas. Lebih jelas tepatnya. Baru sadar juga, ternyata toko-toko di setiap sisi gang menuju stasiun di kawasan Depok ini nggak semuanya buka di hari Minggu. Kecuali warung makan, tukang jualan pinggir jalan, dan satu toko buku bekas. 

Mengintip ke dalam toko itu, saya malah disuruh masuk. "Ayo Mbak, masuk aja, daripada becek. Sekalian lihat-lihat buku," kata penjaganya. Saya sebenarnya nggak mencari buku khusus, soalnya masih ada 5 buku yang habis saya beli bulan lalu tapi belum juga saya baca. 

 

Tapi ada satu majalah dewasa jadul yang bikin saya memutuskan untuk duduk sebentar di toko buku bekas itu. Saya ambil majalah dengan cewek setengah... ya itulah. Saya buka-buka. Baca judul, lihat foto. Buka lembar baru. Baca judul, lihat foto lagi. 

"Mbak tertarik baca majalah itu, ya? Itu tinggal satu-satunya, Mbak. Dulu laris waktu saya masih buka lapak di Senen. Sekarang udah nggak." Ya ampun! Si tukang buku loak bikin saya kaget. Saya langsung lempar majalah ke tumpukan buku lain. Well saya nggak mau dibilang cewek mesum cuma karena iseng lihat majalah dewasa. 

"Eh, nggak apa-apa, lho. Urusan esek-esek itu sekaligus seni, sekaligus sains, sekaligus aksara cinta." Saya bengong. Dari mana dia tahu sial esek-esek? Jangan-jangan dia punya niat yang nggak-nggak. Tapi saya tertarik sama omongannya soal seks. Seks adalah seni, sains, dan cinta katanya. 

"Tapi sayang, banyak orang yang pikir itu tabu. Ya, kita punya norma. Ada hukum juga. Saking kuatnya, urusan pribadi di kontrakan juga ikut diurusi tetangga sekampung," kata si Mas yang jaga toko. Pikiran saya langsung ke kasus persekusi yang sempat hangat, tapi tenggelam karena ada orang benjol yang nabrak tiang listrik. "Itu kasus yang itu, Mbak, yang persekusi itu!" Katanya lagi menegaskan. 

Jadi Urusan Semua Orang

Si Mas penjaga toko langsung cerita. Di kampungnya, di kawasan Tangerang, juga ada yang diarak keliling 2 kampung lantaran ketahuan begituan di samping langgar. Ya, ini memang kelewatan, sih. Bercumbu di tempat umum, meskipun nggak ada yang nontonin tetap saja nggak 'betul.'

Bukan menurut saya, ini. Tapi menurut orang-orang yang ngomong ke saya. Bermesraan itu nggak boleh di depan orang. Saru! Tidak sopan. Tidak tahu tata krama. Tidak tahu malu. Tidak beradab. Jadi bercinta itu harus di ruangan tertutup, di kamar, di kontrakan, di kosan. Tapi pada akhirnya ada penggerebekan. 

Saya dan si Mas yang ngomongnya nggak bisa direm ini terus membicarakan kasus-kasus miris di kampunya. Juga kasus lain yang serupa di banyak kampung lainnya. Saya lalu bertanya, kalau sudah tahu dan takut bakal digerebek, kenapa mereka masih melakukan hal itu? 

"Ya, tadi, kan, saya bilang. Seks itu bisa dilihat dari ruang lingkup yang macam-macam. Termasuk ruang lingkup asmara dan sains, toh? Tapi ya, saya paham. Seks sebelum menikah itu, mungkin ini lho, mungkin nggak dibenarkan dalam agama dan juga norma. Ini yang dijadikan alasan kenapa dilarang dan benar-benar dibenci," katanya disela hisapan kretek. 

"Tapi kan, bukan berarti membeberkan ke banyak orang, apa lagi mengaraknya ke seantero kampung itu juga benar." 

"Nah, itu, Mbak. Saya bingung. Orang itu kenapa lebih mau ngetok pintu rumah orang yang lagi indehoy dari pada ngetok rumah yang ada teriakan minta tolong ibu-ibu karena dihajar suaminya?" Saya terkejut dengan omongan si Mas ini. Dari mana dia belajar? Apa lagi, perkataan ini mirip dengan apa yang dipost/tweet netizen belakangan. 

Kasus perzinahan di berbagai daerah memang laku keras buat dijadikan berita. Ini karena masih banyak orang-orang yang doyan, bahkan sampai nyari artikel dan berita soal beginjian. Mereka bakal lebih senang baca dan menontonnya kalau sang pelaku dibuat sesengsara mungkin. 

Ditelanjangi. Diarak keliling kampung. Digunduli. Dikatai. Diludahi. Belum lagi disiksa secara fisik. Saya akhinya bercerita juga kepada si Mas, kalau dulu, ada kisah seorang cewek peranakan yang juga digerebek karena katanya, ketahuan 'main' dengan seorang pejabat daerah. Pejabat kecil, tingkat kepala desa, kalau nggak salah. 

Sudah ditelanjangi, dimaki, dikencingi, perempuan itu juga diperkosa bergantian oleh makhluk-makhluk bejat. "Saya tahu cerita itu, Mbak. Itu cerita lama, itu. Waktu zaman Orba, kan? Itu juga yang bikin ibu saya wanti-wanti ke adik saya yang cewek itu." 

"Katanya, perempuan itu pantas digituin karena sudah berbuat dosa," kata saya yang akhirnya duduk di bangku toko.

"Iya, terus mengarak, memaki, menggunduli, menelanjangi, menggagahi, merusak masa depan orang lain beserta keluarganya itu nggak dosa menurut mereka. Jadi, kalau ada suara-suara begitu, orang langsung nguping dan langsung gerebek. Kalau dengar ibu-ibu dipukul teriak-teriak, KDRT itu lho, mereka bilang bukan urusan kita. Urusan rumah tangga! Gila," katanya sambil makan gorengan. 

KDRT Urusan Siapa?

Sambil pesan susu hangat, saya terus berbincang soal esek-esek. Juga soal kehidupan rumah tangga orang lain yang katanya, jadi urusan tiap rumah tangga itu sendiri. 

Kalau seks itu bisa jadi urusan banyak orang, kenapa tetangga cenderung memalingkan wajah saat ada kekerasan dalam rumah tangga. Padahal, kekerasan itu terjadi di rumah yang jaraknya cuma 5 langkah. Yang teriak itu, ibu yang sehari-hari menyapa hampir setiap warga kampung setempat. 

Masih tetap nggak mau tahu? Itu, ibu yang teriak minta tolong, nggak pernah pinjam duit ke tetangga. Ibu yang selalu senyum saat beli sayuran di tukang sayur depan sana itu, nggak pernah minta tolong dan ngerepotin. 

Cuma sekali dia minta tolong. Saat suaminya menghajarnya habis-habisan di dalam rumah. Saat anak-anak mereka cuma bisa menangis ngumpet mengunci diri di dalam kamarnya. Saat bibir pecah karena nggak sanggup lagi menerima tamparan demi tamparan. 

'Ya tapi kan, si istrinya juga yang matre, istrinya juga yang kasar sama suami. Itu kan karena masalah rumah tangga mereka.' Alasan kenapa mereka adu mulut dan berkelahi, biar itu menjadi urusan rumah tangga mereka. Tapi ada kekerasan fisik, verbal, dan seksual. Masih mau berpikir itu urusan mereka? Urusan pribadi yang nggak perlu kita pantau?

Sampai kapan? Sampai sang anak lari ke rumah tetangga dengan air mata bercucuran, minta tolong karena ibunya sudah nggak lagi bernyawa? Sementara ayahnya kabur subuh-subuh? Saya nggak tahu sampai kapan urusan esek-esek menjadi urusan orang lain, sementara orang terus memalingkan wajahnya dari jeritan ibu-ibu, atau bapak-bapak yang merasa tersiksa. 

"Saya malah nggak mau tahu kapan, Mbak. Segitu bangganya orang selesai melakukan persekusi. Segitu malunya orang mengatakan ini salah kepada istri yang memaki suaminya. Mana yang tabu?" Mendengar apa yang dikatakan si Mas kali ini bikin saya diam. Susu hangat di warung depan sudah setengah saya seruput. Sisanya dingin. Saya baru sadar, kalau makin siang, gang menuju stasiun justru semakin sepi di hari Minggu. 

"Mas, ada Serat Centini cetakan lama, Mas?"

 

 

 

 

Karla Farhana

 

 

Editor Lifestyle

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading