Review Buku Novel The White Book Karya Han Kang

Fimela.com, Jakarta Menyikapi kehilangan bukanlah hal yang mudah. Saat sesuatu atau seseorang yang berharga tiba-tiba menghilang dari hidup kita, perasaan kosong dan kesedihan sering kali sulit dihindari.

Kehilangan bisa datang dalam berbagai bentuk—ditinggalkan orang tercinta, kehilangan impian yang sudah lama diperjuangkan, atau bahkan kehilangan jati diri di tengah perubahan hidup yang tak terduga. Tidak ada cara instan untuk mengatasi duka, karena setiap orang memiliki perjalanan emosionalnya sendiri dalam menerima dan merangkul kenyataan yang baru.

Namun, meskipun kehilangan terasa menyakitkan, bukan berarti kita harus terjebak di dalamnya selamanya. Ada keindahan yang bisa ditemukan di balik kesedihan, meskipun tampaknya sulit untuk dilihat pada awalnya.

Proses menerima kehilangan adalah bagian dari perjalanan hidup yang mengajarkan kita tentang ketahanan, harapan, dan makna keberadaan. Inilah yang coba disampaikan Han Kang dalam The White Book—sebuah refleksi mendalam tentang bagaimana kehilangan tidak selalu identik dengan ketiadaan, tetapi juga bisa menjadi ruang bagi kita untuk memahami kehidupan dengan cara yang lebih dalam dan penuh makna.

Judul: The White Book

Penulis: Han Kang

Penerjemah: Dwita Rizki

Penyunting: Dian Pranasari

Pemeriksa Aksara: AHS

Penata Isi: Kirana Putri Ersapranu

Ilustrasi Isi: vecteezy.com, freepik.com

Perancang sampul: Withly

Penerbit: BACA

Saat menjalani residensi penulis, seorang narator yang tidak disebutkan namanya berfokus pada warna putih untuk menyalurkan rasa sakit batinnya secara kreatif. Melalui kisah-kisah yang liris dan saling berkaitan, dia bergulat dengan tragedi yang menghantui keluarganya, mencoba memahami kematian kakak perempuannya dengan menggunakan warna putih. Mulai dari membayangkan saat pertama kali ibunya memproduksi ASI, hingga menyaksikan salju turun dan merenungkan ketidakkekalan hidup.

Dengan ketajaman dan kelembutan yang menakjubkan, The White Book menawarkan eksplorasi berlapis-lapis tentang warna dan ketiadaannya, tentang kegigihan dan kerapuhan jiwa manusia, dan upaya kita untuk merayakan kehidupan baru dari abu kehancuran melalui benda-benda biasa dalam kehidupan sehari-hari.

The White Book merupakan karya yang paling berbeda dan paling pribadi dari Han Kang, penulis peraih Man Booker International Prize dan Nobel Sastra. Sebuah kisah putih sekaligus permata sastra yang dibisikkan kepada dunia.

***

"Perempuan berusia 23 tahun berbaring sendirian di kamar. Pada Sabtu pagi ketika kristal es pertama belum mencair, suami berusia 26 tahun membawa sekop menuju gunung belakang untuk mengubur bayi yang baru dilahirkan kemarin. Saking bengkaknya, mata perempuan itu sulit dibuka." (hlm. 53)

"Setiap pecah, ombak tampak putih menyilaukan. Gelombang tenang air di laut yang jauh tampak seperti sisik ikan yang jumlahnya tak terhingga. Puluhan ribu kilau di sana. Puluhan ribu kilau yang terus bergerak (meski tidak ada satu pun yang kekal)." (hlm. 82)

The White Book adalah novel yang tidak biasa, sebuah karya yang lebih menyerupai renungan puitis daripada cerita konvensional. Han Kang, penulis asal Korea Selatan yang dikenal lewat The Vegetarian dan Human Acts (Mata Malam), kali ini menghadirkan eksplorasi mendalam tentang kehilangan, ingatan, dan makna eksistensi manusia. Novel ini berakar dari pengalaman pribadinya—tentang kakak perempuan yang meninggal saat masih bayi—dan dituangkan dalam rangkaian refleksi yang menyentuh hati.

Alih-alih membangun cerita dengan alur yang kompleks, Han Kang menyusun The White Book dalam fragmen-fragmen pendek yang saling berkaitan. Setiap bagian menggambarkan objek-objek berwarna putih, seperti salju, kertas, cahaya, dan kain kafan. Warna putih menjadi simbol utama dalam novel ini, mewakili kesedihan yang lembut, kenangan yang samar, sekaligus harapan yang masih tersisa di tengah duka.

Yang membuat novel ini begitu unik adalah kemampuannya menyampaikan emosi yang mendalam melalui kesederhanaan. Han Kang tidak terburu-buru untuk bercerita; ia mengajak kita sebagai pembaca untuk merenung, seolah mengamati butiran salju yang perlahan jatuh ke tanah.

Dengan bahasa yang indah dan metaforis, Han Kang membawa kita menyusuri ruang-ruang sunyi dalam hati, tempat kenangan dan kehilangan bertemu dalam keselarasan yang menyentuh.

Selain tentang kehilangan pribadi, The White Book juga berbicara tentang hubungan manusia dengan tempat. Sebagian besar narasi terjadi di Warsawa, Polandia—kota yang hancur akibat Perang Dunia II dan kemudian dibangun kembali. Kota ini menjadi cerminan perjalanan batin sang narator: puing-puing yang berubah menjadi harapan baru, luka lama yang perlahan disembuhkan oleh waktu.

Gaya penulisan Han Kang dalam novel ini begitu khas—lirih, puitis, dan penuh perasaan. Setiap kalimatnya seperti bisikan lembut yang menggugah, membuat Sahabat Fimela tidak hanya membaca, tetapi juga merasakan.

Struktur novel yang tidak biasa justru menjadi kekuatan utama, karena membebaskan kita untuk merenungkan setiap fragmen secara mendalam tanpa terikat oleh alur yang kaku.

Bagi Sahabat Fimela yang menyukai novel dengan alur cepat dan konflik dramatis, The White Book mungkin terasa berbeda. Namun, jika Sahabat Fimela mencari bacaan yang mengajak merenung, menyelami ingatan, dan menemukan keindahan dalam kesederhanaan, buku ini adalah pilihan yang sempurna.

Han Kang dengan terampil mengubah kesedihan menjadi sesuatu yang indah, mengajarkan bahwa kehilangan bukanlah akhir dari segalanya, melainkan bagian dari perjalanan kita sebagai manusia.

Melalui novel ini, Han Kang tidak hanya bercerita tentang seorang bayi yang tak sempat tumbuh besar, tetapi juga tentang bagaimana manusia memahami keberadaan dan ketiadaan. Ia menantang Sahabat Fimela untuk melihat kehidupan dari sudut pandang yang lebih luas—bahwa dalam ketiadaan pun, ada makna yang bisa ditemukan.

The White Book bisa menjadi pengingat bahwa meskipun sesuatu menghilang, jejaknya tetap ada dalam ingatan, seperti warna putih yang lembut namun tak pernah benar-benar hilang.

Jika Sahabat Fimela mencari bacaan yang berbeda—sesuatu yang lebih dari sekadar cerita, tetapi juga sebuah pengalaman emosional—maka The White Book adalah buku yang bisa jadi rekomendasi menarik. Ini bukan sekadar novel, melainkan meditasi tentang kehidupan dan kehilangan, yang akan meninggalkan kesan mendalam bahkan setelah halaman terakhir ditutup.